Pages

March 20, 2012

Malulah pada Mbah Dauzan

Penglihatannya sudah rabun, fungsi pendengarannya pun juga tidak sempurna. Begitulah lazimnya keadaan seseorang ketika menginjak usia senja. Salah satunya adalah Dauzan Farook. Tapi, ada satu hal yang menarik dari kakek veteran perang kelahiran 21 Januari 1925 ini. 
 
Mbah Dauzan, demikian kebanyakan orang memanggilnya, mendirikan dan mengelola perpustakaan Mabulir dengan uangnya sendiri. Mabulir adalah singkatan dari Majalah dan Buku Keliling Bergilir.

Mbah Dauzan sangat bersemangat menggerakkan masyarakat gemar membaca. Ia merasa prihatin dengan kondisi remaja sekarang. Minat bacanya sangat rendah, cenderung hedonis, dan materialis. Setiap hari Mbah Dauzan berkeliling kota Yogya, keluar masuk gang, rumah penduduk, pesantren, masjid, TPQ, taman bacaan, karang taruna, kelompok bermain, menawari para mahasiswa, ustadz, ibu-ibu, anak-anak, santri, guru, agar mau menerima pinjaman buku koleksi Mabulir secara gratis. Iya, secara gratis. Mbah Dauzan berkeliling dari satu kapung ke kampung lainnya hanya untuk meminjamkan koleksi bukunya agar masyarakat mau membaca.

Apa yang dilakukan oleh Dauzan Farook tersebut patut kita acungi jempol. Bahkan upaya tersebut luar biasa mengingat kondisi masyarakat kita yang semakin menggemari budaya instan, ingin serba cepat. Begitu pun mahasiswa. Budaya serba cepat tersebut kiranya sedikit banyak mulai mendarah daging dalam tubuh mahasiswa. Mahasiswa lebih suka berselancar di dunia maya untuk mencari sebuah materi atau tugas perkuliahan. Bagi mereka, mencari buku di rak-rak perpustakaan untuk kemudian membolak-balik kertas dan menuliskannya adalah satu pekerjaan yang berat. Lebih mudah bagi mereka mengetik kata kunci di mesin pencari internet dan ketemulah apa yang dicari untuk kemudian di-copy-paste. Satu hal yang memprihatinkan dari efek budaya serba cepat ini adalah adanya plagiatisme. Alih-alih mahasiswa bersusah payah menyusun karya ilmiah, mereka main comot hasil tulisan orang lain.

Budaya serba cepat ini sangat kentara kita jumpai pada masa penyusunan skripsi atau tugas akhir. Saat mulai menyusun skripsi mahasiswa berbondong-bondong menyerbu perpustakaan. Mulailah mereka menyusur rak-rak buku, membolak-balik buku, dan membaca hasil-hasil penelitian terdahulu. Mereka membaca karena terpaksa. Tidak ada kerelaan dan kesenangan dalam membaca. Mereka membaca hanya untuk menyelesaikan tugas akhirnya. Dikarenakan mereka jarang membaca sebelumnya, maka hasil tugas akhirnya pun tidak bisa maksimal atau asal-asalan dan bahkan ada tindak plagiat dalam hasil kajiannya. Kegiatan berkunjung ke perpustakaan pun menjadi semacam kegiatan musiman. Ketika musim penyusunan tugas akhir mereka berbondong-bondong menyerbu perpustakaan. Perpustakaan yang biasanya sepi menjadi ramai. Ketika sudah tidak lagi musim penyusunan tugas akhir, perpustakaan sepi lagi.

Aktivitas membaca belum menjadi semacam budaya atau kebiasaan. Membaca belum menjadi kegiatan yang menyenangkan. Di tengah badai teknologi, seakan-akan buku menjadi barang antik yang jarang disentuh. Padahal sebagai akademisi, intelektual muda, calon penerus bangsa, pelopor prubahan atau apapun istilahnya, mahasiswa mestinya memaksakan diri untuk meningkatkan kualitas intelektual mereka. Salah satunya adalah dengan membaca dalam keadaan membutuhkan maupun tidak membutuhkan. Ketika aktivitas membaca sudah dijauhi dan digantikan oleh aktivitas copy-paste, maka intelektualitas mahasiswa menjadi lambat berkembang atau bahkan tidak berkembang sama sekali. Jika begini keadaan mahasiswa, maka malulah pada Mbah Dauzan.


Sukrisno
Sukoharjo, 17 Mei 2011 23.30 WIB

No comments:
Write comments