Pages

February 20, 2016

Menyampuli Hati



Suatu pagi yang syahdu --halah--, saya masuk ke kelas VIII putri. Saya tenteng 1 boxset buku cerita karya Roald Dahl. Satu box itu berisi belasan buku. Di dalam kelas, perhatian para siswi langsung tertuju pada buku itu. "Itu buku apa, Pak?" riuh tanya mereka.

Setelah beruluk salam dan basa-basi, "Apakah sehat semua hari ini? Siapa yang belum mandi tadi pagi?", saya menjelaskan ihwal buku yang saya bawa.

"Mulai hari ini," kata saya, "setiap pelajaran Bahasa Indonesia, Pak Guru memberi kalian waktu sepuluh menit untuk membaca buku. Bukunya bebas, selain buku pelajaran."

"Yeeeyy...," teriak sebagian siswi. Maksud saya "teriak" di sini memang benar-benar teriak. Mungkin jika ada cermin di kelas bakalan pecah kena gelombang suara teriakan itu. : D

Pertemuan sebelumnya, saya sudah memberitahukan kepada mereka agar membawa buku yang belum selesai dibaca, jika punya. Sebagian siswi membawa, sebagian besar yang lain tidak membawa.

"Ini Pak Guru bawakan beberapa buku. Kalian juga boleh membawa buku dari rumah kalau punya. Kalau tidak punya, ya beli. Sekali-kali jajan buku gitu, lho."

Saya mengeluarkan buku-buku itu dari boxset sambil menjelaslan secara singkat tentang buku itu. Warna sampulnya yang mencolok memang menarik mata.

"Sebagian belum Pak Guru sampuli," lanjut saya. "Sambil kalian membaca, Pak Guru akan menyampuli sebagian buku ini."

Saya bagikan buku-buku itu kepada siawi yang tidak membawa buku dari rumah.

"Saya malas membaca, Pak," kata seorang siswi.
"Tetap harus membaca, ya. Ya, sudah, buat kamu buku ini saja. Bukunya tipis dan banyak gambar ilustrasinya," kata saya sambil menyerahkan buku yang tebalnya tak sampai seratus halaman.

Lalu, seisi kelas berasyik masyuk dengan buku di tangan. Saya dengan santai menyampuli buku.

Sambil menyampuli buku, dengan suara yang tidak keras saya berkata, "Buku itu harus disampuli agar awet, terjaga, tidak mudah kotor. Begitu juga dengan hati, juga harus disampuli agar terjaga, tidak mudah tergoda, tidak kotor atau malah retak. Makanya hati harus disampuli, dijaga baik-baik."

Seisi kelas pun tertawa. Sebagian yang malu-malu hanya tersenyum saja. Padahal, saya kan sedang tidak melucu.