Pages

June 5, 2012

Model Penilaian Kelas

Implementasi PP No. 19 tentang Standar Pendidikan Nasional membawa implikasi terhadap sistem penilaian, termasuk konsep dan teknik penilaian yang dilaksanakan di kelas.

Penilaian hasil belajar dilakukan oleh pendidik (dalam hal ini guru), satuan pendidikan dan pemerintah. Penilaian hasil belajar yang dilakukan oleh guru satuan pendidikan termasuk penilaian internal (internal assessment), sedangkan yang diselenggarakan pemerintah termasuk penilaian eksternal (external assessment). 

 Penilaian internal adalah penilaian yang direncanakan dan dilakukan oleh pendidik pada proses pembelajaran berlangsung dalam rangka penjaminan mutu. Penilaian eksternal merupakan penilaian yang dilakukan oleh pemerintah sebagai pengendali mutu, seperti ujian nasional.

Penilaian kelas merupakan penilaian internal terhadap proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan oleh pendidik, dalam hal ini guru di kelas atas nama satuan pendidikan untuk menilai kompetensi peserta didik pada saat dan akhir pembelajaran.


A. Pengertian Penilaian Kelas
Penilaian kelas merupakan suatu kegiatan yang dilakukan guru yang berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang pencapaian kompetensi dasar setelah mengikuti proses pembelajaran.

Data yang diperoleh pendidik selama pembelajaran berlangsung dijaring dan dikumpulkan melalui prosedur dan alat penilaian yang sesuai dengan kompetensi dasar atau indikator yang akan dinilai. Dari proses ini, diperoleh potret/profil kemampuan peserta didik dalam mencapai sejumlah standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dirumuskan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan masing-masing. Data tersebut diperlukan sebagai informasi yang diandalkan sebagai dasar pengambilan keputusan.

Penilaian kelas merupakan suatu proses yang dilakukan melalui langkah-langkah perencanaan, penyusunan alat penilaian, pengumpulan informasi melalui sejumlah bukti yang menunjukkan pencapaian hasil belajar peserta didik, pengolahan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar peserta didik. Penilaian kelas dilaksanakan melalui berbagai teknik/cara, seperti penilaian unjuk kerja (performance), penilaian tertulis (paper and pencil test) atau lisan, penilaian proyek, penilaian produk, penilaian melalui kumpulan hasil kerja/karya peserta didik (portfolio), dan penilaian diri.

Penilaian hasil belajar baik formal maupun informal diadakan dalam suasana yang menyenangkan, sehingga memungkinkan peserta didik menunjukkan apa yang dipahami dan mampu dikerjakannya. Hasil belajar seorang peserta didik dalam periode waktu tertentu dibandingkan dengan hasil yang dimiliki peserta didik tersebut sebelum mengikuti proses pembelajaran, dan dianalisa apakah ada peningkatan kemampuan, bila tidak terdapat peningkatan yang signifikan, maka guru memunculkan pertanyaan; apakah program yang saya buat terlalu sulit?, apakah cara mengajar saya kurang menarik?, apakah media yang digunakan tidak sesuai?, dan lain-lain. 
Tingkat kemampuan satu peserta didik tidak dianjurkan untuk dibandingkan dengan peserta didik lainnya, agar tidak merasa rendah diri, merasa dihakimi oleh pendidik tetapi dibantu untuk mencapai kompetensi atau indikator yang diharapkan.


B. Manfaat Penilaian Kelas
Manfaat penilaian kelas antara lain sebagai berikut:
  1. Untuk memberikan umpan balik bagi peserta didik agar mengetahui kekuatan dan kelemahannya dalam proses pencapaian kompetensi. 
  2. Untuk memantau kemajuan dan mendiagnosis kesulitan belajar yang dialami peserta didik.   
  3. Untuk umpan balik bagi pendidik dalam memperbaiki metode, pendekatan, kegiatan, dan sumber belajar yang digunakan.  
  4. Untuk masukan bagi pendidik guna merancang kegiatan belajar.  
  5. Untuk memberikan informasi kepada orang tua dan komite satuan pendidikan tentang efektivitas pendidikan.   
  6. Untuk memberi umpan balik bagi pengambil kebijakan (Diknas Daerah) dalam mempertimbangkan konsep penilaian kelas yang digunakan.


C. Fungsi Penilaian Kelas
Penilaian kelas memiliki fungsi sebagai berikut:
  1. Menggambarkan sejauhmana seorang peserta didik telah menguasai suatu kompetensi. 
  2. Mengevaluasi hasil belajar peserta didik dalam rangka membantu peserta didik memahami kemampuan dirinya, membuat keputusan tentang langkah berikutnya, baik untuk pemilihan program, pengembangan kepribadian maupun untuk penjurusan (sebagai bimbingan).  
  3. Menemukan kesulitan belajar dan kemungkinan prestasi yang bisa dikembangkan peserta didik dan sebagai alat diagnosis yang membantu pendidik menentukan apakah seseorang perlu mengikuti remedial atau pengayaan.  
  4. Menemukan kelemahan dan kekurangan proses pembelajaran yang sedang berlangsung guna perbaikan proses pembelajaran berikutnya.  
  5. Sebagai kontrol bagi pendidik dan satuan pendidikan tentang kemajuan perkembangan peserta didik.


D. Prinsip-prinsip Penilaian Kelas

1. Validitas
Validitas berarti menilai apa yang seharusnya dinilai dengan menggunakan alat yang sesuai untuk mengukur kompetensi. Dalam mata pelajaran pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan, misalnya indikator ” mempraktikkan gerak dasar jalan..”, maka penilaian valid apabila mengunakan penilaian unjuk kerja. Jika menggunakan tes tertulis maka penilaian tidak valid.

2. Reliabilitas
Reliabilitas berkaitan dengan konsistensi (keajegan) hasil penilaian. Penilaian yang reliable (ajeg) memungkinkan perbandingan yang reliable dan menjamin konsistensi. Misal, pendidik menilai dengan unjuk kerja, penilaian akan reliabel jika hasil yang diperoleh itu cenderung sama bila unjuk kerja itu dilakukan lagi dengan kondisi yang relatif sama. Untuk menjamin penilaian yang reliabel petunjuk pelaksanaan unjuk kerja dan penskorannya harus jelas.

3. Menyeluruh
Penilaian harus dilakukan secara menyeluruh mencakup seluruh domain yang tertuang pada setiap kompetensi dasar. Penilaian harus menggunakan beragam cara dan alat untuk menilai beragam kompetensi peserta didik, sehingga tergambar profil kompetensi peserta didik.

4. Berkesinambungan
Penilaian dilakukan secara terencana, bertahap dan terus menerus untuk memperoleh gambaran pencapaian kompetensi peserta didik dalam kurun waktu tertentu.

5. Obyektif

Penilaian harus dilaksanakan secara obyektif. Untuk itu, penilaian harus adil, terencana, dan menerapkan kriteria yang jelas dalam pemberian skor.

6. Mendidik
Proses dan hasil penilaian dapat dijadikan dasar untuk memotivasi, memperbaiki proses pembelajaran bagi pendidik, meningkatkan kualitas belajar dan membina peserta didik agar tumbuh dan berkembang secara optimal.


Sumber:
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN NASIONAL
PUSAT KURIKULUM

Hakikat Buku Teks


 

A. Pengertian Buku Teks
Buku teks terjemahan dari textbook dalam bahasa Inggris. Singkatnya, buku teks merupakan buku standar atau buku setiap cabang studi dan dapat terdiri dari dua tipe yaitu buku pokok/utama dan suplemen/tambahan (Lange, 1940).

Menurut Bacon (1935) buku teks merupakan buku yang dirancang buat penggunaan di kelas, dengan cermat disusun dan disiapkan oleh para pakar atau para ahli dalam bidang itu dan diperlengkapi dengan sarana-sarana pengajaran yang sesuai dan serasi”. (Tarigan & Tarigan, 2010)

Ada yang mengatakan bahwa “buku teks adalah rekaman pikiran rasial yang disusun buat maksud-maksud dan tujuan-tujuan intruksional” (Hall-Quest, 1915). Ahli yang lain, Lange (1940) menjelaskan bahwa “buku teks adalah buku standar/buku setiap cabang khusus studi” dan dapat terdiri dari dua tipe yaitu buku pokok/utama dan suplemen/tambahan. (Tarigan &Tarigan, 2010)

Buku teks atau buku pelajaran berisi informasi tentang ilmu pengetahuan atau pelajaran tertentu, mulai dari SD hingga perguruan tinggi. Buku teks ini termasuk dalam golongan nonfiksi. Buku teks sering dipergunakan oleh para ilmuwan untuk meyebarkan hasil penelitian atau penemuan mereka. Buku teks pelajaran merupakan buku yang dipakai untuk mempelajari atau mendalami suatu subjek pengetahuan dan ilmu serta teknologi atau suatu bidang studi, sehingga mengandung penyajian asas-asas tentang subjek tersebut, termasuk karya kepanditaan (scholarly, literary) terkait subjek yang bersangkutan. (Tarigan & Tarigan, 2010)

Buku teks merupakan buku pelajaran dalam bidang studi tertentu, yang merupakan buku standart, yang disusun oleh para pakar dalam bidang itu untuk maksud dan tujuan instruksional, yang dilengkapi sarana-sarana pengajaran yang serasi dan mudah dipahami oleh para pemakainya di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi sehingga dapat menunjang suatu program pengajaran. (Tarigan & Tarigan, 2010)


B. Ciri-ciri Buku Teks
Dari pengertian buku teks di atas, dapat kita ambil pokok-pokok yang menjadi ciri-cir buku teks. Ciri-ciri buku teks adalah sebagai berikut: 

1. Buku teks merupakan buku pelajaran dalam bidang studi tertentu.
Buku teks hanya memuat materi satu bidang studi tertentu. Misalnya ada buku teks bidang studi Bahasa Indonesia, buku teks bidang studi Matematika, buku teks bidang studi Pendidikan Agama Islam, buku teks bidang studi Kesenian, dan lain-lain.

2. Buku teks merupakan buku standar.
Buku teks memuat materi pelajaran yang sesuai dengan kurikulum yang berlaku sehingga setiap peserta didik dianjurkan atau diberikan buku teks untuk menunjang proses pembelajaran.

3. Buku teks disusun oleh para pakar dalam bidang itu.
Buku teks haruslah disusun oleh para pakar dalam bidang itu agar buku teks berkualitas baik serta efektif dan efisien dalam mendukung tercapainya tujuan pembelajaran. Dalam bidang studi Bahasa Indonesia kita mengenal para pakar seperti Henry Guntur Tarigan, Djajo Tarigan, dan lain-lain.

4. Buku teks mempunyai maksud dan tujuan instruksional.
Buku teks disusun sebagai acuan dalam proses pembelajaran. Buku teks memuat materi yang sistematis sehingga ideal untuk mencapai maksud dan tujuan instruksional.

5. Buku teks dilengkapi sarana-sarana pengajaran yang serasi dan mudah dipahami oleh para pemakainya di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi.

Buku teks berisi materi yang sistematis yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi pembelajaran sehingga mudah digunakan oleh pendidik dan mudah dipahami oleh peserta didik.

6. Buku teks dapat menunjang suatu program pengajaran.
Penyusunan buku teks diharapkan dapat menunjang progran pengajaran.


C. Kriteria Buku Teks yang Baik
Grene dan Pettya menyusun cara penilaian buku teks dengan sepuluh kriteria, yaitu:
  1. Buku teks itu haruslah menarik minat anak-anak, yaitu para siswa yang mempergunakannya. 
  2. Buku teks itu haruslah mampu memberi motivasi kepada para siswa yang memakainya.
  3. Buku teks itu haruslah memuat ilustrasi yang menarik hati para siswa yang memanfaatkannya
  4. Buku teks itu seyogyanya mempertimbangkan aspek-aspek linguistik sehingga sesuai dengan kemampuan para siswa yang memakainya. 
  5. Buku teks itu isinya haruslah berhubungan erat dengan pelajaran-pelajaran lainnya, lebih baik lagi kalau dapat menunjangnya dengan rencana, sehingga semuanya merupakan suatu kebulatan yang utuh dan terpadu.
  6. Buku teks itu haruslah dapat menstimulasi atau merangsang aktivitas pribadi para siswa yang menggunakannya.
  7. Buku teks itu haruslah dengan sadar dan tegas menghindari konsep-konsep yang samar-samar dan tidak biasa, agar tidak sempat membingungkan para siswa yang memakainya.
  8. Buku teks itu haruslah mempunyai sudut pandang atau point of view yang jelas dan tegas sehingga pada akhirnya menjadi sudut pandang para pemakainya yang setia.
  9. Buku teks haruslah mampu memberi pemantapan, penekanan pada nilai-nilai anak dan orang dewasa. 
  10. Buku teks itu haruslah dapat menghargai perbedaan-perbedaan pribadi para siswa pemakainya.

 
SIMPULAN
Buku teks adalah buku pelajaran dalam bidang studi tertentu, yang merupakan buku standart, yang disusun oleh para pakar dalam bidang itu untuk maksud dan tujuan instruksional, yang dilengkapi sarana-sarana pengajaran yang serasi dan mudah dipahami oleh para pemakainya di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi sehingga dapat menunjang suatu program pengajaran. Pengertian buku teks tersebut sekaligus sebagai ciri-ciri buku teks.

Kriteria buku teks yang baik adalah: (1) buku teks itu haruslah menarik minat anak-anak, yaitu para siswa yang mempergunakannya, (2) buku teks itu haruslah mampu memberi motivasi kepada para siswa yang memakainya, (3) buku teks itu haruslah memuat ilustrasi yang menarik hati para siswa yang memanfaatkannya, (4) buku teks itu seyogyanya mempertimbangkan aspek-aspek linguistik sehingga sesuai dengan kemampuan para siswa yang memakainya, (5) buku teks itu isinya haruslah berhubungan erat dengan pelajaran-pelajaran lainnya, lebih baik lagi kalau dapat menunjangnya dengan rencana, sehingga semuanya merupakan suatu kebulatan yang utuh dan terpadu, (6) buku teks itu haruslah dapat menstimulasi atau merangsang aktivitas pribadi para siswa yang menggunakannya, (7) buku teks itu haruslah dengan sadar dan tegas menghindari konsep-konsep yang samar-samar dan tidak biasa, agar tidak sempat membingungkan para siswa yang memakainya, (8) buku teks itu haruslah mempunyai sudut pandang atau point of view yang jelas dan tegas sehingga pada akhirnya menjadi sudut pandang para pemakainya yang setia, (9) buku teks haruslah mampu memberi pemantapan, penekanan pada nilai-nilai anak dan orang dewasa, dan (10) buku teks itu haruslah dapat menghargai perbedaan-perbedaan pribadi para siswa pemakainya.


DAFTAR PUSTAKA
Adawivah, Os Sofiah Rabiatul. 2010. “Buku Teks” dalam http://bataviase.co.id (diakses pada tanggal 17 September 2010)

Kusmana, Suherti 2009. “Pengertian Buku Teks” dalam http://www.duniasosiologi.co.cc (diakses pada tanggal 17 September 2010)

Tarigan, Henry Guntur & Djajo Tarigan. 2010. Telaah Buku Teks Bahasa Indonesia. Bandung: Angkasa

June 4, 2012

Download Undang-Undang Pendidikan

Download SKKD (Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar) SD, SMP, SMA

Download SKKD (Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar)

Atau download langsung keempat file tersebut:  
SKKD LENGKAP: SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA, SMK/MAK 
DOWNLOAD atau DOWNLOAD

June 3, 2012

Kemerdekaan SMK dari Belenggu Masyarakat





 
Apa kabar SMK??

SMK adalah sekolah menengah kejuruan yang mempunyai tujuan untuk membekali anak didik dengan keterampilan yang lebih dibandingkan sekolah menengah atas (SMA). Sehingga diharapkan anak lulusan dari SMK mampu terjun langsung di dunia kerja setelah lulus nanti. 


Masyarakat kita, tidak sedikit yang belum mengetahui keunggulan dari SMK, sehingga SMK kurang begitu diminati oleh para masyarakat.

Atas himbauan dan sosialisasi dari pemerintah maupun lembaga pendidikan kepada masyarakat mengenai keunggulan sekolah menengah kejuruan, masyarakat kini mulai tertarik dan meminati sekolah ini untuk menjadi pilihan alternatif atau bahkan menjadi pilihan utama untuk para orang tua yang akan menyekolahkan anaknya kesekolah menengah. 


Kini SMK telah menepati dan membuktikan janjinya bahwa lulusan SMK kini mempunyai keunggulan tersendiri dan siap untuk terjun langsung kedunia kerja setelah lulus nanti.

Terlebih pada akhir-akhir ini nama SMK semakin melambung ketika terdengar kabar bahwa siswa SMK dapat membuat mobil. Ya, SMK 2 inilah salah satu SMK yang dapat membuat pamor SMK semakin melejit. Kabar SMK dapat membuat mobil tidak hanya terdengar secara nasional, bahkan beberapa negara telah mencium kabar ini seperti jerman yang sekaligus telah menjadi mitra dari SMK 2.

Kapan sih mobil SMK itu ada ?
Sebenarnya mobil SMK sudah tercipta sejak tahun 2009, semua itu berawal dari kegigihan SMK dalam mengembangkan program studinya. Sebelum membuat mobil, pada awal tahun 2006/2007 jurusan TKJ sudah mulai merakit komputer, note book, dan LCD. Kemudian berlanjut tahun 2008 mulai merakit mesin JNC, mesin bubut, dan traktor.

Tahun 2009 jurusan otomotif mulai merakit sebuah mobil. Proses ini dibantu oleh kementrian pendidikan dan budaya bagian keuangan, diawali perintis lima SMK yaitu SMK 5 Surakarta, SMK Warga, SMK 2 Surakarta, SMK Syufi, SMK Malang. Kemudian pada tahun 2010 berkembang menjadi 23 SMK, dan tahun2011 menjadi 33 SMK, termasuk 10 SMK yang masih dalam proses. 

Pada tanggal 1 januari, SMK 2 Surakarta mengirimkan berita acara bahwa mobil SMK yang berada di SMK 2 Surakarta sekarang diserahkan pada walikota, dan yang berada pada SMK Warga diserahkan pada wakil walikota.Semangat SMK terlihat mulai tahun 2009 SMK mengadakan pameran bersama presiden RI Susilo Bambang Yudoyono dan pada tahun 2010 bersama Budiyono.

Walikota Surakarta (Joko Wi)menginginkan SMK dapat memproduksi 100 unit mobil per tahun. Namun dari instansi lain ada yang menginginkan SMK mampu memproduksi mobil sebanyak 5000 per tahun, dengan memberikan bantuan dalam proses pembuatannya sebesar 1 Triliyun.Tidak ada tim khusus dalam pembuatan mobil SMK. Seluruh siswa Otomotif diberikan kesempatan untuk merakit mobil dengan didampingi 28 guru dari otomotif yang telah terbagi untuk masing – masing kelompoknya.

Selain mobil, SMK juga telah mengeluarkan produk yang lainnya diantaranya komuter,LCD dan note book.Produk SMK dapat dinilai merupakan produk yang bagus hal ini dapat terlihat dari pemesanan barang produksi SMK dari luar. Januari kemarin Walikota Surakarta (Joko Wi)juga memesan Note book sebanyak 280. Harapan kedepan SMK mampu mengembangkan Industri di Indonesia misalnya TV Plasma.SMK tidak akan menyerah walaupun sudah gagal uji MEC yang kedua ini,dan akan segera melaksanakan uji MEC yang ke tiga kalinya.

SMK mulai banyak peminatnya, dilihat dari skil yang ia dapatkan dari SMK dapat digunakan untuk masa depannya atau bisa dikatakan siap kerja.Selain itu SMK lebih focus terhadap jurusan yang telah diambil oleh siswanya sejak awal, sehingga siswa lebih mudah untuk mempelajari bidang – bidangnya masing – masing.Saat ini siswa dari SMK banyak yang melanjutkan ke perguruan tinggi,hal ini menunjukkan bahwa siswa yang berasal dari SMK sulit untuk melanjutkan perguruan tinggi.Sisi positif yang lain dari SMK yaitu siswa yang merupakan lulusan dari SMK memiliki kemampuan dan daya kreatifitas yang berbeda dari siswa lainnya.

Tidak berarti lulusan SMK lebih pandai dari lulusan SMA. Namun bila dilihat dari bidang atau jurusan yang telah diambil masing – masing siswa SMK di bandingkan dengan siswa SMA terlihat siswa SMK lebih memahami bidang tersebut. Pelajaran di SMA lebih bersifat umum sebelum penjurusan,namun bila di SMK dari awal siswa masuk sudah mulai penjurusan sehingga siswa secara langsung diberikan mata pelajaran yang sesuai dengan jurusannya.

Dengan penjurusan sejak awal masuk, siswa terbiasa dengan semua mata pelajarannya. Mata pelajaran lebih ringkas karena memahaminya sesuai dengan jurusan saja,siswa juga lebih memahami seluk beluk permasalahan yang terjadi dalam bidangnya. Hal ini dikarenakan siswa lebih banyak mendapatkan praktek dari pada teori.

Sejak dulu masyarakat tidak minat dengan SMK. Beberapa dari orang tua mengharuskan anaknya menjadi siswa SMA, walaupun anak tidak minat, hal ini semata – mata hanya dengan alasan SMA lebih luas untuk melanjutkan perguruan tinggi dan mendapatkan peluang kerja sebagai pegawai negeri, kebanyakan orang tua memiliki cita – cita seperti itu.

Alasan seperti diatas mulai difahami, tidak semua orang yang melanjutkan perguruan tinggi dapat menjadi pegawai negeri. Sehingga terlihat pemerintah mulai membangun banyak SMK. Harapannya generasi bangsa memiliki ketrampilan untuk menghadapi dunia kerja, khususnya bagi masyarakat yang kurang mampu untuk melanjutkan pendidikan anaknya ke perguruan tinggi.Mereka dapat menggunakan bekal dari SMK untuk bekerja.

Saat ini bisa terlihat jumlah minat SMK lebih banyak dari pada SMA. Sehingga mungin untuk kedepannya SMK memiliki banyak murid dari pada SMA. Dari segi kedisiplinan SMK perlu ditingkatkan, agar mampu mencetak lulusan yang handal, profesional dan disiplin dalam kinerjanya. Yang lebih menarik dari SMK yaitu jenis kelamin. Misanya jurusan otomotif dominan anak laki – laki sebagai pemiatnya, namun bila dari jurusan TIK atau tata busana dominan anak putri yang sebagai peminatnya, sehingga jarang sekali terlihat dalam satu ruang kelas terdapat siswa putri dan laki – laki yang seimbang jumlahnya.

Sumber: Wawancara dengan Bp Kasmadi (Kepala Humas SMK 2 SURAKARTA).
(Nila, Nita)

* Dikutip dari: Majalah FIGUR edisi Mei 2012

Menuju Pendidikan Vokasional


Entrepreneur Exclusive


 

“Pendidikan yang ada sekarang ini banyak menghasilkan orang-orang yang arogan yang merasa pintar, namun tidak punya ketrampilan dan kompetensi untuk melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan untuk membuat Indonesia maju dan sejahtera”.(Bob Sadino)

Dari kutipan Om Bob Sadino di atas jika kita memikirkannya sebagai generasi yang telah terlanjur mengenyam pendidikan selama beberapa tahun hingga sekarang duduk di bangku perkuliahan memang ada benarnya. Kutipan di atas juga merupakan gambaran pendidikan Indonesia yang memang masih butuh perbaikan. 
 
Kualitas Pendidikan akan berbanding lurus pada kualitas SDM (Sumber Daya Manusia). Padahal Kualitas SDA (Sumber daya Alam) indonesia yang melimpah seharusnya diolah oleh SDM yang mumpuni. Sudah terlihat sekarang berbagai sektor industri dikuasai oleh pihak asing.

Faktor di ataslah yang menyebabkan adanya wacana tentang Pendidikan Vokasional. Program Pendidikan dengan mengedepankan keberlanjutan kompetensi keahlian. Secara singkat Pendidikan Vokasional adalah pendidikan yang memuat kurikulum-kurikulum yang peka terhadap keperluan tenaga-tenaga ahli yang diperlukan dalam suatu industri nyata dalam kehidupan. 
 
Diharapkan Pendidikan Vokasional ini menghasilkan kualitas SDM yang mampu mengoptimalkan kekayaan Negara ini yang mampu mensejahterakan masyarakat. Pendidikan vokasional diharapkan mampu memberikan kompetensi atau kemampuan yang memang dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat dan dunia kerja.

Pendidikan Vokasional yang sudah dirintis Indonesia adalah SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). Pemberian ilmu teori yang juga dibarengi dengan intensnya pengaplikasian atau penerapan teori. Nah, baru-baru ini pendidikan vokasional digadang-gadang akan menjadi ujung tombak bangsa Indonesia. Karena memang kedepannya mempunyai prospek yang cukup menjanjikan. Dan sudah saatnya bangsa kita bangkit serta melahirkan tenaga-tenaga ahli yang profesional di bidangnya. Sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja masa kini. 
 
Dalam keadaan Industri yang mulai menggeliat, Indonesia sangat membutuhkan banyak pekerja siap pakai yang dilengkapi dengan skill yang mumpuni. Tentunya dengan adanya pendidikan vokasional, akan sangat membantu untuk mencetak tenaga kerja handal yang berasal dari SDM kita sendiri, bukan dari negara asing.

“Enterpreneur” merupakan kata yang dipilih oleh Ibu Wafroturrohmah dosen Progdi Pendidikan Ekonomi-Akuntansi ketika kami menanyakan tentang Pendidikan Vokasional padanya. Enterpreniur merupakan jiwa kewirausahaan. Itulah yang diupayakan pada sumber daya manusia Indonesia saat ini pada umunya, dan khususnya para siswa SMK. Warga Negara Indonesia masih beranggapan bahwa, menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan pilihan yang utama. Ini merupakan dampak dari rendahnya jiwa kewirausahaan atau enterprenuer seperti yang beliau katakan di atas.

PRAKERIN (Praktek Kerja Industri) merupakan wujud nyata fungsi pendidikan vokasional untuk mempersiapkan SDM yang ahli. Dalam praktek ini siswa SMK diharapkan mampu mengembangkan ketrampilannya karena mereka akan langsung bersentuhan pada bidangya. Inilah keunggulan dari pendidikan vokasional itu sendiri. Dengan adanya praktek kerja industri secara langsung akan membentuk mental dan memberikan pengalaman yang berharga bagi siswa. Yang akan sangat berguna dan bermanfaat pada saat terjun langsung ke dalam persaingan dunia kerja yang sesungguhnya.

Dosen yang aktif di LWT (Lembaga Wakaf Tunai) ini menambahkan bahwa siswa SMK dipersiapkan untuk memasuki “DUDI”. Dunia Usaha dan Dunia Industri. Jadi PRAKERIN harus dilakukan dengan baik dengan ditunjang adanya link-link SMK dengan industri-industri atau pelaku dunia usaha lainnya. Sehingga siswa dapat benar-benar merasakan DUDI secara langsung sesuai keterampilannya dan mengetahui keadaan Dunia tersebut seperti apa. Nah, berarti perpaduan antara PRAKERIN dan DUDI akan sangat baik dan membantu dalam mencetak calon tenaga kerja handal yang siap kerja.

Disinilah kendalanya, terkadang SMK yang belum professional tidak memiliki link-link DUDI sehingga PRAKERIN tidak berjalan dengan baik. PRAKERIN hanya dilakukan seadanya saja. Kendala inilah yang juga menghambat terbentuknya SDM yang seharusnya memiliki skill yang mumpuni tidak bisa berkembang. Secara umum kendala tersebut juga menghambat Indonesia dalam menambah SDM dan tentu saja berdampak langsung pada perkembangan perindustrian.

Mungkin tidak begitu menjadi kendala pada SMK yang telah memiliki nama besar, namun kendala ini masih banyak ditemui pada SMK yang belum ternama. Di sinilah peran pemerintah sebagai lembaga tertinggi yang mengelola pendidikan harus mampu memberikan solusi dan menyediakan link-link bagi SMK dalam melaksanakan program pendidikanya. 
 
Bukan hanya itu dengan adanya pendidikan vokasional, pemerintah juga harus mempersiapka segala sesuatu yang dibutuhkan, mulai dari guru yang profesional, kurikulum, sarana dan prasarana serta menjalin kerjasama dengan perusahaan-perusahaan, baik perusahaan BUMN, swasta maupun asing. Untuk itu peran pemerintah sangat dibutuhkan demi terwujudnya pendidikan vokasional yang berkualitas.

Disinggung masalah persiapan apa saja yang harus dipersiapkan selain link-link DUDI, dosen yang juga mengampu Akuntansi Perpajakan ini menjawab bahwa faktor SDM lah yang menentukan berjalannya pendidikan Vokasional, dalam hal ini adalah GURU. Guru menjadi elemen yang sangat penting, karena guru merupakan pihak yang berperan sebagai penyalur ilmu kepada siswa. Jadi guru harus benar-benar profesional dan ditempatkan sesuai bidangnya.

“Mungkin UMS juga perlu menambah Progdi di FKIP dengan Progdi Pendidikan Teknik, karena nantinya memang calon-calon guru teknik dibutuhkan untuk memenuhi keperluan SDM”, lanjut Ibu Wafroh. Hal ini memang benar, dengan adanya pendidikan vokasional, maka permintaan akan guru teknik akan meningkat.

Tidak hanya dalam potensi ilmunya saja, diharapkan guru juga memiliki jiwa kewirausahaan sehingga ia mampu mengajarkannya pada siswa. Atau mungkin dengan melihat guru, siswa dapat terinspirasi dan kemudian meniru dan mengimplementasikanya secara nyata.

Wacana 60% SMK dan 40% SMA terus saja masih menjadi topic hangat yang gencar-gencar dibicarakan masyarakat, hingga klimaksnya saat Jokowi memamerkan hasil produksi SMK. Menurut Ibu Wafroh panggilan akrab dari mahasiswa, gagalnya uji emisi tidak akan menjadi penghambat berkembangnya ketrampilan karena memang bisa diperbaiki lagi. Dan sesuai dengan wawancara kami dengan pihak SMK 2 Surakata, mereka tidak akan menyerah dan apabila gagal mereka akan senantiasa berusaha untuk memperbaikinya sampai mobil itu benar-benar lulus uji emisi dan menjadi produk yang layak dikonsumsi oleh masyarakat.

Dia menambahkan bahwa SMK-SMK dibawah naungan Muhammdiyah juga tidak kalah dengan SMK negeri, bahkan telah dibuka SMK Muhammadiyah di Delanggu yang bergerak dalam keperawatan.

Ini menunjukkan bahwa memang dewasa ini “Pendidikan Vokasional” tidak hanya menjadi topik namun telah mulai diaplikasikan dengan munculnya banyak SMK dengan berbagai jurusan yang memang dibutuhkan dalam dunia kerja, bahkan mereka mampu menghasilkan suatu produk.

Lalu bagaimana dengan paradigma yang muncul di masyarakat?
Paradigma masyarakat tentang SMA lebih unggul dari pada SMK akhir-akhir ini juga semakin terkikis. Berbagai produk yang dihasilkan siswa SMK merupakan pebuktian bahwa SMK tidak kalah unggul dengan SMA. Bahkan mereka lebih siap untuk diterjunkan dalam dunia kerja nyata. Mereka juga telah terlatih untuk menghadapi berbagai situasi serta kondisi dalam DUDI. Dan nantinya diharapkan dapat mencetak bukan hanya tenaga kerja handal melainkan juga tenaga-tenaga ahli profesional.

Tentu saja sebenarnya telah dilakukan standarisasi kurikulum untuk semua SMK berasarkan bidangnya, namun bisa dipastikan SMK yang tidak memiliki guru yang professional serta link-link DUDI minim, tidak akan bisa memenuhi target yang diharapkan yaitu menghasilkan SDM yang unggul. Hal ini merupakan permasalahan klasik yamg harus diupayakan penyelesaiannya oleh pemerintah pusat maupun daerah, dalam mendukung program pendidikan vokasional.

Pendidikan Vokasional ternyata telah diterapkan di berbagai Negara termasuk Negara tetangga kita Malaysia.

Memang tidak mudah untuk menuju pendidikan vokasional. Jadi semestinya Menteri Pendidikan memikirkan wacana Pendidikan Vokasional. Jangan membiarkan hal ini menjadi sebagai wacana saja. Tapi wacana ini harus diwujudkan untuk mempersiapkan bangsa Indonesia bersaing dengan bangsa lain dan minimal tidak tertinggal jauh dari bangsa lain.

Dosen yang dulunya juga alumni UMS ini mengatakan bahwa Pendidikan Vokasional tidak akan menciptakan dampak buruk dalam dunia pendidikan. Juga tidak ada pihak-pihak yang dirugukan. Bahkan ini nantinya akan menjadi sangat positif karena tentu saja menyediakan SDM siap kerja dengan segala keterampilannya.

“Dengan begitu kan negara kita dapat mengurangi pengiriman TKW”, tambahnya. Pada dasarnya pengiriman TKI ke luar negeri itu baik, asalkan TKI yang dikirim bukan sebagai pembantu rumah tangga, melainkan tenaga-tenaga ahli yang profesional.

Adanya kesiapan dalam dunia usaha juga akan dapat menciptakan lapangan pekerjaan. Hal ini terjadi karena para siswa sudah terlatih untuk peka terhadap keadaan pada DUDI.

Dapat disimpulkan bahwa topik hangat ini baik untuk direalisasikan tentunya didukung dengan SDM yang handal dan juga adanya campur tangan pemerintah. Penganggaran dana pendidikan baiknya memang ditinjau kembali untuk mengembangkan Pendidikan Vokasional yang akan berdampak baik bagi perekenomian Negara ini.

Reporter: Ermon ErmaAlfiana (@ermon92) & Andri Azmi 
 
* Dikutip dari: Majalah FIGUR edisi Mei 2012

Dramatisasi Pendidikan di Era Globalisasi


  

Di era globalisasi kali ini sering kita dapati berbagai macam penentangan tentang peran seorang guru yang di tuntut oleh para orang tua wali murid. 
 
Terutama di jenjang Pendidikan Anak Usia dini dimana orang tua sering kali menuntut anaknya untuk bisa menulis dan berhitung ,seakan akan dengan adanya pembelajaran menulis dan berhitung anak akan pintar. Justru ternyata apa yang terjadi?
 
Pada kenyataanya anak justru akan mudah bosan dengan adanya pembelajaran menulis dan berhitung. Sehingga sering kita dapati anak yang duduk di bangku Sekolah Dasar terutama kelas 3 keatas mereka lebih suka bermain seharian dari pada belajar . bahkan sering kita dapati perpustakaan yang didalamya banyak bukunya kosong tak berpenghuni. Hal ini terjadi karena kebiasaan membaca yang kurang diberikan oleh guru. Padahal, justru dengan membaca walau hanya melihat gambarnya saja anak akan senang dan tertarik dan mudah untuk menganalisis cerita yang ada di gambar dari pada melihat banyak sekali tulisan yang tidak mengena dihati anak .

Rasa cepat bosan , malas, yang terjadi saat ini akibat dari kesalahan dari pendidik dan orang tua terdahulu yang sering menuntut murid untuk bisa menulis dan berhitung. Mungkin sebagian dari anak bisa mencerna apa yang disampaikan oleh guru namun belum tentu sebagian yang lain mencerna .

Strategi yang kita dapati saat ini pun sering diabaikan. Dengan metode bermain sambil belajar sering terbalik dengan kata belajar sambil bermain, coba kita cerna sesaat dengan kata yang hanya terbalik bisa menjadi kesalahan yang fatal pada hasil pendidikan yang kita berikan kepada anak didik kita. Mendapati anak didik yang kita beri pembelajaran adalah anak yang membutuhkan bimbingan dengan kasih sayang dan dicetak menjadi generasi penerus kita yang lebih baik .

Sering kita dapati di berita TV tentang korupsi? Mahasiswa yang demo tanpa tahu permasalahan yang sesungguhnya dengan seenaknya mereka membakar gedung yang telah dibuat ? siapa yang rugi? kembali kemasing masing diri kita. Sebagai calon pendidik yang dididik dengan kesalahan yang hanya diubah sedikit namun menjadikan fatal. Apa itu yang akan kita cetak untuk penerus kita? Mungkin? Tapi jika kita mampu merubah sedikit saja perilaku kita yang sering menjatuhkan diri kita maka kita akan mampu merubah dunia yang terlihat tak mungkin menjadi mungkin .

Menjadi yang terbaik adalah impian seseorang , menjadi yang dibanggakan adalah harapan seseorang, menjadi yang tertinggi, terbaik dan terhebat adalah inpian setiap orang anak bangsa yang kini masih menjadi seorang anak kecil yang memiliki cita - cita tertinggi menjadi anak yang sukses. Mungkin saat ini dirinya ditertawakan oleh sebagian seseorang namun suatusaat nanti dirinya adalah sosok yang menjadi kebanggaan setiap orang yang lalu menertawakanya. Kesuksessan itu ada dan kesuksesan itu bukan untuk dicari namun kesuksessan itu ada karena ingin didapatkan.

* Dikutip dari: Majalah FIGUR edisi Mei 2012

Saat Sekolah Menjadi Elitis

 “Pendidikan bukan persiapan untuk hidup; pendidikan adalah kehidupan itu sendiri.”
(John Dewey, 1948).
 
Kita mendapati sekolah dengan gelimang kisah, petuah, gairah, dan kemalasan sebagai sebuah institusi pendidikan. Ruang dan jalan sekolah tercipta dan digerakan oleh deretan konsensus kurikulum.Sekolah pun mulai dihuni oleh tubuh-tubuh mungil dengan kehausan ilmu dan buaian kasih guru. 
 
Melalui pelbagai pesan—pikiran, perasaan, dan imajinasi lekas bertumbuh membentuk diri, lalu menemukan jati diri para anak sekolah. Lebih jauh, masa depan dan impian terbersit hingga membuat setiap anak sekolah merelakan dirinya terpisah oleh tanah—tempat ia merajut masa kecil menuju ke sebuah perantauan ilmu.

Sejauh itu pula, sejak lampau kita acapkali mendengar sebuah hadist yang berbunyi: carilah ilmu sampai ke negeri Cina. Dan, melalui sekolah, kita menemui banyak ilmu yang mencipta para manusia yang mampu berpikir kritis, analitis, dan kreatif. Namun, ditengah hadirnya berbagai modernisme, sekolah ternyata telah menjulang tinggi, hingga ia tak menjangkau para tangan-tangan yang papa lagi.

Banyaknya politisme yang digerakan di area dalam maupun luar birokrasi sekolah, seperti dikatakan Adam Smith, penulis buku mahsyur Wealth of Nation itu sebagai the invisible hand (tangan yang tak tampak) melahirkan sekolah yang elitis, apatis, dan tak bekerja dalam lingkup keilmuan demi sebuah humanisme universal. Ia malah mencipta manusia yang haus akan uang, kekuasaan, dan wibawa, yang kerap menikam teman maupun lawannya dari belakang. Mungkin, korupsi yang berlimpah akan pengremusan berbagai aset negara itu pula yang banyak dilakukan oleh para manusia produk sekolahan yang kian elitis.


Elitisme Sekolah Kolonial
Melalui sekolah “etis”, yang pada mulanya diciptakan pemerintah Hindia Belanda, pada abad XIX itu, sekolah itu elitis. Bagi pribumi rendahan, sekolah menjadi angan absurd yang tak bakal dicapai demi suatu stratifikasi kelas atau sekadar mereguk ilmu modern ala barat. Elitisme sekolah itu terjadi melalui ruang, biaya, dan peraturan yang dibuat kolonial. Masa itu, sekolah menjadi oase ditengah keterbelakangan pribumi akibat kolonialisme. Soekarno pernah mendapat limpahan berkah sebagai anak priyayi rendahan yang mampu bersekolah di pendidikan elit model kolonial. Penuh takjub Soekarno menggambarkan bangunan sekolah model kolonial: Gedung itu bagus terbuat dari kayu, bukan bambu seperti sekolah kami dan dinding luarnya berwarna biru-muda. Disitu terdapat tujuh kelas. Berlainan dengan meja kami di sekolah-bumiputra, maka bangku-bangku disini mempunyai tempat tinta dan laci untuk buku (Cindy Adams, 2001).

Elitisme tak hanya terjadi pada pendidikan strata bawah. Pendidikan tinggi kolonial, yang dianggap sebagai sekolah pada strata tertinggi mengalami elitisme—yang marak dengan buaian ijazah dan pekerjaan di institusi pemerintah maupun swasta kolonial. Pengantaran ini menjebak dan menuai lulusan yang acuh pada keilmuan, pengabdian, dan destruksi nalar. Elitisme ini bahkan mencipta masyarakat kelas baru yang sengaja diciptakan dan dijadikan kaki tangan kolonial. Bagi pribumi rendahan, universitas (kolonial) tak menjadi angan. Itu sebabnya, Taufik Abdullah pernah memberi konklusi bahwa dari sudut struktur masyarakat kolonial, dengan kelas kelas sosial yang terdiri dari Belanda, Timur Asing, dan Pribumi bisa dimengerti bahwa univesitas ini juga begitu elitis (Prisma, 1978).


Asketisme Sekolah
Kita berharap sekolah itu asketis. Sekolah tak lagi menjamin dan mengiming-imingi dalam imajinasi yang begitu bombastis melalui paradigma kepamrihan. Iklan-iklan yang tersebar melalui berbagai retorika khas penuh rayuan mengeluarkan gelontoran dana besar hanya menjadikan sekolah itu telah terjebak pada nalar kapitalisme. Pelbagai sekolah pun menuai dan meraup anak sekolah yang mencipta berbagai kemungkinan tapi tak pernah luput dari segala tuntutan pamrih. Sebuah pernyataan satire terucap oleh Saichiro Honda, pendiri Honda Corp itu ketika ia ditanya oleh guru besarnya, “Saudara kau tak pernah masuk dan nilaimu tak pernah bagus disini, sebenarnya apa yang kau cari?”, tanya si guru besar.

“Aku tidak mencari nilai, yang aku cari disini adalah pengalaman dan ilmu”. Honda mencipta mesin dan mendirikan korporasi besar berdasar pengalaman dan ilmu yang direguk tanpa iming-iming ijazah dan pekerjaan. Ungkapan ini adalah perlawanan terhadap berbagai stigma dan aturan kurikulum, yang memang mencipta kaum teratur dan gampang diatur, atas suatu otoritas .

Sebagaimana kita lihat sekarang, sekolah modern mengikuti gaya khas sekolah kolonial. Sekolah tak memiliki nalar asketis. Yang terjadi justru adalah perlombaan gengsi melalui slogan, nama, fasilitas, biaya, bahkan bentuk bangunan. Sekolah sebagai institusi khalayak dan basis pengabdian ilmu malah mengalami alienasi dari waktu ke waktu. Sekolah adalah ruang elitis, yang dihuni oleh manusia manusia hedonis, konsumtif, dan apatis. Sekolah perlu mengalami kritik demi sebuah ikhtiar perefleksian atas berbagai keburukannya. Sasaki Shiraisi (2009) menyimpulkan,“Sekolah menyita suatu periode kehidupan seorang manusia atas nama masa depan”. Dan, masa depan kita sekarang ditentukan oleh institusi bernama sekolah.

Oleh: Saeful Achyar,
Mahasiswa PBSID UMS. Pengelola Majalah Papirus.


* Dikutip dari: Majalah FIGUR edisi Mei 2012

Guru yang Expert: Teladani dan Perlu Diteladani




Seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi serta adanya era globalisasi, menyebabkan berbagai perubahan dalam berbagai kehidupan manusia, dari perubahan sosial, budaya dan yang paling ditekankan adalah perubahan masalah pendidikan.

Di kalangan masyarakat mengharapkan pendidikan yang gratis, pendidikan yang bisa membuat kaya, pendidikan yang profesional, pendidikan yang banyak sekali tuntutan dari masyarakat untuk para generasi pendidik. 
 
Akan tetapi dari latar belakang pendidik atau guru sendiri masih kurang dalam pemahaman tentang fungsi dan tujuan pendidik, serta pentingnya keahlian dalam bidang mengajarkan kepada siswanya.

Imbalan jasa kependidikan kurang sesuai menurut ukuran kebutuhan hidup realitas keseharian masih menjadi topik keseharian masyarakat. Padahal, masyarakat yakin betul bahwa kelangsungan hidup bangsa ini akan sangat ditentukan oleh keberhasilan proses sistem pendidikan.

Yang masih terasa membelenggu kalangan pendidikan antara lain gelar pahlawan tanpa tanda jasa bagi para guru di Indonesia. Gelar ini bukan sesuatu yang baik, tetapi kalau penafsirannya tidak tepat akan menghasilkan tafsiran yang justru menyudutkan para guru.

Sudah menjadi fitrohnya dalam lingkungan pendidikan ada yang menjadi pendidik dan ada yang dididik, ada materi dan ada yang menerima materi.

Guru dalam arti bahasa arab disebut mu’alim dan dalam bahasa Inggris disebut teacher yakni seseorang yang pekerjaannya mengajar serta dalam arti pepatah jawa guru itu digugu lan ditiru, jadi guru itu sebagai panutan dan ditirukan.

Guru yang expert atau guru yang ahli bukan guru yang ahli hanya di bidang materi pelajaran saja, tetapi guru yang ahli adalah guru yang bertanggungjawab terhadap perkembangan siswa dengan mengupayakan seluruh potensinya, baik potensi afektif, potensi kognitif maupun potensi psikomotorik.

Guru yang ahli harus bisa menyelesaikan masalah dalam mengajarkan siswanya, dari ide kreatif pengajaran, agar tercapainya tujuan pendidikan. Mungkin terasa berat ketika harus menyelesaikan berbagai masalah yang harus dihadapi di dunia pendidikan, dari siswa yang santun, sopan, tekun, hingga siswa yang belum mempunyai etika yang baik, malas, serta tidak pernah memperhatikan apa yang disampaikan guru. Tetapi jika ingin menjadi guru yang expert maka perlu banyak tantangan-tantangan untuk diambil pengalaman dalam penyelesaiannya.

Memang guru yang ahli harus mempunyai misi ganda dalam waktu yang bersaman, yaitu misi agama dan misi ilmu pengetahuan. Misi agama menurut guru untuk menyampaikan nilai nilai ajaran agama kepada siswa-siswanya, dan nilai-nilai agama itupun mencakup banyak aspek dari etika berbicara, kesopanan, kesantunan dan lain-lain, sehingga siswa dapat menjalankan kehidupan sesuai dengan norma-norma agama tersebut. Misi ilmu pengetahuan menuntut guru untuk menyampaikan ilmu sesuai dengan perkembangan zaman.

Untuk itu mewujudkan misi ganda ini, maka guru yang expert harus memiliki beberapa kemampuan dan ketrampilan yaitu :
Kemampuan untuk mengemban amanah
Kemampuan untuk melakukan pendekatan individu terhadap semua siswanya
Membentuk kerja tim dengan guru-guru lainnya.

Misalkan, pada pembuatan roti, maka gandumlah yang menjadi bahan pokoknya, kemudian air, gula, pewarna, pengembang dan bahan lainnya adalah bahan tambahan yang bisa membuat roti menjadi enak, tetapi ada satu yang kurang yaitu penyajiannya juga.

Jadi, dapat kita ambil arti atau pemahaman, bahwa untuk menjadi guru yang expert itu memerlukan :
  1. Gandum yang di ibaratkan materi pokok pelajaran untuk di ajarkan kepada siswanya, 
  2. Bahan-bahan tambahan seperti air, gula, pewarna, pengembang dll, yang wajib ada dalam materi juga yang di ibaratkan, Silabus, RPP. 
  3. Penyajian, hiasan-hiasan dalam roti tersebut, yaitu diibaratkan penyampaian guru yang expert kepada siswanya agar siswanya antusias mengikuti dan memahami apa yang di ajarkan.

Beberapa yang perlu di fahami dan perlu diperhatikan untuk menjadi guru yang expert yaitu:

1. Sehat Jasmani dan Rohani
Guru memang harus sehat jasmani dan rohani, karena jika guru mengindap penyakit menular maka itu akan membahayakan siswa-siswanya, bukan hanya itu saja, pasti guru yang sedang sakit tidak akan leluasa menyampaikan materi keseluruhannya dengan jelas, atau bahkan bisa membuat bingung muridnya.

Adapun sehat rohani itu juga sangat diperlukan, seperti sebuah ungkapan ”Man sana in corfore sano” didalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat, walaupun tidak seluruhnya benar. Orang bisa gila bila tidak sehat rohaninya, sehingga akan berbahaya bila ia mengajar.

Orang yang rohaninya tidak sehat, peluang untuk menderita stress akan terbuka lebar. Apalagi pada zaman sekarang yang serba materialistis, semuanya hanya diatur dengan kekayaan dan materi.

Supaya tidak stres dan mempunyai fisik yang sehat adalah dengan berpuasa. Orang yang melakukan puasa dengan ikhlas akan mampu menekan emosi yang bersifat duniawi, selalu berdzikir kepada Allah, dan tumbuh rasa kemanusiaan yang tinggi.

2. Bertaqwa
Guru yang expert harus memiliki sifat taqwa kepada Allah dan karena taqwa itu akan menimbulkan cinta dari Allah. Cinta merupakan efek sifat dari orang yang bertaqwa.

Cinta seorang guru dalam memberikan pelajaran kepada siswanya akan menumbuhkan kreativitas, sehingga dalam belajar siswa tidak akan terbebani. Karena siswa sama sebagai makhluk Allah yang harus dibina dan dikembangkan potensi dasarnya.

Guru yang belum memiliki hakekat cinta pada dasarnya belum bertaqwa. Jelaslah, betapa pentingnya kedudukan taqwa dalam ajaran Islam, karena seorang muslim perlu benar-benar mengerti apa yang dimaksud dengan hakekat taqwa.

Taqwa merupakan suatu bangunan tumpuan pondasi pendidikan. Oleh karena itu, kita tidak akan semena-mena berbuat zalim terhadap siswa dan sesama manusia. Inilah sifat guru yang expert yang memiliki cinta dan taqwa.

3. Berbekal ilmu Pengetahuan yang luas
Bukan hanya siswa saja yang wajib belajar, guru yang ingin expertpun harus selalu menuntut ilmu agar mempunyai bekal yang banyak, apalagi di era globalisasi ini guru diwajibkan untuk tidak gaptek (gagap teknologi).

Seorang guru setiap saat harus membekali diri dengan ilmu serta memahami dan mengkajinya agar mempunyai pengetahuan yang luas, karena seorang guru yang berpengetahuan luas, kuat dalam mengkaji, dan memiliki pemahaman mendalam, akan dihormati dan dipercayai murid-muridnya.

Rasulullah yang berakhlak sempurna saja masih juga berdo’a ingin bertambah ilmunya. Setiap waktu beliau tidak lepas memanjatkan do’a ”Rabbi zidni ’ilman” (Ya Tuhanku, berilah aku tambahan ilmu).

Oleh karena itu, sangatlah penting arti ilmu bagi semua manusia. Namun yang lebih penting lagi adalah sosok guru yang expert sebagai pembawa ilmu pengetahuan yang akan disampaikan kepada siswa-siswanya. Sehingga ilmu tidak hanya memperluas cakrawala berfikir, tetapi juga membawa perubahan terhadap siswa dan guru saling berlomba untuk memperkaya khasanah keilmuannya.

4. Berlaku Adil
Guru hendaknya berlaku adil diantara siswa-siswanya, yang tidak cenderung kepada salah seorang diantara mereka.

Siswa sangat tajam pandangannya terhadap guru yang tidak adil. Kadang-kadang guru yang masih muda biasanya pilih kasih. Guru laki-laki lebih memperhatikan anak perempuan yang cantik atau anak yang pandai dari pada yang lain. Jadi, seharusnya guru memperlakukan mereka secara sama.

Oleh karena itu, berlaku adilah kepada sesama manusia dan kepada siswa. Karena kalau tidak berlaku adil, mungkin saja akan menimbulkan kecemburuan diantara siswa tersebut, yang pada akhirnya berdampak negatif terhadap proses belajar.

5. Tampil berwibawa
Guru yang expert pasti mempunyai sifat ini, yaitu wibawa, wibawa bukan diukur dari bentuk postur tubuh yang gagah, suara yang merdu, tinggi yang semampai, akan tetapi wibawa bisa di miliki guru yang expert berpostur kecil, suara kecil.

Kewibawaan yang di tampakan dari cara bicaranya, cara menyampaikan materinya, dan cara mengajarkannyapun yang dapat menimbulkan rasa segan dan rasa hormat. Sehingga dengan kewibawaan seperti itu, siswa merasa memperoleh pengayoman dan perlindungan.

Tentang kewibawaan ini kami beri contoh, ketika anak-anak ribut dan berbuat sekehendaknya,lalu ada guru yang merasa jengkel, berteriak sambil memukul meja, maka ketertiban itu hanya dapat dikembalikan dengan kekerasan.

Solusi untuk menjadi guru yang expert yang berwibawa adalah sholat tahajud, karena dengan mendekatkan diri kepada Allah akan membawa dampak kepada kita sebagai orang tawadhu’ dan berwibawa. Karena tawadhu’ (merendahkan hati berwibawa) merupakan sifat yang harus dimiliki oleh orang yang taqwa, sehingga dia mendapatkan martabat dan kewibawaan yang tinggi.

6. Ikhlas
Satu-satunya syarat untuk menjadi guru yang expert adalah ikhlas, apabila pekerjaan dilakukan dengan ikhlas (tulus hati), maka pekerjaan itu tidak akan merasa berat, betapapun pekerjaan itu sangat sulit.

7. Menguasai bidang yang ditekuni
Penguasaan materi harus dipegang oleh seorang guru yang expert karena itu akan mempengaruhi semua yang akan di ajarkan kepada siswanya.

Dan tidak memungkinkan seorang guru akan mengajarkan materi yang tidak dia tekuni di bidangnya.


Jadi, untuk menjadi guru yang expert yang diteladani dan perlu di teladani harus memperhatikan sekurang-kurangnya 7 point di atas, karena guru teladan tidak akan menghasilkan siswa yang telatan (sering terlambat). Dan diharapkan semua perilaku yang dilakukan seorang guru akan menjadi contoh oleh para siswa, sehingga akan tercipta suasana yang harmonis dalam kegiatan belajar mengajar. Kalau ingin menjadi guru yang ahli, mulai dari diri sendiri, amalkan ilmu, dan sampaikan.

Semoga guru-guru Indonesia menjadi guru yang ahli yang diteladani dan perlu diteladani, sehingga terlahirlah generasi penerus yang anti korupsi, dan berakhlak baik. 

oleh : Muhammad Isa Anshori/ FKIP Matematika/2010 
 
 
* Dikutip dari: Majalah FIGUR edisi Mei 2012 
 
 

May 19, 2012

Tips Menjadi Guru Berkarakter

Pertanyaan klasik:
“Benarkah kesejahteraan guru akan meningkatkan kualitas para pendidik sekaligus kualitas pendidikan kita?”

Selama ini persoalan kualitas guru yang memburuk, baik secara penguasaan pengetahuan maupun degradasi moral sesungguhnya merupakan warisan sejarah dan situasi sosial secara umum dalam kurun sejarah perkembangan ekonomi-politik kita. 
 
Indonesia yang di jaman Soekarno ‘mengekspor’ guru-guru ke negeri Malaysia kini tinggal cerita setelah kualitas guru dan pendidikan kita kini tertinggal jauh bukan hanya dengan Malaysia, tetapi juga dengan India dan (bahkan) Vietnam.

Konon pada era 1950-an, guru begitu dihormati karena memiliki standar kehidupan yang mapan. Tapi, perlu dicatat, khususnya oleh para guru, apakah penghormatan terhadap seseorang semata-mata dari sisi material? Pada era 1950-an, guru-guru selain menguasai ilmu yang diajarkan, juga memiliki penguasaan bahasa asing seperti Inggris dan Belanda. Belum lagi, sikap dan ketulusan pengabdian mereka dapat menjadi teladan.

Banyak kritik yang telah dialamatkan pada pemerintah akan kondisi ini. Keberadaan guru yang tidak bergairah dalam mengajar, posisi mereka yang kemudian jadi calo buku ajar yang membuat buku pelajaran harus berganti-ganti tiap tahun ajaran baru, serta keberadaan mereka sebagai pendukung kekuasaan Orde Baru melalui kebijakan monoloyalitas ke pada Golkar dan pemerintah adalah kasus-kasus yang sangat sulit disembunyikan pada era itu.

Upaya meningkatkan kesejahteraan sebenarnya telah diupayakan sejak pemerintah Orde Baru runtuh. Kenaikan gaji yang dimulai di jaman pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan pemberian gaji ketiga belas yang hingga sekarang masih dilakukan ternyata juga belum menunjukkan kualitas guru dan perbaikan mereka sebagai ujung tombak dalam pendidikan generasi bangsa. Berarti tesis yang menganggap bahwa mutu guru dan pendidikan kita akan meningkat dengan dinaikkannya gaji ternyata tidak cukup valid. Persoalan yang masih dominan adalah bahwa guru masih belum memiliki kebebasan. Kesejahteraan yang diberikan juga masih terbatas dan tertinggal di banding negara-negara lain.

Tentu saja peningkatan kesejahteraan, tak akan cukup mampu merubah kualitas guru dan pendidikan kita jika tidak dibarengi dengan perubahan budaya mendidik dan semangat pendidikan. Katakanlah dengan adanya ketidaksejahteraan atau kekurangan gaji para guru tak akan fokus untuk mendidik karena mereka harus menghabiskan waktu untuk berpikir dan melakukan aktivitas lainnya di luar mengajar agar mereka dapat memenuhi kekurangan pedapatannya. Maka, setelah gaji mereka cukup dan tak lagi pusing untuk ‘ngobjek’ di luar, maka kini sudah saatnya mereka mulai mengabdikan dirinya secara penuh dalam bidang pendidikan, mengajar anak-anak dengan tingkat semangat yang lebih besar dan kompetensi mengajar yang lebih kuat.

Guru-guru sekarang harus mewarisi semangat “Umar Bakrie” yang semangat meskipun kesejahteraannya terbatas atau guru era Ki Hajar Dewantoro yang mendalami makna pendidikan dengan merelakan diri sebagai pendidik yang mirip martir atau relawan. Ki Hajar Dewantoro adalah tipe pendidik yang tak keranjingan gaji besar, bahkan hartanya direlakan agar anak-anak bumi putra tidak lagi bodoh. 
 
Tujuannya adalah semata-mata penyadaran dan upaya menciptakan kebangkitan rakyat, dan bukannya menjadi guru karena butuh pekerjaan dan gaji. Menjadi guru adalah tugas kemanusiaan. Dan bukankah dengan gaji yang cukup, justru harus lebih bersemangat lagi dibanding ‘Umar Bakrie’ maupun Ki Hajar?

Mengajar dengan ketulusan adalah kata kunci pendidikan untuk pengabdian dan sebagai proyek kemanusiaan—bukan proyek meningkatkan gaji. Terkait pengabdian guru, kita dapat menarik pelajaran dari film Laskar Pelangi yang diputar di stasiun TV dan bioskop beberapa waktu ini. Film yang diadopsi dari novel Andrea Hirata itu menceritakan seorang guru bernama Ibu Muslimah yang tetap bersemangat menunaikan tugasnya meski gajinya harus dihutang dua bulan. Gaji diutang dua bulan saja tetap bersemangat. Bukankah itu tantangan bagi para guru yang gajinya justru akan dinaikkan menjadi minimal Rp 2 juta/bulan?

Meskipun demikian, tetap harus kita perhatikan bahwa peningkatan gaji bukanlah satu-satunya faktor bagi kemajuan pendidikan kita. Faktor lainnya adalah faktor struktural. Para guru selama tiga dekade Orde Baru dijadikan ”bemper” politik bagi kekuatan Partai Golkar. Guru dijadikan agen politik pembangunanisme dan juga agen pemenangan program politik Golkar. 
 
Melalui organisasi Korpri dan PGRI, mereka dijadikan proyek korporatisme negara. Akibatnya para guru tidak memiliki jiwa pembaruan dan inisiatif dalam menggali khazanah ilmu pengetahuan serta keberanian mengembangkan inovasi pembelajaran yang terlepas dari politik pendidikan. Dalam konteks itu jiwa dan mental demokrasi guru juga ditumpulkan.

Kemudian juga masih kuatnya politik pendidikan yang mengontrol arah dan sistem pendidikan selama tiga dekade membuat para guru seperti ”robot” yang dipenjara melalui tugas-tugas kedinasan yang stagnan. Mudah-mudahan dengan cukupnya gaji, guru-guru kita akan lebih independent, berkarakter, dan tak hanya tunduk pada politik pendidikan yang menghambat kemajuan bangsa.


Tujuh Prinsip Menjadi Guru yang Berkarakter
Ketujuh prinsip itu adalah:
  1. Mampu menunjuk ke dalam diri (Responsible) 
  2. Melakukan Perubahan (Action) 
  3. Membuat jarak sependek mungkin 
  4. Melakukan hal yang penting 
  5. Mengedepankan Pengaruh 
  6. Mengubah Paradigma 
  7. Role model

Seorang guru berkarakter memahami lima level pemimpin, yaitu:
  1. Kekuatan (power/force) 
  2. Ancaman (tread) 
  3. Pemberian hadiah/iming-iming (libery) 
  4. Memakai alasan/menjelaskan (reasonry) 
  5. Hanya dengan permintaaan (pengaruh) atau simple Request

Seorang guru adalah seorang yang telah menyerahkan dirinya dalam organisasi sekolah, dia tidak bisa melakukan tindakan dan berperilaku sesuai keinginan sendiri, tetapi harus dapat menyesuaikan diri dengan peran dan tugasnya sesuai peran dan tuntutan tugas serta aturan organisasi yang menjadi kewajiban bagi seorang guru. 
 
Oleh karena itu, GURU HARUS TAHU ATURAN, BERSEDIA DIATUR, dan BISA MENGATUR. Tahu aturan bermakna memahami bagaimana mekanisme kerja organisasi, dengan pemahaman itu maka seorang guru harus mau dan bisa diatur sesuai dengan mekanisme yang berlaku, serta harus bisa mengatur dalam arti mengelola secara optimal apa yang menjadi peran dan tugasnya dalam organisasi sekolah.

Siswa adalah manusia utuh, maka terimalah dia apa adanya. Siswa adalah individu yang utuh dengan keseluruhan sikap, prilaku, kepribadian serta latar belakang sosial budayanya. Kita tidak bergaul, berinteraksi dengan salah satu aspeknya saja tetapi dengan keseluruhannya. Kesadaran dan kerelaan menerima kenyataan bahwa interaksi dengan siswa sebagai suatu keseluruhan akan menumbuhkan perhatian (concern), rasa peduli (caring), rasa berbagi (sharing), dan kebaikan yang tulus (kindness).

Pendidikan karakter sejatinya bukan hanya sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Lebih dari itu, pendidikan karakter adalah usaha menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik (habituation) sehingga peserta didik mampu bersikap dan bertindak berdasarkan nilai-nilai yang telah menjadi kepribadiannya. Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan pengetahuan yang baik (moral knowing), perasaan yang baik atau loving good (moral feeling) dan perilaku yang baik (moral action) sehingga terbentuk perwujudan kesatuan perilaku dan sikap hidup peserta didik.


Nilai-nilai Karakter (sumber: Pusat Kurikulum) yang perlu diinternalisasikan antara lain:
  1. Religius 
  2. Jujur 
  3. Toleran 
  4. Disiplin 
  5. Kerja keras 
  6. Kreatif 
  7. Mandiri 
  8. Demokratis 
  9. Rasa ingin tahu 
  10. Semangat kebangsaan 
  11. Cinta tanah air 
  12. Menghargai prestasi 
  13. Bersahabat/komunikatif 
  14. Cinta damai 
  15. Senang membaca 
  16. Peduli sosial 
  17. Peduli lingkungan 
  18. Tanggung jawab


PERAN GURU Di sekolah, guru adalah teladan, guru adalah contoh. Penanaman pendidikan karakter kepada siswa tidak akan sukses jika guru tidak mampu menunjukkan contoh karakter yang baik pula. Akan percuma jika guru hanya mampu menyusun perangkat pembelajaran (Silabus dan RPP) dengan integrasi nilai-nilai karakter di dalamnya, tetapi tidak mampu memberi contoh karakter yang baik kepada peserta didik.

Peserta didik tergantung pada guru. Jika guru baik, maka mereka akan baik dan istiqomah dalam hal ilmu maupun amal. Namun jika guru berkarakter buruk, maka InsyaAllah itu adalah musibah besar. Guru harus turun dan bergaul dengan peserta didik. Generasi muda kita tidak kurang dalam hal intelegensi dan intelektualitas. Mereka hanya butuh orang yang bisa membakar motivasi dan menumbuhkan kecintaan mereka akan ilmu. Dan orang itu adalah guru.


Dikutip dari Buku Tips Menjadi Guru Berkarakter karya Lina Nuryani, Ita Ratnasari, & Vera Ernianingtyas, Mahasiswa PBSID FKIP UMS (Belum Diterbitkan)

Konsep Pendidikan Karakter

Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/ dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. 
 
Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).

Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”. 
 
Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.

Pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.

Menurut Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.

Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut.

Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. 
 
Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.

Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.

Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.

Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development) yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut.


Kofigurasi Karakter

Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan moral. Menurut Hersh, et. al. (1980), di antara berbagai teori yang berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan; yaitu: pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku sosial. Berbeda dengan klasifikasi tersebut, Elias (1989) mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku. Klasifikasi didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni: perilaku, kognisi, dan afeksi.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

Pada tahun 2012 ini, ada hal penting yang mestinya mendapat perhatian ekstra para guru. Hal penting itu adalah, keharusan para guru untuk kreatif. Kreatifnya para guru bukan saja memberi manfaat bagi guru yang bersangkutan, tetapi juga murid dan profesi guru serta dunia pendidikan. Artinya, selama ini banyak guru yang belum kreatif dan tidak berkembang. Bahkan tertinggal dalam melaksanakan tugas sebagai seorang pendidik. Hal demikian banyak disebabkan oleh terjebaknya para guru dalam rutinitas kerja yang melulu berpatokan pada kurikulum, tanpa melihat apa yang menjadi kebutuhan diri dan peserta didik serta tantangan dunia pendidikan, terlebih tantangan di masa depan.

Banyak guru yang ternyata tidak mampu memaknai dan menyikapi suatu kurikulum secara benar. Apalagi tidak semua guru bisa memahami dengan baik di samping tidak mau tahu tentang pentingnya kurikulum dikembangkan sesuai tantangan. Di lain sisi, keinginan untuk kreatif dan maju sering terbentur pada tidak terdukungnya diri dari segi finansial, waktu, lokasi maupun organisasi. Kondisi ini sering beriringan dengan besarnya kebutuhan guru yang harus dipenuhi, namun juga tidak mudah untuk memenuhinya.

Yang tidak sabar dan tidak mampu menggunakan akal sehatnya, tentu banyak guru kreatif tetapi kreatif yang semu atau bahkan kreatif dengan unsur tidak layak dilakukan oleh seorang guru. Sebagai contoh adalah, ada oknum guru yang tega menjadi alat penjualan buku secara sesat kepada anak didik. Maunya guru menjual buku seperti itu bukanlah tanpa sebab lain. Buktinya, banyak guru yang ikut menjual buku produk penerbit tertentu lantaran ada imbauan, instruksi dan bahkan paksaan dari atasan. Minimal ada rasa rikuh pakewuh untuk menolak.

Adapula yang main tipu-tipu, dari membuat laporan palsu, sampai berdagang ilmu dengan cara yang saru alias tidak jujur dalam memberi nilai pada anak didik yang ikut les padanya. Fatalnya, saat diberi amanat, banyak pula guru yang tidak amanah, suka mbathi (ambil untung dengan cara sesat). Saat ujian pun, ada yang berusaha mencarikan bocoran atau membantu berbuat curang.

Kondisi seperti itu yang kemudian memunculkan fakta, kalau ada guru yang kesannya kreatif, tetapi kreatif yang tidak positif dan bermoral. Tidak banyak guru yang kreatif sejati, yaitu kreatif yang positif, bermoral dan memberi manfaat bagi banyak pihak. Keadaan yang tidak menguntungkan seperti itu jelas membuat banyak guru terjebak ke dalam ketidakmampuan memerankan diri sebagai guru yang kreatif yang positif serta bermoral. Kita sangat membutuhkan guru kreatif yang dapat memberi warna positif dalam proses pencerdasan kehidupan bangsa.

Untuk itu setidaknya dapat dimulai dari, bahwa guru harus memahami tugas pokok, fungsi dan tantangannya. Dalam hal ini, guru jangan sekadar melaksanakan tugas rutinitas tanpa berkreasi yang positif terkait dengan profesinya. Guru, harus aktif mencari informasi terkait dengan pengembangan potensi diri. Bila memungkinkan, guru juga harus dapat menguasai lebih dari satu disiplin ilmu disertai dengan pengembangan dan penerapan pengetahuan maupun keterampilan yang baik.

Di sisi lain, pemerintah tak boleh diskriminatif terhadap guru. Guru di negeri, swasta, di kota atau di desa harus mendapat kesempatan yang sama untuk dapat lebih kreatif. Oleh karena itu, perlu didukung piranti lunak yang mendukung guru untuk dapat lebih kreatif. Kurikulum yang ada harus selalu ditegaskan sebagai patokan dasar yang mesti dihormati namun mutlak dikritisi dan dikembangkan oleh setiap guru sesuai kebutuhan serta tantangan. Semua ini, juga perlu ada dukungan dari atasan dan lembaga terkait, sehingga membantu pengembangan kreativitas guru. Termasuk pula, dukungan dana yang memadai tanpa harus ada potongan yang tidak sesuai aturan.

Namun, supaya beda tolok ukurnya, kreativitas guru harus ada evaluasi berkesinambungan yang fair, ada penghargaan dan sanksi. Demikian halnya bagi pimpinan dan lembaga tempat guru berkiprah. Perhatian dan dukungan dari berbagai pihak itu, dimaksudkan untuk memberi spirit guru agar lebih kreatif. Jangan sampai guru diajak bertindak apalagi melawan hukum atau kecurangan dalam berbagai macam bentuknya.


Dikutip dari Buku Tips Menjadi Guru Berkarakter karya Lina Nuryani, Ita Ratnasari, & Vera Ernianingtyas, Mahasiswa PBSID FKIP UMS (Belum Diterbitkan)