Pages

October 10, 2014

Penilaian Apresiasi Seni Sastra (Catatan Pak Guru #11)

Nilai salah satu tugas Bahasa Indonesia: Menulis Cerita Penden berdasarkan pengalaman pribadi

Kurikulum 2013 menerapkan penilaian dengan range 4-1. Kalau dikonversi ke dalam huruf menjadi A, B, C, dan D. Nilai tertinggi ialah 4 atau A. Sebagaimana diterapkan dalam perkuliahan.

Sebelum diterapkan sistem penilaian kurikulum 2013 tersebut, saya sudah menerapkannya sejak tahun pelajaran yang lalu. Tugas-tugas Bahasa Indonesia yang dikerjakan para siswa, saya beri nilai A, B, atau C.

Sebagian tugas Bahasa Indonesia tidak mudah untuk menilainya. Hal ini karena terkait dengan rasa, karsa, perasaan, bahkan juga subyektivitas.

Misalnya, tugas menulis puisi bebas dan menulis cerpen, atau menganalisisnya. Tugas tersebut sangat terkait dengan perasaan, emosional, dan imajinasi.

Dalam tugas tersebut, siswa diharapkan untuk bisa mengungkapkan perasaan, imajinasi, bayangan-bayangan yang ada di dalam hati dan pikiran ke dalam larik-larik kata yang bersusun. Hal itu dibarengi pula dengan usaha menciptakan susunan kata yang indah dan unik.

Menilai tugas semacam itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Saya harus menghayati isi puisi tersebut. Juga harus memperkirakan suasana hati penulisnya. Selain itu, keindahan dan keunikan puisi juga perlu dipertimbangkan.

Keindahan sebuah puisi atau kemenarikan sebuah cerpen, sangat sulit dinilai dengan angka, misalnya 75, 80, atau 90. Lebih nyaman saya menggunakan huruf A, B, atau C -meskipun nilai dengan huruf tersebut bisa dikonversi dalam bentuk angka.

Puisi dengan bahasa yang mengalir, yang mampu mengungkapkan apa yang dirasakan siswa, itulah puisi dengan nilai bagus. Tak segan-segan saya beri nilai A.

Kalau puisinya terasa kering, gersang, tak enak dibaca, dan dibuat asal-asalan tanpa melibatkan perasaan atau emosional, tak segan pula saya beri nilai C. Bagi pelajaran saya, nilai C artinya remidi (mengulang).

Demikian.

 ***

Sukoharjo, 10 September 2014

Belajar Menegur dan Menasehati (Catatan Pak Guru #10)

Siswa kelas IX A SMP IT Mutiara Insan menunjukkan karya seni atau produk yang digunakan sebagai objek pembelajaran

Banyak orang yang mengatakan bahwa pelajaran Bahasa Indonesia adalah pelajaran yang paling mudah. Saya tak sependapat.

Mereka mengira, pelajaran Bahasa Indonesia hanyalah teori dan menulis, "Ini ibu Budi." Sebenarnya pelajaran Bahasa Indonesia mencakup pengetahuan yang luas juga mencakup keterampilan berkomunikasi yang sangat penting sebagai bekal dalam kehidupan bermasyarakat.

Salah satu materi pada kelas IX yaitu "Memberi komentar terhadap karya seni atau produk dengan bahasa yang lugas dan sopan". Materi tersebut dilanjutkan dengan "Memberi teguran/nasehat kepada teman dengan bahasa yang lugas dan sopan".

Mungkin orang berpikir, apa susahnya sih memberi komentar? Apa susahnya memberi teguran dan nasehat? Semua orang bisa melakukannya dan hal itu tidak perlu dipelajari kan?

Baiklah, mari kita simak sepotong proses pembelajaran yang telah kami lakukan terkait materi tersebut.

Sebelumnya, saya sudah meminta siswa untuk membawa sebuah karya seni atau produk. Ada yang membawa gantungan kunci, mainan, peluit, ikan-ikanan kayu, gamelan mini, tasbih kayu, alat musik tifa, sabit, dan lain-lain.

Saya meminta para siswa untuk mengamati barang yang mereka bawa: mencermati kelebihan dan kekurangan. Kemudian mereka menuliskan pujian terhadap barang tersebut berdasarkan kelebihannya. Juga menuliskan kritikan berdasarkan kekurangannya.

Saya bertanya kepada siswa yang membawa sabit, "Apa yang akan terjadi jika kamu mengkritik sabit yang kamu bawa itu?"
"Tidak akan terjadi apa-apa," jawabnya.

"Apa yang akan terjadi," tanya saya lagi, "jika kamu mengkritik dengan kata-kata yang pedas, bahkan dengan kata-kata yang kasar?"
"Juga tidak akan terjadi apa-apa."

Iya, tidak akan terjadi apa-apa karena yang dikritik itu benda mati.

Pertanyaan saya selanjutnya, "Apa yang akan terjadi jika ada orang yang memegang sabit itu dan kamu mengkritik orang tersebut dengan kata-kata yang kasar dan pedas?"
"Dia akan marah," jawab beberapa siswa.

"Mungkin saja dia akan melemparkan sabitnya kepadamu," kata saya yang disambut tawa mereka.

Itulah perlunya kita belajar memberi komentar dengan kata-kata yang lugas (apa adanya, obyektif, jujur) dan sopan. Manusia memiliki hati dan perasaan, bukan benda mati.

Setelah selesai materi "Mengomentari karya seni atau produk", selanjutnya ialah memberi teguran atau nasehat kepada teman. Ingatlah bahwa manusia itu memiliki hati dan perasaan. Kita tidak bisa langsung memberikan kritikan atau teguran tanpa ada basa-basi atau pendahuluan.

Alangkah baiknya jika kita dahului dengan memberikan pujian terhadapnya. Misalkan, "Luar biasa, kamu sangat ceria dan bersemangat hari ini, ya. Tapi, alangkah bagusnya jika kamu duduk di tempat duduk kamu sendiri."

Atau, "Kamu itu punya potensi, kamu itu cerdas. Kalau kamu mau belajar dengan rajin, insya Allah, nilai kamu akan bagus."

Setelah para siswa selesai menuliskan teguran atau nasehat kepada salah seorang teman sekelasnya, saya meminta mereka maju satu per satu membacakan hasil pekerjaan mereka.

Siswa yang diberi kritikan, teguran, atau nasehat (yang tentu saja didahului dengan pujian) akan mendengarkan dengan baik. Hal itu bisa menjadi bahan introspeksi diri.
Dengan mendengarkan kritikan, teguran, atau nasehat dari temannya, mereka akan merasakan bagaimana rasanya dikritik, ditegur, atau dinasehati. Tentu saja hal itu menimbulkan rasa ketidaknyamanan di dalam hati. Dengan begitu, mereka akan berusaha menggunakan kata-kata yang baik jika hendak menegur atau menasihati orang lain.

Diharapkan, setelah mempelajari keterampilan memberi komentar, teguran, atau nasehat dengan bahasa yang lugas dan sopan, siswa dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, baik di sekolah, di rumah, maupun di masyarakat.


October 1, 2014

Generasi Cinta Sastra (Catatan Pak Guru #9)

Beberapa koleksi novel


Sebagian pembelajaran sastra di sekolah dilaksanakan tidak sebagaimana mestinya. Salah satunya ialah pembelajaran apresiasi sastra. Dalam apresiasi sastra sering siswa tidak membaca karya sastra secara lengkap.
 

 Indikator dalam kegiatan pembelajaran apresiasi sastra di antaranya membaca karya sastra, menemukan unsur-unsur intrinsik, meringkas atau membuat sinopsis, dan memberi komentar terhadap karya sastra.

Dalam pencapaian indikator tersebut, tentu saja siswa harus membaca karya sastra secara lengkap. Misalnya novel, siswa harus membaca dari halaman pertama sampai halaman terakhir. Tidak cukup bagi siswa hanya membaca beberapa kutipan atau membaca sinopsisnya.

Membaca sebuah novel, bagi sebagian siswa merupakan pekerjaan yang berat karena mereka tidak terbiasa membaca. Tak heran, dahulu Taufik Ismail menyebut pelajar Indonesia sebagai generasi nol buku. Hal itu berdasarkan jumlah buku yang wajib dibaca siswa dalam satu tahun. Beberapa negara mewajibkan para pelajar untuk membaca beberapa buku dalam satu tahun.

Masing-masing negara targetnya berbeda. Ada yang kurang dari 10 buku ada yang lebih dari 40 buku per tahun. Pelajar Indonesia, target buku yang dibaca dalam satu tahun ialah 0 (nol) buku.

Perlu adanya uapaya untuk menggalakkan gerakan cinta membaca agar lahir generasi yang cinta sastra. Salah satunya ialah siswa diwajibkan membaca karya sastra. Targetnya bisa disesuaikan dalam satu tahun.

Dalam pembelajaran Bahasa Indonesia dengan materi apresiasi sastra, saya mewajibkan siswa membaca novel secara lengkap. Kalau perlu, siswa membeli novel agar memiliki koleksi novel sendiri.

Dengan membaca novel secara lengkap, siswa dapat memetik manfaat yang banyak. Di antaranya, lebih memahami karya sastra yang diapresiasi dan menumbuhkan suka membaca.


 ---
Sukoharjo, 2 September 2014
***