Pages

November 25, 2015

Guru yang Dikenang

Saya guru yang bagaimanakah?

Saya baru ngeh kalau hari ini, 25 November, adalah hari guru setelah melihat kilasan berita di timeline media sosial yang menanyangkan acara peringatan Hari Guru yang dihadiri oleh presiden, para pejabat, dan ribuan guru yang berseragam putih. Maklum, saya takmudah mengingat-ingat hari dan tanggal peringatan nasional.

Murid-murid saya di kelas juga mengingatkan saya akan hari yang spesial bagi profesi guru ini dengan ucapan mereka, “Pak Guru, Selamat Hari Guru.”

Di Hari Guru ini, saya mengingat-ingat guru-guru yang pernah mengajar saya di SD. Dan, sungguh maafkan saya wahai Bapak Ibu Guruku, saya tak mahir dalam hal mengingat-ingat nama. Soal wajah dan sikap, saya memang masih ingat dengan mereka. Jika bertemu dengan salah satu guru di jalan, saya akan mengingat wajahnya, namun sayangnya seringkali saya lupa namanya.

Saya ingat, beberapa guru SD saya. Wali kelas saya yang murah senyum dan baik hati. Guru Olahraga yang penuh semangat dan sering menraktir. Guru Agama yang perawakannya besar dan suaranya keras, dan guru lainnya.

SMP dan SMA, saya mengingat beberapa nama guru dan sifat mereka. Masing-masing memiliki ciri khas dan kelebihan sendiri-sendiri. Namun, ada juga guru yang tak terlupakan saking galaknya.

Begitulah, ternyata guru-guru kita akan selalu dalam kenangan. Baik kenangan manis, pahit, suka, dan duka. Ada guru yang dikenang karena kesabarannya. Ada yang dikenang karena kegalakannya. Ada yang dikenang karena cara mengajarnya yang asyik. Ada yang dikenang karena sering menjadi tempat bercerita. Ada yang dikenang karena ketegasannya.

Saya pernah menanyakan kepada beberapa murid: siapakah guru yang paling diingat? Mereka mengingat-ingat dengan jelas guru-guru yang meninggalkan bekas atau kesan di hati mereka, baik itu kesan baik maupun kesan buruk.

Pada Hari Guru ini, ada satu pertanyaan yang menelusup di hati saya. Suatu hari nanti, saya akan dikenang sebagai guru yang bagaimanakah oleh murid-murid saya.

***
Sukoharjo, 25 November 2015

November 23, 2015

Kisah Sebutir Permen

Gambar hanya ilustrasi.

Inilah kisah sebutir permen pada suatu hari di sekolah.
Sebutir permen yang mencari pemiliknya.

Hari itu cuaca panas. Suasana gerah menyelubungi seisi sekolah. Untungnya, kelas di lantai dua –tempatku mengajar—masih terasa ada hembusan angin dari arah selatan. Mengurangi hawa panas dan gerah pada pelajaran Bahasa Indonesia pagi itu.

Pagi itu, sebelum mengajar, saya menyempatkan makan pagi di warung soto di pinggir jalan Tentara Pelajar. Setelah makan pagi, saya melihat di jok sepeda motor ada beberapa koin uang receh. Saya memang biasanya menaruh uang receh kembalian membeli sesuatu di jok sepeda motor. Terlintas dalam benak saya untuk membeli sebungkus permen.

Setelah menghitung uang receh yang ada, saya melaju ke minimarket terdekat. Saya memilih sebungkus permen seharga tujuh ribu rupiah. Harga sejumlah uang receh di dalam jok motor. Sebungkus itu berisi dua puluh butir permen.

Di dalam kelas, setelah menyampaikan materi tentang menulis naskah drama, saya meminta para siswi untuk membuat kelompok beranggotakan 7 orang. Tugas mereka adalah membuat naskah drama yang akan mereka pentaskan.

Sebelum saya menyerahkan waktu berdiskusi untuk mereka, saya merogoh kantong sambil berkata, “Sebelum kalian mengerjakan tugas ini, Pak Guru memiliki hadiah untuk kalian.”
Terlihat wajah-wajah yang berbinar mendengar kata hadiah.

Kemudian saya perlihatkan sebungkus permen itu. Saya tahu, sebutir permen bukanlah pemberian yang berharga, namun setidaknya itu yang bisa saya berikan. Dan saya tulus memberikannya. Harapan saya, mereka bisa merasa senang dengan pemberian yang tak seberapa itu.

Saya berkeliling kelas, menghampiri meja para siswi satu per satu. Saya serahkan kepada mereka langsung.
“Kenapa Pak Guru memberi permen?” tanya seorang siswi.
“Karena Pak Guru senang membuat kalian senang,” jawab saya sambil tersenyum.

“Pak Guru suka muter-muter, ya?” tanya seorang siswi yang duduk di kursi paling belakang setelah menerima sebutir permen. Maksud pertanyaan itu ialah mengapa saya berjalan keliling kelas untuk memberikan permen satu per satu.
“Karena kalau Pak Guru di depan terus, nanti yang di belakang merasa tidak terperhatikan.”

Ada sisa enam permen. Jumlah siswi di kelas ini lima belas, satu siswi absen. Enam permen itu masuk kembali ke dalam saku.

Jam pelajaran berikutnya, saya mengajar di kelas sebelah dengan jumlah 22 siswa. Pelajaran TIK dengan materi membuat brosur menggunakan aplikasi Microsoft Office 2007 atau 2010. Hanya ada tiga laptop di dalam kelas.

Setelah menyampaikan materi, saya meminta beberapa siswa untuk praktik. Saya mengiming-imingi hadiah sebutir permen bagi siswa yang mau praktik. Kemudian beberapa dari mereka berebut untuk praktik. Satu siswa menyelesaikan tugas, hadiah sebutir permen untuknya. Disusul siswa yang lain, hingga tersisa satu permen di tangan saya. Dan, waktu pelajaran pun usai. Beberapa siswa berebut meminta permen yang tinggal satu butir itu. Saya tidak memberikannya karena yang lain akan iri.

Saat akan shalat Dhuhur saya melihat seorang siswa yang akan wudhu. Saya teringat sebutir permen yang ada di dalam saku. Saya mau memberikannya kepada siswa tersebut, namun tiba-tiba temannya muncul dari dalam kamar mandi. Ternyata siswa tersebut bersama dua orang temannya. Saya pun tak jadi mengeluarkan permen tersebut. Permennya cuma satu, sedangkan mereka ada tiga. Saya tak mau bersikap tidak adil dengan memberikannya kepada salah seorang dari mereka.

Sebutir permen itu tetap menetap di dalam saku saat saya shalat Dhuhur. Pun, ketika saya mengajar jam terakhir. Jam pelajaran membaca Al-Quran yang berakhir ketika Ashar. Saat jam mengajar akan selesai, ada dua siswa yang terlihat bersitegang. Dua siswa yang berasal dari kelas yang berbeda. Awalnya mereka bercanda. Belum sempat saya menegur, mereka sudah terlihat saling mendorong. Terlihat amarah di wajah mereka.

Saya pun segera melerai mereka. Salah satu dari mereka saya minta keluar untuk wudhu –waktu itu adzan Ashar sudah berkumandang. Satu siswa saya minta duduk di tempat. Setelah beberapa saat, setelah amarah dan rasa jengkelnya reda, saya mengajak siswa yang duduk itu untuk wudhu.

Sebutir permen itu masih tak meninggalkan saku. Hingga shalat Ashar selesai.

Setelah shalat Ashar, saya memanggil dua siswa yang bertengkar tersebut. Setelah duduk tenang, saya bertanya kepada mereka.

“Siapa yang salah?” tanya saya.
“Saya yang salah, Pak,” jawab seorang dari mereka. 


“Siapa yang salah?” tanya saya kepada yang lainnya.
“Dia yang salah, Pak. Tapi, saya juga salah, Pak,” jawabnya.
Kemudian mereka bersalaman tanpa saya minta.

“Masalah ini biar diselesaikan oleh wali kelas,” kata saya. “Kamu besok sebelum Dhuhur silakan menghadap wali kelas kamu. Bilang bahwa kamu hari ini bertengkar. Mintalah nesehat dan mintalah hukuman. Mengerti?”
“Mengerti, Pak.”
“Kamu silakan keluar, pulanglah.”

Siswa tersebut kemudian bersalaman dengan saya dan keluar ruangan. Siswa yang satu lagi, karena saya wali kelasnya, saya yang menanganinya. Saya ingatkan kepadanya bahwa ia memiliki potensi yang baik, potensi sebagai pemimpin, dan lain-lain. Nasehat yang saya berikan tak sampai dua menit.

“Ini adalah kejadian yang pertama dan yang terakhir, mengerti?” kata saya. “Pak Guru tidak mau kamu ada masalah seperti ini lagi.”
“Iya, Pak.”

Kemudian saya teringat sebutir permen di dalam saku. Saya ambil permen itu. Saya sodorkan kepadanya.
“Ya sudah, sekarang pulanglah,” kata saya sambil menyerahkan permen itu.

Itulah kisah sebutir permen pada suatu hari di sekolah.


***

Sukoharjo, 21 November 2015



November 18, 2015

Mari Duduk dan Menangis Bersama

Ini kejadian dahulu.

Selama dua hari keadaan kelas tegang. Ruang kelas didominasi oleh raut muka yang jenuh, jengkel, cemberut, sedih, marah. Begitu juga kelas sebelah.

Alkisah, penghuni dua kelas ini sedang mengalami gesekan, khususnya para siswi. Sebut saja kelas A dan B. Kebetulan saya wali kelas B. Mereka bersitegang karena satu dan beberapa masalah. Masalah remaja. Masalah ego, eksistensi diri. Berawal saling melempar ejek, membanding-bandingkan, hingga timbul amarah. Kemudian saling diam.

Awalnya saya tidak menganggap serius masalah ini. Namun setelah dua hari tak menunjukkan masalah ini akan mereda, akhirnya saya berniat menyelesaikan masalah ini. Saya sebagai wali kelas merasa bertanggung jawab membatu para siswa menyelesaikan masalah. Biasanya saya cukup diam dan mengawasi, membiarkan mereka belajar menyelesaikan masalahnya sendiri. Kali ini, kiranya mereka membutuhkan bimbingan.

Sebelum saya sempat menemui mereka, setelah jam pelajaran usai, beberapa dari mereka mendatangi saya. Mereka ingin curhat, menyampaikan permasalahan mereka. Saya pun “diseret” ke dalam kelas.

Di dalam kelas, mereka mulai berbicara. Saya menanyakan akar permasalahannya. Belum lama kami berbincang, para siswi kelas A, melihat dan mendengar perbincangan kami. Mereka pun masuk ke dalam kelas. Mereka bermaksud pula mengadukan permasalahan. Maklum, saya dekat dengan para siswi di kedua kelas itu. 


Jadilah mereka berkumpul dalam satu kelas. Siswi kelas A berkumpul membuat lingkaran dan siswi kelas B membuat lingkaran sendiri. Perhatian mereka tertuju kepada saya.


Saya memberi kesempatan kepada salah satu pihak untuk mengadukan permasalahan mereka. Kemudian, bergantian pihak yang lain. Saya mencegah agar tidak ada yang menyahut saat yang lain berbicara.

Mereka mengadukan beberapa hal: suka mengejek temannya, sikap yang menjengkelkan temannya, merasa dianak-tirikan, perhatian guru yang tidak adil, dan lain-lain yang saya sudah lupa apa saja.

Saat mengungkapkan hal tersebut, beberapa dari mereka sudah tak tahan menahan air mata. Mata mereka berkaca-kaca, beberapa mengalirkan air mata. Maklum, anak putri.

Setelah semua selesai menyampaikan aduan dan pendapatnya, giliran saya yang berbicara. Awalnya, saya meluruskan beberapa hal yang membuat mereka salah paham dan salah sangka. Setelah itu, saya menyampaikan beberapa hal. Saya tidak membahas permasalahan mereka secara detail. Saya tidak bertanya dan mencari tahu siapa yang salah dan siapa yang memulai masalah.

Saya menyampaikan pentingnya persahabatan. Bahwa persahabatan itu berharga. Dan semakin banyak dan besar badai yang menghantam ikatan persahabatan itu, semakin kuat ia. Saya juga menyampaikan beberapa contoh bentuk persahabatan yang kuat yang telah melalui ujian gesekan dan ketegangan.

Saya mengingatkan mereka bahwa sahabat adalah orang yang terlalu berharga untuk dilepaskan hanya karena masalah-masalah kecil. Bahwa setiap sahabat tidak selalu menjadi orang yang kita inginkan, bahkan kadang menjadi sangat menyebalkan. Namun, seperti itulah sahabat.

Dengan itulah saya menyentuh hati mereka. Mereka mendengarkan dengan khyusuk dan kepala tunduk. Hampir semua dari mereka menangis. Wajah-wajah mereka basah oleh air mata. Pipi mereka memerah.

Saya diam sejenak. Saat akan melanjutkan berbicara, salah satu dari mereka menyela ingin berbicara. Setelah menghentikan tangisnya dan mengatur napas, ia mengatakan mewakili teman-teman sekelasnya meminta minta maaf pada teman-teman dari kelas satunya.

Ucapan maaf pun berhamburan. Maaf dan memaafkan. Senyum campur tangis pun menghias wajah-wajah mereka. Kamu bisa membayangkan kan bagaimana wajah yang awalnya menangis sedu kemudian tersenyum-senyum.
 

Lalu kehadiran saya terabaikan, seolah-olah saya tidak ada di situ karena mereka sudah sibuk bermaaf-maafan dan saling cium pipi. 

Saya tak mengira masalah selesai secepat itu. Dari awal perbincangan hingga terucap kata maaf mereka, tak sampai waktu lima belas menit. Saya bersyukur. Mereka memang anak-anak yang baik.

Untuk menyelesaikan masalah dua belah pihak, yang kita butuhkan adalah komunikasi. Duduk bersama. Dalam kasus ini ialah duduk bersama dan menangis bersama. Lalu akan kita lihat seolah-olah mereka tidak pernah saling membenci. Dan persahabatan mereka semakin erat.


***

Sukoharjo, 18 November 2015

November 16, 2015

I Hate Monday?

Upacara hari Senin. I hate Monday?

I hate Monday ‘Aku benci hari Senin’, banyak dirasakan oleh orang yang biasanya memiliki aktivitas pekanan mingguan yang rutin. Mereka beraktivitas mulai hari Senin sampai Jumat atau Sabtu, kemudian menikmati libur pekanan pada hari Minggu. Setelah hari Minggu, biasanya mereka malas untuk memulai aktivitas pekanan yang baru di hari Senin.

Begitu pula seorang siswa. Hari Senin biasanya masih malas untuk masuk sekolah lantaran badan dan pikiran diliburkan selama 2 hari. Di sekolah tempat saya mengajar, kegiatan belajar regular hari Senin – Jumat. Sabtu dan Minggu , para siswa libur. Hari Senin, apalagi ditambah dengan upacara, menjadi hari yang diawali dengan perasaan enggan.

Saya mengalami hal-hal seperti itu sewaktu sekolah dulu. Kini, setelah menjadi guru, sangat jarang saya memiliki perasaan I hate Monday. Justru, setiap hari Senin ada semangat baru. Ada harapan baru. Setelah tak bertemu dengan para siswa selama 2 hari, rasanya ingin melihat mereka lagi. Sekadar melihat senyum dan tawa mereka. Melihat tingkah polah mereka. Melihat mereka berlari-larian.

Senin adalah hari yang baru. Hari yang penuh semangat untuk memulai aktivitas pembelajaran selama sepekan.

Bagi sebagian siswa, mungkin hal itu berlaku juga. Mereka menyambut hari Senin dengan wajah cerah dan mata berbinar. Dua hari tak bertemu teman sekelas memunculkan kangen. Mereka ingin segera bertemu dengan teman-temannya, bercerita, bercanda.

I love Monday. Iya, Senin adalah hari yang dicinta. Hari yang meletupkan kegembiraan. Hari yang mengobati rindu. Semoga.


***
Sukoharjo, 15 November 2015