Pages

April 21, 2011

Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM)

KRITERIA KETUNTASAN MINIMAL

A. Pengertian Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM)
Salah satu prinsip penilaian pada kurikulum berbasis kompetensi adalah menggunakan acuan kriteria, yakni menggunakan kriteria tertentu dalam menentukan kelulusan peserta didik. Kriteria paling rendah untuk menyatakan peserta didik mencapai ketuntasan dinamakan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).

KKM harus ditetapkan sebelum awal tahun ajaran dimulai. Seberapapun besarnya jumlah peserta didik yang melampaui batas ketuntasan minimal, tidak mengubah keputusan pendidik dalam menyatakan lulus dan tidak lulus. Acuan kriteria tidak diubah secara serta merta karena hasil empirik penilaian. Pada acuan norma, kurva normal sering digunakan untuk menentukan ketuntasan belajar peserta didik jika diperoleh hasil rata-rata kurang memuaskan. Nilai akhir sering dikonversi dari kurva normal untuk mendapatkan sejumlah peserta didik yang melebihi nilai 6,0 sesuai proporsi kurva. Acuan kriteria mengharuskan pendidik untuk melakukan tindakan yang tepat terhadap hasil penilaian, yaitu memberikan layanan remedial bagi yang belum tuntas dan atau layanan pengayaan bagi yang sudah melampaui kriteria ketuntasan minimal.

Kriteria ketuntasan minimal ditetapkan oleh satuan pendidikan berdasarkan hasil musyawarah guru mata pelajaran di satuan pendidikan atau beberapa satuan pendidikan yang memiliki karakteristik yang hampir sama. Pertimbangan pendidik atau forum MGMP secara akademis menjadi pertimbangan utama penetapan KKM.

Kriteria ketuntasan menunjukkan persentase tingkat pencapaian kompetensi sehingga dinyatakan dengan angka maksimal 100 (seratus). Angka maksimal 100 merupakan kriteria ketuntasan ideal. Target ketuntasan secara nasional diharapkan mencapai minimal 75. Satuan pendidikan dapat memulai dari kriteria ketuntasan minimal di bawah target nasional kemudian ditingkatkan secara bertahap.

Kriteria ketuntasan minimal menjadi acuan bersama pendidik, peserta didik, dan orang tua peserta didik. Oleh karena itu pihak-pihak yang berkepentingan terhadap penilaian di sekolah berhak untuk mengetahuinya. Satuan pendidikan perlu melakukan sosialisasi agar informasi dapat diakses dengan mudah oleh peserta didik dan atau orang tuanya. Kriteria ketuntasan minimal harus dicantumkan dalam Laporan Hasil Belajar (LHB) sebagai acuan dalam menyikapi hasil belajar peserta didik.

B. Fungsi Kriteria Ketuntasan Minimal
Fungsi kriteria ketuntasan minimal:
1. Sebagai acuan bagi pendidik dalam menilai kompetensi peserta didik sesuai kompetensi dasar mata pelajaran yang diikuti. Setiap kompetensi dasar dapat diketahui ketercapaiannya berdasarkan KKM yang ditetapkan. Pendidik harus memberikan respon yang tepat terhadap pencapaian kompetensi dasar dalam bentuk pemberian layanan remedial atau layanan pengayaan;

2. Sebagai acuan bagi peserta didik dalam menyiapkan diri mengikuti penilaian mata pelajaran. Setiap kompetensi dasar (KD) dan indikator ditetapkan KKM yang harus dicapai dan dikuasai oleh peserta didik. Peserta didik diharapkan dapat mempersiapkan diri dalam mengikuti penilaian agar mencapai nilai melebihi KKM. Apabila hal tersebut tidak bisa dicapai, peserta didik harus mengetahui KD-KD yang belum tuntas dan perlu perbaikan;

3. Dapat digunakan sebagai bagian dari komponen dalam melakukan evaluasi program pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah. Evaluasi keterlaksanaan dan hasil program kurikulum dapat dilihat dari keberhasilan pencapaian KKM sebagai tolok ukur. Oleh karena itu hasil pencapaian KD berdasarkan KKM yang ditetapkan perlu dianalisis untuk mendapatkan informasi tentang peta KD-KD tiap mata pelajaran yang mudah atau sulit, dan cara perbaikan dalam proses pembelajaran maupun pemenuhan sarana-prasarana belajar di sekolah;

4. Merupakan kontrak pedagogik antara pendidik dengan peserta didik dan antara satuan pendidikan dengan masyarakat. Keberhasilan pencapaian KKM merupakan upaya yang harus dilakukan bersama antara pendidik, peserta didik, pimpinan satuan pendidikan, dan orang tua. Pendidik melakukan upaya pencapaian KKM dengan memaksimalkan proses pembelajaran dan penilaian. Peserta didik melakukan upaya pencapaian KKM dengan proaktif mengikuti kegiatan pembelajaran serta mengerjakan tugas-tugas yang telah didesain pendidik. Orang tua dapat membantu dengan memberikan motivasi dan dukungan penuh bagi putra-putrinya dalam mengikuti pembelajaran. Sedangkan pimpinan satuan pendidikan berupaya memaksimalkan pemenuhan kebutuhan untuk mendukung terlaksananya proses pembelajaran dan penilaian di sekolah;

5. Merupakan target satuan pendidikan dalam pencapaian kompetensi tiap mata pelajaran. Satuan pendidikan harus berupaya semaksimal mungkin untuk melampaui KKM yang ditetapkan. Keberhasilan pencapaian KKM merupakan salah satu tolok ukur kinerja satuan pendidikan dalam menyelenggarakan program pendidikan. Satuan pendidikan dengan KKM yang tinggi dan dilaksanakan secara bertanggung jawab dapat menjadi tolok ukur kualitas mutu pendidikan bagi masyarakat.

C. Analisis Kriteria Ketuntasan Minimal
Pencapaian kriteria ketuntasan minimal perlu dianalisis untuk dapat ditindaklanjuti sesuai dengan hasil yang diperoleh. Tindak lanjut diperlukan untuk melakukan perbaikan dan penyempurnaan dalam pelaksanaan pembelajaran maupun penilaian. Hasil analisis juga dijadikan sebagai bahan pertimbangan penetapan KKM pada semester atau tahun pembelajaran berikutnya.

Analisis pencapaian kriteria ketuntasan minimal bertujuan untuk mengetahui tingkat ketercapaian KKM yang telah ditetapkan. Setelah selesai melaksanakan penilaian setiap KD harus dilakukan analisis pencapaian KKM. Kegiatan ini dimaksudkan untuk melakukan analisis rata-rata hasil pencapaian peserta didik kelas X, XI, atau XII terhadap KKM yang telah ditetapkan pada setiap mata pelajaran. Melalui analisis ini akan diperoleh data antara lain: 
  1. KD yang dapat dicapai oleh 75% - 100% dari jumlah peserta didik pada kelas X, XI, atau XII; 
  2. KD yang dapat dicapai oleh 50% - 74% dari jumlah peserta didik pada kelas X, XI, atau XII; 
  3. KD yang dapat dicapai oleh ≤ 49% dari jumlah siswa peserta didik kelas X, XI, atau XII.
Manfaat hasil analisis adalah sebagai dasar untuk meningkatkan kriteria ketuntasan minimal pada semester atau tahun pembelajaran berikutnya. Analisis pencapaian kriteria ketuntasan minimal dilakukan berdasarkan hasil pengolahan data perolehan nilai setiap peserta didik per mata pelajaran.

Inovasi Pendidikan (15)

BAB XV
MIKRO TEACHING


Pengertian Mikro Teaching
Mikro berarti kecil, terbatas, sempit. Teaching berarti mendidik atau mengajar. Mikro Teaching berarti suatu kegiatan mengajar dimana segalanya diperkecil atau disederhanakan. Apa yang disederhanakan, yaitu:
• Jumlah siswa 5 – 6 orang.
• Waktu mengajar 5 – 10 menit.
• Bahan pelajaran hanya mencakup satu atau dua hal yang sederhana.
• Ketrampilan mengajar difokuskan beberapa ketrampilan khusus saja.
Unsur mikro merupakan ciri utamanya dan berusaha untuk meyederhanakan secara sistimatis keseluruhan proses mengajar yang ada. Dengan memperkecil murid, menyingkat waktu, mempersempit sarana-sarana serta membatasi keterampilan, perhatian dapat sepenuhnya diarahkan pada pembinaan penyempurnaan keterampilan khusus yang sedang dipelajari.

Perbedaan Mikro Teaching dan Teaching adalah sebagai berikut (http://weblog-pendidikan.blogspot.com):

Mikro Teaching
1. Dilaksanakan dalam kelas laboratorium
2. Sekadar real teaching
3. Siswa 5 s/d 10 orang
4. Waktu sekitar 10 menit Waktu sekitar 45 menit
5. Bahan terbatas Bahan luas
6. Keterampilan yang dilatihkan meliputi semua teaching skill dalam porsi yang terbatas dan terpisah-pisah Ketrampilan yang didemonstrasikan semua teaching skill dan terintegrasi
7. Dibutuhkan alat-alat laboratorium agar diperoleh feedback yang obyektif Tidak dilengkapi dengan alat-alat laboratorium

Teaching
1. Dilaksanakan dalam real class room
2. Merupakan real class room teaching
3. Siswa 30 s/d 40 orang
4. Waktu sekitar 45 menit
5. Bahan luas
6. Ketrampilan yang didemonstrasikan semua teaching skill dan terintegrasi
7. Tidak dilengkapi dengan alat-alat laboratorium

Urgensi Mikro Teaching
Mikro Teaching dapat digunakan dalam:
1. Pendidikan pre service, yaitu bagi calon guru:
• Sebagai persiapan calon guru sebelum benar-benar mengajar di depan kelas.
• Sebagai usaha perbaikan penampilan calon guru.
2. Pendidikan in service, yaitu bagi guru atau penilik.
• Untuk meningkatkan kemampuan guru mengajar rutin, supaya menemukan dan mengetahui kelemahan-kelemahannya sendiri dan berusaha memperbaikinya.
• Untuk meningaktkan kemampuan supervisor supaya ia tahu apakah bimbingan, nasihat, dan saran-sarannya benar-benar efektif dalam membantu peningkatan guru-gurunya.
• Untuk percobaan melaksanakan metode baru, sebelum metode itu dilaksanakan dalam pembelajaran yang sebenarnya.

Tujuan Operasional Mikro Teaching
1. Mengembangkan kemampuan mawas diri dan menilai orang lain.
2. Memungkinkan adanya perbaikan dalam waktu singkat.
3. Menanamkan rasa percaya pada diri dan bersifat terbuka dengan kritik orang lain.
4. Mengembangkan sikap kritis pendidik.
5. Menanamkan kesadaran akan nilai keterampilan mngajar dan komponen-komponennya.
6. Mengenal kelemahan-kelemahan dan keliruan-keliruan dalam penampilan keterampilan mengajar dan mengetahui penampilan yang baik.
7. Dengan menggunakan video tape recorder maka:
• Memberi kesempatan guru untuk melihat dan mendengar dirinya sendiri.
• Memberi kesempatan untuk mengikuti kembali kritik dan diskusi cara mengajar berulangkali.
8. Memungkinkan untuk membuat model cara mengjar.
9. Memungkinkan banyak orang yang dapat mengikuti proses belajar dan tidak tentu waktunya.
10. Merupakan medan untuk mencobakan sistem atau metode baru untuk diteliti sebelum dikembangkan.
11. Memberi kesempatan pendekatan analistis mengenai ketrampilan dan strategi mengajar.

Materi Kegiatan/Program Kegiatan
Yang dimaksud materi disini adalah keterampilan yang akan dilatih melalui penampilan dalam mikro teaching. Ada sepuluh ketrampilan khusus yang dapat dilatih dalam micro teaching yang kesemuanya itu merupakan dalam sebuah proses belajar mengajar. Keterampilan khusus itu meliputi (Kisno: 2010, dalam http://retorikahidupseorangkisnounila.blogspot.com) :
1. Keterampilan membuka pelajaran
• Memperhatikan sikap dan tempat duduk siswa.
• Memulai pelajaran setelah nampak siswa siap belajar.
• Cara mengenalkan pelajaran cukup menarik.
• Mengenalkan pokok pelajaran dengan menghubungkan pengetahuan yang sudah diketahui oleh siswa.
2. Keterampilan memberi motivasi
• Mengucapkan “baik, bagus, ya”, bila siswa menjawab atau mengajukan pertanyaan.
• Memuji dan memberi dorongan dengan senyum atau anggukan atas partisipasi siswa.
• Memberi tuntunan pada siswa agar dapat memberi jawaban yang benar.
• Memberi pengarahan sederhana dan pancingan, agar siswa memberi jawaban yang benar.
3. Keterampilan bertanya
• Pertanyaan guru sebagian besar telah cukup jelas.
• Pertanyaan guru sebagian besar jelas kaitannya dengan masalah.
• Pertanyaan ditunjukan keseluruhan kelas lebih dahulu, baru menunjuk.
• Pertanyaan didistribusikan secara merata di antara para siswa.
• Teknik menunjuk yang memungkinkan seluruh siswa siap.
4. Keterampilan menerangkan
• Keterangan guru berfokus pada inti pelajaran.
• Keterangan guru menarik perhatian siswa.
• Keterangan guru mudah ditangkap oleh siswa.
• Penggunaan contoh, ilustrasi, dan semacamnya menarik perharian siswa.
• Guru memperhatikan dengan sungguh-sungguh respon siswa yang berupa pertanyaan, reaksi, usul, dan semacamnya.
5. Keterampilan mendayagunakan media
• Pemilihan media sesuai dengan PBM yang diprogramkan.
• Teknik mengkomunikasikan media tepat.
• Guru trampil menggunakan media.
6. Keterampilan menggunakan metode yang tepat
• Ada kecocokan antara metode yang dipilih dengan tujuan pengajaran.
• Ada kecocokan antara metode yang dipilih dengan materi pelajaran dan situasi kelas.
• Dalam menggunakan metode telah memenuhi sistematika metode tersebut.
• Alat yang dapat menunjang kelancaran penggunaan metode tersebut telah disiapkan.
• Menguasai dalam penggunaan metode tersebut.
7. Keterampilan mengadakan interaksi
• Ada keseimbangan antara jumlah kegiatan guru (aksi) dengan kegiatan siswa (reaksi) selama proses belajar mengajar.
• Ada pengaruh langsung yang berupa: informasi, pengarahan, dan membenarkan atau menyalahkan.
• Nampak ada partisipasi dari siswa yang berupa: mendengarkan, mengamati, menjawab, bertanya, dan mencoba.
8. Keterampilan penampilan verbal non verbal
• Gerakan guru wajar.
• Gerakan guru bebas.
• Isyarat guru menggunakan tangan, badan, dan wajah cukup bervariasi.
• Suara guru cukup bervariasi.
• Ada pemusatan perhatian dari pihak siswa.
• Pengertian indera melihat dan mendengar berjalan dengan wajar.
9. Keterampilan penjajagan/assessment
• Menaruh perhatian kepada siswa yang mengalami kesulitan.
• Adanya kesepakatan guru terhadap tanda siswa yang mengalami salah pengertian.
• Melakukan penjajagan kepada siswa tentang pelajaran yang telah diterimanya.
• Mencari apa yang menjadi sumber terjadinya kesulitan.
• Melakukan kegiatan untuk mengatasi kesulitan siswa.
10. Keterampilan menutup pelajaran
• Dapat menyimpulkan pelajaran dengan tepat.
• Dapat menggunakan kata-kata yang dapat membesarkan hati siswa.
• Dapat menimbulkan perasaan mampu (sense of achievment) dari pelajaran yang diproleh.
• Dapat mendorong siswa tertarik pada pelajaran yang telah diterima.

Persiapan Penyelenggaraan
Dalam mempersiapkan penyelenggaraan micro teaching kita harus menetapkan.
1. Waktu diadakan mikro teaching.
2. Tempat diadakan mikro teaching.
3. Personalia dalam mikro teaching (calon yang praktek, peserta didik/siswa, orang yang akan mengadakan observasi dan penilaian, ahli teknik alat rekaman)
4. Pola mikro teaching yang akan digunakan dan dikembangkan.
5. Rencana kegiatan dan prosedur kegiatan mikro teaching
6. Sarana dan prasarana.
7. Follow up. Follow up ditentukan kapan mengajar dikelas yang sebenarnya atau melaksanakan tugas profesional guru.

Inovasi Pendidikan (14)

BAB XIV
LESSON STUDY


A. Pengertian Lesson Study
Konsep dan praktik Lesson Study pertama kali dikembangkan oleh para guru pendidikan dasar di Jepang, yang dalam bahasa Jepang-nya disebut dengan istilah kenkyuu jugyo. Adalah Makoto Yoshida, orang yang dianggap berjasa besar dalam mengembangkan kenkyuu jugyo di Jepang. Keberhasilan Jepang dalam mengembangkan Lesson Study tampaknya mulai diikuti pula oleh beberapa negara lain, termasuk di Amerika Serikat yang secara gigih dikembangkan dan dipopulerkan oleh Catherine Lewis yang telah melakukan penelitian tentang Lesson Study di Jepang sejak tahun 1993. Sementara di Indonesia pun saat ini mulai gencar disosialisasikan untuk dijadikan sebagai sebuah model dalam rangka meningkatkan proses pembelajaran siswa, bahkan pada beberapa sekolah sudah mulai dipraktikkan. Meski pada awalnya, Lesson Study dikembangkan pada pendidikan dasar, namun saat ini ada kecenderungan untuk diterapkan pula pada pendidikan menengah dan bahkan pendidikan tinggi. (Dziat: 2009 dalam http://psy-educacao.blogspot.com)
Lesson Study (LS) merupakan pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun learning community. Lesson Study adalah belajar bersama dari suatu pembelajaran yang dilakukan baik pada pembelajaran oleh dirinya sendiri maupun pembelajaran orang lain, mulai dari persiapan sampai pelaksanaan pembelajaran dan melakukan refleksi terhadap pembelajaran tersebut. (Sukarna: 2010)
Lesson Study merupakan suatu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun learning community. Lesson Study bukan suatu metode pembelajaran atau suatu strategi pembelajaran, tetapi dalam kegiatan Lesson Study dapat memilih dan menerapkan berbagai metode/strategi pembelajaran yang sesuai dengan situasi, kondisi, dan permasalahan yang dihadapi pendidik. Lesson study dapat merupakan suatu kegiatan pembelajaran dari sejumlah guru dan pakar pembelajaran yang mencakup 3 (tiga) tahap kegiatan, yaitu perencanaan (planning), implementasi (action) pembelajaran dan observasi serta refleksi (reflection) terhadap perencanaan dan implementasi pembelajaran tersebut, dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran. (http://pembelajaranguru.wordpress.com)
Apabila kita cermati definisi Lesson Study, maka kita menemukan 7 kata kunci, yaitu pembinaan profesi, pengkajian pembelajaran, kolaboratif, berkelanjutan, kolegialitas, mutual learning, dan komunitas belajar. Lesson Study bertujuan untuk melakukan pembinaan profesi pendidik secara berkelanjutan agar terjadi peningkatan profesionalitas pendidik terus menerus. Kalau tidak dilakukan pembinaan terus menerus maka profesionalitas dapat menurun dengan bertambahnya waktu.
Bagaimana membinanya, yaitu melalui pengkajian pembelajaran secara terus menerus dan berkolaborasi. Pengkajian pembelajaran harus dilakukan secara berkala, misalnya seminggu sekali atau dua minggu sekali karena membangun komunitas belajar adalah membangun budaya yang memfasilitasi anggotanya untuk saling belajar, saling koreksi, saling menghargai, saling bantu, saling menahan ego.
Prinsip kolegialitas dan mutual learning (saling belajar) diterapkan dalam berkolaborasi ketika melaksanakan kegiatan Lesson Study. Dengan kata lain, peserta kegiatan Lesson Study tidak boleh merasa superior (merasa paling pintar) atau inferior (merasa rendah diri) tetapi semua peserta kegiatan Lesson Study harus mempunyai niat untuk saling belajar. Peserta yang sudah paham atau memiliki ilmu lebih harus mau berbagi dengan peserta yang belum paham, sebaliknya peserta yang belum paham harus mau bertanya kepada peserta yang sudah paham. Narasumber dalam forum Lesson Study harus bertindak sebagai fasilitator, bukan instruktur. Fasilitator harus dapat memotivasi peserta untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya agar para peserta dapat maju bersama.

B. Ciri-ciri Lesson Study
Dalam tulisannya, Catherine Lewis (dalam Dziat: 2009, http://psy-educacao.blogspot.com) mengemukakan tentang ciri-ciri esensial dari Lesson Study, yang diperolehnya berdasarkan hasil observasi terhadap beberapa sekolah di Jepang, yaitu:
1. Tujuan bersama untuk jangka panjang. Lesson study didahului adanya kesepakatan dari para guru tentang tujuan bersama yang ingin ditingkatkan dalam kurun waktu jangka panjang dengan cakupan tujuan yang lebih luas, misalnya tentang: pengembangan kemampuan akademik siswa, pengembangan kemampuan individual siswa, pemenuhan kebutuhan belajar siswa, pengembangan pembelajaran yang menyenangkan, mengembangkan kerajinan siswa dalam belajar, dan sebagainya.
2. Materi pelajaran yang penting. Lesson study memfokuskan pada materi atau bahan pelajaran yang dianggap penting dan menjadi titik lemah dalam pembelajaran siswa serta sangat sulit untuk dipelajari siswa.
3. Studi tentang siswa secara cermat. Fokus yang paling utama dari Lesson Study adalah pengembangan dan pembelajaran yang dilakukan siswa, misalnya, apakah siswa menunjukkan minat dan motivasinya dalam belajar, bagaimana siswa bekerja dalam kelompok kecil, bagaimana siswa melakukan tugas-tugas yang diberikan guru, serta hal-hal lainya yang berkaitan dengan aktivitas, partisipasi, serta kondisi dari setiap siswa dalam mengikuti proses pembelajaran. Dengan demikian, pusat perhatian tidak lagi hanya tertuju pada bagaimana cara guru dalam mengajar sebagaimana lazimnya dalam sebuah supervisi kelas yang dilaksanakan oleh kepala sekolah atau pengawas sekolah.
4. Observasi pembelajaran secara langsung. Observasi langsung boleh dikatakan merupakan jantungnya Lesson Study. Untuk menilai kegiatan pengembangan dan pembelajaran yang dilaksanakan siswa tidak cukup dilakukan hanya dengan cara melihat dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (Lesson Plan) atau hanya melihat dari tayangan video, namun juga harus mengamati proses pembelajaran secara langsung. Dengan melakukan pengamatan langsung, data yang diperoleh tentang proses pembelajaran akan jauh lebih akurat dan utuh, bahkan sampai hal-hal yang detail sekali pun dapat digali. Penggunaan videotape atau rekaman bisa saja digunakan hanya sebatas pelengkap, dan bukan sebagai pengganti.

C. Tahap Kegiatan dalam Lesson Study
Ada tiga tahapan dalam lesson study, yaitu: tahap perencanaan, tahap implementasi dan observasi, serta tahap refleksi. (http://pembelajaranguru.wordpress.com)
1. Tahap Perencanaan
Pada tahap ini dilakukan identifikasi masalah yang ada di kelas yang akan digunakan untuk kegiatan lesson study dan perencanaan alternatif pemecahannya. Identifikasi masalah dalam rangka perencanaan pemecahan masalah tersebut berkaitan dengan pokok bahasan (materi pelajaran) yang relevan dengan kelas dan jadwal pelajaran, karakteristik siswa dan suasana kelas, metode/pendekatan pembelajaran, media, alat peraga, dan evaluasi proses dan hasil belajar.
Dari hasil identifikasi tersebut didiskusikan (dalam kelompok lesson study) tentang pemilihan materi pembelajaran, pemilihan metode dan media yang sesuai dengan karakteristik siswa, serta jenis evaluasi yang akan digunakan. Pada saat diskusi, akan muncul pendapat dan sumbang saran dari para guru dan pakar dalam kelompok tersebut untuk menetapkan pilihan yang akan diterapkan. Pada tahap ini, pakar dapat mengemukakan hal-hal penting/baru yang perlu diketahui dan diterapkan oleh para guru, seperti pendekatan pembelajaran konstruktif, pendekatan pembelajaran yang memandirikan belajar siswa, pembelajaran kontekstual, pengembangan life skill, Realistic Mathematics Education, pemutakhiran materi ajar, atau lainnya yang dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam pemilihan tersebut.
Hal yang penting pula untuk didiskusikan adalah penyusunan lembar observasi, terutama penentuan aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam suatu proses pembelajaran dan indikator-indikatornya, terutama dilihat dari segi tingkah laku siswa. Aspek-aspek proses pembelajaran dan indikator-indikator itu disusun berdasarkan perangkat pembelajaran yang dibuat serta kompetensi dasar yang ditetapkan untuk dimiliki siswa setelah mengikuti proses pembelajaran.
Dari hasil identifikasi masalah dan diskusi perencanaan pemecahannya, selanjutnya disusun dalam suatu perangkat pembelajaran yang terdiri atas :
a. Rencana Pembelajaran (RP)
b. Petunjuk Pelaksanaan Pembelajaran (Teaching Guide)
c. Lembar Kerja Siswa (LKS)
d. Media atau alat peraga pembelajaran
e. Instrumen penilaian proses dan hasil pembelajaran.
f. Lembar observasi pembelajaran.
Penyusunan perangkat pembelajaran ini dapat dilakukan oleh seorang guru atau beberapa orang guru atas dasar kesepakatan tentang aspek-aspek pembelajaran yang direncanakan sebagai hasil dari diskusi. Hasil penyusunan perangkat pembelajaran tersebut perlu dikonsultasikan dengan dosen atau guru yang dipandang pakar dalam kelompoknya untuk disempurnakan. Perencanaan itu dapat juga diatur sebaliknya, yaitu seorang atau beberapa orang guru yang ditunjuk dalam kelompok mengidentifikasi permasalahan dan membuat perencanaan pemecahannya yang berupa perangkat-perangkat pembelajaran untuk suatu pokok bahasan dalam suatu mata pelajaran yang telah ditetapkan dalam kelompok. Selanjutnya, hasil identifikasi masalah dan perangkat pembelajaran tersebut didiskusikan untuk disempurnakan.

2. Tahap Implementasi dan Observasi
Pada tahap ini seorang guru yang telah ditunjuk (disepakati) oleh kelompoknya, melakukan implementasi rencana pembelajaran (RP) yang telah disusun tersebut, di kelas. Pakar dan guru lain melakukan observasi dengan menggunakan lembar observasi yang telah dipersiapkan dan perangkat lain yang diperlukan. Para observer ini mencatat hal-hal positif dan negatif dalam proses pembelajaran, terutama dilihat dari segi tingkah laku siswa. Selain itu (jika memungkinkan), dilakukan rekaman video (audio visual) yang mengclose-up kejadian-kejadian khusus (pada guru atau siswa) selama pelaksanaan pembelajaran. Hasil rekaman ini berguna nantinya sebagai bukti autentik kejadian-kejadian yang perlu didiskusikan dalam tahap refleksi atau pada seminar hasil lesson study, di samping itu dapat digunakan sebagai bahan diseminasi kepada khalayak yang lebih luas.

3. Tahap Refleksi
Selesai praktik pembelajaran, segera dilakukan refleksi. Pada tahap refleksi ini, guru yang tampil dan para observer serta pakar mengadakan diskusi tentang pembelajaran yang baru saja dilakukan. Diskusi ini dipimpin oleh Kepala Sekolah, Koordinator kelompok, atau guru yang ditunjuk oleh kelompok. Pertama guru yang melakukan implementasi rencana pembelajaran diberi kesempatan untuk menyatakan kesan-kesannya selama melaksanakan pembelajaran, baik terhadap dirinya maupun terhadap siswa yang dihadapi. Selanjutnya observer (guru lain dan pakar) menyampaikan hasil analisis data observasinya, terutama yang menyangkut kegiatan siswa selama berlangsung pembelajaran yang disertai dengan pemutaran video hasil rekaman pembelajaran. Selanjutnya, guru yang melakukan implementasi akan memberikan tanggapan balik atas komentar para observer.
Hal yang penting pula dalam tahap refleksi ini adalah mempertimbangkan kembali rencana pembelajaran yang telah disusun sebagai dasar untuk perbaikan rencana pembelajaran berikutnya. Apakah rencana pembelajaran tersebut telah sesuai dan dapat meningkatkan performance keaktifan belajar siswa. Jika belum ada kesesuaian, hal-hal apa saja yang belum sesuai, metode pembelajarannya, materi dalam LKS, media atau alat peraga, atau lainnya. Pertimbangan-pertimbangan ini digunakan untuk perbaikan rencana pembelajaran selanjutnya.

D. Hambatan dalam Lesson Study
Beberapa hambatan dalam kegiatan lesson study antara lain:
 Jumlah siswa dalam satu kelas sangat banyak, menyulitkan mengenal karakteristik siswa satu persatu.
 Masih ada beberapa siswa yang belum dapat mengubah cara pembelajarannya, dan belum tersentuh/terperhatikan oleh guru.
 Masih terikatnya guru dan siswa pada buku paket sebagai sumber pembelajaran, sehingga pengetahuan siswa terbatas.
 Sarana pembelajaran masih terbatas, belum memanfaatkan multi media.
 Jumlah jam mengajar guru di tiap sekolah sangat banyak, sehingga pada setiap kali mengikuti on-service selalu meninggalkan jam pelajaran di sekolah.
 Keberadaan sekolah tempat on-service yang jauh dari lokasi tempat tinggal guru.
 Kurangnya kesadaran guru untuk melaksanakan lesson study secara mandiri.

Inovasi Pendidikan (13)

BAB XIII
PENGEMBANGAN SILABUS DAN RPP


A. Silabus
1. Pengertian Silabus
Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi , kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar. (BSNP: 2006)

2. Prinsip Pengembangan Silabus
1) Ilmiah. Keseluruhan materi dan kegiatan yang menjadi muatan dalam silabus harus benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan.
2) Relevan. Cakupan, kedalaman, tingkat kesukaran dan urutan penyajian materi dalam silabus sesuai dengan tingkat perkembangan fisik, intelektual, sosial, emosional, dan spritual peserta didik.
3) Sistematis. Komponen-komponen silabus saling berhubungan secara fungsional dalam mencapai kompetensi.
4) Konsisten. Adanya hubungan yang konsisten (ajeg, taat asas) antara kompetensi dasar, indikator, materi pokok/pembelajaran, pengalaman belajar, sumber belajar, dan sistem penilaian.
5) Memadai. Cakupan indikator, materi pokok/pembelajaran, pengalaman belajar, sumber belajar, dan sistem penilaian cukup untuk menunjang pencapaian kompetensi dasar.
6) Aktual dan Kontekstual. Cakupan indikator, materi pokok, pengalaman belajar, sumber belajar, dan sistem penilaian memperhatikan perkembangan ilmu, teknologi, dan seni mutakhir dalam kehidupan nyata, dan peristiwa yang terjadi.
7) Fleksibel. Keseluruhan komponen silabus dapat mengakomodasi keragaman peserta didik, pendidik, serta dinamika perubahan yang terjadi di sekolah dan tuntutan masyarakat.
8) Menyeluruh. Komponen silabus mencakup keseluruhan ranah kompetensi (kognitif, afektif, psikomotor).

3. Langkah-langkah Pengembangan Silabus
Langkah-langkah Pengembangan Silabus adalah sebagai berikut (BSNP: 2006):
1) Mengkaji Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
Mengkaji standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran sebagaimana tercantum pada Standar Isi, dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a. urutan berdasarkan hierarki konsep disiplin ilmu dan/atau tingkat kesulitan materi, tidak harus selalu sesuai dengan urutan yang ada di SI;
b. keterkaitan antara standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam mata pelajaran;
c. keterkaitan antara standar kompetensi dan kompetensi dasar antarmata pelajaran.
2) Mengidentifikasi Materi Pokok/Pembelajaran
Mengidentifikasi materi pokok/pembelajaran yang menunjang pencapaian kompetensi dasar dengan mempertimbangkan:
a. potensi peserta didik;
b. relevansi dengan karakteristik daerah,
c. tingkat perkembangan fisik, intelektual, emosional, sosial, dan spritual peserta didik;
d. kebermanfaatan bagi peserta didik;
e. struktur keilmuan;
f. aktualitas, kedalaman, dan keluasan materi pembelajaran;
g. relevansi dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan lingkungan; dan
h. alokasi waktu.
3) Mengembangkan Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran dirancang untuk memberikan pengalaman belajar yang melibatkan proses mental dan fisik melalui interaksi antarpeserta didik, peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya dalam rangka pencapaian kompetensi dasar. Pengalaman belajar yang dimaksud dapat terwujud melalui penggunaan pendekatan pembelajaran yang bervariasi dan berpusat pada peserta didik. Pengalaman belajar memuat kecakapan hidup yang perlu dikuasai peserta didik.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran adalah sebagai berikut.
a Kegiatan pembelajaran disusun untuk memberikan bantuan kepada para pendidik, khususnya guru, agar dapat melaksanakan proses pembelajaran secara profesional.
b Kegiatan pembelajaran memuat rangkaian kegiatan yang harus dilakukan oleh peserta didik secara berurutan untuk mencapai kompetensi dasar.
c Penentuan urutan kegiatan pembelajaran harus sesuai dengan hierarki konsep materi pembelajaran.
d Rumusan pernyataan dalam kegiatan pembelajaran minimal mengandung dua unsur penciri yang mencerminkan pengelolaan pengalaman belajar siswa, yaitu kegiatan siswa dan materi.
4) Merumuskan Indikator Pencapaian Kompetensi
Indikator merupakan penanda pencapaian kompetensi dasar yang ditandai oleh perubahan perilaku yang dapat diukur yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Indikator dikembangkan sesuai dengan karakteristik peserta didik, mata pelajaran, satuan pendidikan, potensi daerah dan dirumuskan dalam kata kerja operasional yang terukur dan/atau dapat diobservasi. Indikator digunakan sebagai dasar untuk menyusun alat penilaian.
5) Penentuan Jenis Penilaian
Penilaian pencapaian kompetensi dasar peserta didik dilakukan berdasarkan indikator. Penilaian dilakukan dengan menggunakan tes dan non tes dalam bentuk tertulis maupun lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas, proyek dan/atau produk, penggunaan portofolio, dan penilaian diri.
6) Menentukan Alokasi Waktu
Penentuan alokasi waktu pada setiap kompetensi dasar didasarkan pada jumlah minggu efektif dan alokasi waktu mata pelajaran per minggu dengan mempertimbangkan jumlah kompetensi dasar, keluasan, kedalaman, tingkat kesulitan, dan tingkat kepentingan kompetensi dasar. Alokasi waktu yang dicantumkan dalam silabus merupakan perkiraan waktu rerata untuk menguasai kompetensi dasar yang dibutuhkan oleh peserta didik yang beragam.
7) Menentukan Sumber Belajar
Sumber belajar adalah rujukan, objek dan/atau bahan yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran, yang berupa media cetak dan elektronik, narasumber, serta lingkungan fisik, alam, sosial, dan budaya. Penentuan sumber belajar didasarkan pada standar kompetensi dan kompetensi dasar serta materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi.

B. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
1. Pengertian
Berdasarkan PP 19 Tahun 2005 Pasal 20 dinyatakan bahwa:
”Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar”.
Jadi, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah rencana yang
menggambarkan prosedur dan menajemen pembelajaran untuk mencapai satu
atau lebih kompetensi dasar yang telah dijabarkan dalam silabus.

2. Komponen RPP
RPP disusun untuk setiap KD yang dapat dilaksanakan dalam satu kali pertemuan atau lebih. Guru merancang penggalan RPP untuk setiap pertemuan yang disesuaikan dengan penjadwalan di satuan pendidikan. Komponen RPP meliputi: identitas mata pelajaran, standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator pencapaian kompetensi, tujuan pembelajaran, materi ajar, alokasi waktu, mtode pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan sumber belajar.

3. Langkah-Langkah Penyusunan RPP
Langkah-langkah minimal dari penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dimulai dari mencantumkan Identitas RPP, Tujuan Pembelajaran, Materi Pembelajaran, Metode Pembelajaran, Langkah-langkah Kegiatan pembelajaran, Sumber Belajar, dan Penilaian. Setiap komponen mempunyai arah pengembangan masing-masing, namun semua merupakan suatu kesatuan.
Penjelasan tiap-tiap komponen adalah sebagai berikut (BSNP: 2006) :
1) Mencantumkan Identitas
Terdiri dari: Nama sekolah, Mata Pelajaran, Kelas¬, Semester, Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, Indikator dan Alokasi Waktu.
2) Merumuskan Tujuan Pembelajaran
Output (hasil langsung) dari satu paket kegiatan pembelajaran.
Bila pembelajaran dilakukan lebih dari 1 (satu) pertemuan, ada baiknya tujuan pembelajaran juga dibedakan menurut waktu pertemuan, sehingga tiap pertemuan dapat memberikan hasil.
3) Menetukan Materi Pembelajaran
Untuk memudahkan penetapan materi pembelajaran, dapat diacu dari indikator.
4) Menentukan Metode Pembelajaran
Metode dapat diartikan benar-benar sebagai metode, tetapi dapat pula diartikan sebagai model atau pendekatan pembelajaran, bergantung pada karakteristik pendekatan dan/atau strategi yang dipilih. Karena itu pada bagian ini cantumkan pendekatan pembelajaran dan metode yang diintegrasikan dalam satu kegiatan pembelajaran peserta didik:
a. Pendekatan pembelajaran yang digunakan, misalnya: pendekatan proses, kontekstual, pembelajaran langsung, pemecahan masalah, dan sebagainya.
b. Metode-metode yang digunakan, misalnya: ceramah, inkuiri, observasi, tanya jawab, e-learning dan sebagainya.
5) Menetapkan Kegiatan Pembelajaran
a. Untuk mencapai suatu kompetensi dasar harus dicantumkan langkah-langkah kegiatan setiap pertemuan. Pada dasarnya, langkah-langkah kegiatan memuat unsur kegiatan pendahuluan/pembuka, kegiatan inti, dan kegiatan penutup. Langkah-langkah minimal yang harus dipenuhi pada setiap unsur kegiatan pembelajaran adalah: (a) kegiatan pendahuluan, (b) kegiatan inti, dan (c) kegiatan penutup.
b. Langkah-langkah pembelajaran dimungkinkan disusun dalam bentuk seluruh rangkaian kegiatan, sesuai dengan karakteristik model pembelajaran yang dipilih, menggunakan urutan sintaks sesuai dengan modelnya. Oleh karena itu, kegiatan pendahuluan/pembuka, kegiatan inti, dan kegiatan penutup tidak harus ada dalam setiap pertemuan.
6) Memilih Sumber Belajar
Pemilihan sumber belajar mengacu pada perumusan yang ada dalam silabus yang dikembangkan. Sumber belajar mencakup sumber rujukan, lingkungan, media, narasumber, alat dan bahan. Sumber belajar dituliskan secara lebih operasional, dan bisa langsung dinyatakan bahan ajar apa yang digunakan.
7) Menentukan Penilaian
Penilaian dijabarkan atas teknik penilaian, bentuk instrumen, dan instrumen yang dipakai.

Inovasi Pendidikan (12)

BAB XII
INOVASI PEMBELAJARAN


Pembelajaran inovatif juga mengandung arti pembelajaran yang dikemas oleh guru atau instruktur lainnya yang merupakan wujud gagasan atau teknik yang dipandang baru agar mampu memfasilitasi siswa untuk memperoleh kemajuan dalam proses dan hasil belajar. Berdasarkan definisi secara harfiah pembelajaran inovatif tersebut, tampak di dalamnya terkandung makna pembaharuan. Gagasan pembaharuan muncul sebagai akibat seseorang merasakan adanya anomali atau krisis pada paradigma yang dianutnya dalam memecahkan masalah belajar. Oleh sebab itu, dibutuhkan paradigma baru yang diyakini mampu memecahkan masalah tersebut. Perubahan paradigma seyogyanya diakomodasi oleh semua manusia, karena manusia sebagai individu adalah makhluk kreatif. Namun, perubahan sering dianggap sebagai pengganggu kenyamanan diri,karena pada hakikatnya seseorang secara alamiah lebih mudah terjangkit virus rutinitas.

A. Pembelajaran Tematik
Pembelajaran tematik adalah pembelajaran yang menggunakan tema dalam mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat memberikan pengalaman bermakna kepada siswa. Tema adalah pokok pikiran atau gagasan pokok yang menjadi pokok pembicaraan (Poerwadarminta dalam Surtikanti & Joko Santoso: 2009). Dengan tema diharapkan akan memberikan banyak keuntungan, di antaranya: 1) siswa mudah memusatkan perhatian pada suatu tema tertentu; 2) siswa mampu mempelajari pengetahuan dan mengembangkan berbagai kompetensi dasar antarmata pelajaran dalam tema yang sama; 3) pemahaman terhadap materi pelajaran lebih mendalam dan berkesan; 4) kompetensi dasar dapat dikembangkan lebih baik dengan mengkaitkan mata pelajaran lain dengan pengalaman pribadi siswa; 5) siswa mampu lebih merasakan manfaat dari makna belajar karena materi disajikan dalam konteks tema yang jelas; 6) siswa mampu lebih bergairah belajar karena dapat berkomunikasi dalam situasinya untuk mengembangkan suatu kemampuan dalam satu mata pelajaran sekaligus mempelajari mata pelajaran lain; 7) guru dapat menghemat waktu karena mata pelajaran yang disajikan secara tematik dapat dipersiapkan sekaligus dan diberikan dalam dua atau tiga pertemuan, waktu selebihnya dapat digunakan untuk kegiatan remedial, pemantapan, atau pengayaan.
Pembelajaran tematik lebih menekankan pada penerapan konsep belaja sambil melakukan sesuatu (learning by doing). Oleh karena itu, guru perlu mengemas atau merancang pengalaman belajar yang akan mempengaruhi kebermaknaan belajar siswa. Pengalaman belajar yang menunjukkan kaitan unsur-unsur konseptual menjadikan proses pembelajaran lebih efektif. Kaitan konseptual antar mata pelajaran yang dipelajari akan membentuk skema, sehingga siswa akan memperoleh keutuhan dan kebulatan pengetahuan. Selain itu, dengan penerapan pembelajaran tematik di sekolah dasar akan sangat membantu siswa, karena sesuai dengan tahap perkembangan siswa yang masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (holistik). Beberapa ciri khas dari pembelajaran tematik antara lain (Supraptiningsih: 2009) :
a. Pengalaman dan kegiatan belajar sangat relevan dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan anak usia sekolah dasar.
b. Kegiatan-kegiatan yang dipilih dalam pelaksanaan pembelajaran tematik bertolak dari minat dan kebutuhan siswa.
c. Kegiatan belajar akan lebih bermakna dan berkesan bagi siswa sehingga hasil belajar dapat bertahan lebih lama.
d. Membantu mengembangkan keterampilan berpikir siswa.
e. Menyajikan kegiatan belajar yang bersifat pragmatis sesuai dengan permasalahan yang sering ditemui siswa dalam lingkungannya.
f. Mengembangkan keterampilan sosial siswa, seperti kerjasama, toleransi, komunikasi, dan tanggap terhadap gagasan orang lain.

Karakteristik pembelajaran tematik menurut Surtikanti & Joko Santoso (2008: 90-91) adalah sebagai berikut :
a. Berpusat pada siswa
Pembelajaran tematik berpusat pada siswa (student centered), hal ini sesuai dengan pendekatan belajar modern yang lebih banyak menempatkan siswa sebagai subjek belajar, sedangkan guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator yaitu memberikan kemudahan-kemudahan kepada siswa untuk melakukan aktivitas belajar.
b. Memberikan pengalaman langsung
Pembelajaran tematik dapat memberikan pengalaman langsung kepada siswa (direct experiences). Dengan pengalaman langsung ini, siswa dihadapkan pada sesuatu yang nyata (konkret) sebagai dasar untuk memahami hal-hal yang lebih abstrak.
c. Pemisahan mata pelajaran tidak begitu jelas
Dalam pembelajaran tematik pemisahan antarmata pelajaran menjadi tidak begitu jelas. Fokus pembelajaran diarahkan kepada pembahasan tema-tema yang paling dekat berkaitan dengan kehidupan siswa.
d. Menyajikan konsep dari berbagai mata pelajaran
Pembelajaran tematik menyajikan konsep-konsep dari berbagai mata pelajaran dalam suatu proses pembelajaran. Dengan demikian, Siswa mampu memahami konsep-konsep tersebut secara utuh. Hal ini diperlukan untuk membantu siswa dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari.
e. Bersifat fleksibel
Pembelajaran tematik bersifat luwes (fleksibel), di mana guru dapat mengaitkan bahan ajar dari satu mata pelajaran dengan mata pelajaran yang lainnya, bahkan mengaitkannya dengan kehidupan siswa dan keadaan lingkungan di mana sekolah dan siswa berada.
f. Hasil pembelajaran sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa
Siswa diberi kesempatan untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya sesuai dengan minat dan kebutuhannya.
g. Menggunakan prinsip belajar sambil bermain dan menyenangkan.

Keuntungan pembelajaran tematik bagi guru antara lain adalah sebagai berikut:
1. Tersedia waktu lebih banyak untuk pembelajaran. Materi pelajaran tidak dibatasi oleh jam pelajaran, melainkan dapat dilanjutkan sepanjang hari, mencakup berbagai mata pelajaran.
2. Hubungan antar mata pelajaran dan topik dapat diajarkan secara logis dan alami.
3. Dapat ditunjukkan bahwa belajar merupakan kegiatan yang kontinyu, tidak terbatas pada buku paket, jam pelajaran, atau bahkan empat dinding kelas.
4. Guru dapat membantu siswa memperluas kesempatan belajar ke berbgai aspek kehidupan. Guru bebas membantu siswa melihat masalah, situasi, atau topik dari berbagai sudut pandang.
5. Pengembangan masyarakat belajar terfasilitasi. Penekanan pada kompetisi bisa dikurangi dan diganti dengan kerja sama dan kolaborasi.

Keuntungan pembelajaran tematik bagi siswa antara lain adalah sebagai berikut:
1. Bisa lebih memfokuskan diri pada proses belajar, daripada hasil belajar.
2. Menghilangkan batas semu antar bagian-bagian kurikulum dan menyediakan pendekatan proses belajar yang integratif.
3. Menyediakan kurikulum yang berpusat pada siswa – yang dikaitkan dengan minat, kebutuhan, dan kecerdasan; mereka didorong untuk membuat keputusan sendiri dan bertanggung jawab pada keberhasilan belajar.
4. Merangsang penemuan dan penyelidikan mandiri di dalam dan di luar kelas.
5. Membantu siswa membangun hubungan antara konsep dan ide, sehingga meningkatkan apresiasi dan pemahaman.

B. Pembelajaran Kontekstual (CTL, Contextual Teaching and Learning)
Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang dimulai dengan sajian atau tanya jawab lisan (ramah, terbuka, negosiasi) yang terkait dengan dunia nyata kehidupan siswa (daily life modeling), sehingga akan terasa manfaat dari materi yang akan disajkan, motivasi belajar muncul, dunia pikiran siswa menjadi konkret, dan suasana menjadi kondusif – nyaman dan menyenangkan. (Lutfizulfi: 2008, http://lutfizulfi.wordpress.com)
Pembelajaran kontektual (Contextual Teaching and Learning /CTL) menurut Nurhadi (dalam Surtikanti: 2008) adalah konsep belajar yang mendorong guru untuk menghubungkan antara materi yang diajarkan dan situasi dunia nyata siswa. Menurut Johnson (dalam Surtikanti: 2008) tiga pilar dalam CTL yaitu:
1) CTL mencerminkan prinsip-prinsip saling ketergantungan.
2) CTL mencerminkan prinsip diferensiasi
3) CTL mencerminkan prinsip pengorganisasian diri.

Ada tujuh indokator pembelajarn kontekstual sehingga bisa dibedakan dengan model lainnya, yaitu :
1. Modeling (pemusatan perhatian, motivasi, penyampaian kompetensi-tujuan, pengarahan-petunjuk, rambu-rambu, contoh)
2. Questioning (eksplorasi, membimbing, menuntun, mengarahkan, mengembangkan, evaluasi, inkuiri, generalisasi)
3. Learning community (seluruh siswa partisipatif dalam belajar kelompok atau individual, minds-on, hands-on, mencoba, mengerjakan)
4. Inquiry (identifikasi, investigasi, hipotesis, konjektur, generalisasi, menemukan)
5. Constructivism (membangun pemahaman sendiri, mengkonstruksi konsep-aturan, analisis-sintesis)
6. Reflection (reviu, rangkuman, tindak lanjut)
7. Authentic assessment (penilaian selama proses dan sesudah pembelajaran, penilaian terhadap setiap aktvitas-usaha siswa, penilaian portofolio, penilaian seobjektif-objektifnya darei berbagai aspek dengan berbagai cara)

Inovasi Pendidikan (11)

BAB XI
PROGRAM PENGEMBANGAN MUATAN LOKAL


Latar Belakang
Latar belakang adanya pengembangan muatan lokal antara lain: (1) otonomi daerah, (2) desentralisasi, (3) multikultural, (4) pendidikan di sekolah perlu memberikan wawasan yang luas pada peserta didik tentang kekhususan yang ada di lingkungannya, dan (5) Kurikulum harus dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat dan menunjang kelestariaanya. Pengembangan muatan lokal mengacu pada kondisi daerah dan kebutuhan daerah. Kondisi daerah berkaitan dengan lingkungan alam,lingkungan sosial ekonomi, dan lingkungan sosial budaya yang selalu berkembang. Kebutuhan daerah yaitu segala sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat, khususnya untuk kelangsungan hidup dan peningkatan taraf kehidupan masyarakat yang disesuaikan dengan arah perkembangan dan potensi yang ada di daerah.

Penyusunan Muatan Lokal
Dalam penyusunan muatan lokal mengacu pada rambu-rambu berikut ini (Depdiknas – Dit. Pembinaan SMA: 2009) :
1. Materi pembelajaran disesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta didik (pengetahuan dan cara berpikir, emosional, dan sosial).
2. Pelaksanaan Mulok tidak mengganggu pelaksanaan komponen mata pelajaran (komponen A dalam struktur kurikulum).
3. Kegiatan pembelajaran diatur sedemikian rupa agar tidak memberatkan peserta didik, oleh karena itu dalam pelaksanaan Mulok diharapkan tidak ada pekerjaan rumah (PR).
4. Program pembelajaran dikembangkan dengan melihat kedekatan secara fisik dan secara psikis.
5. Bahan pembelajaran disusun berdasarkan prinsip (1) bertitik tolak dari hal-hal konkret ke abstrak; (2) dikembangkan dari yang diketahui ke yang belum diketahui; (3) dari pengalaman lama ke pengalaman baru; (4) dari yang mudah/sederhana ke yang lebih sukar/rumit.
6. Bahan pembelajaran bermakna bagi peserta didik dan dapat membantu peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.
7. Kompetensi dan materi pembelajaran hendaknya memberikan keluwesan bagi pendidik dalam memilih metode mengajar dan sumber belajar;
8. Pendidik hendaknya dapat memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan peserta didik aktif dalam proses pembelajaran baik secara mental, fisik, maupun sosial.
9. Materi pembelajaran muatan lokal harus bersifat utuh dalam arti mengacu kepada suatu tujuan pembelajaran yang jelas dan memberi makna kepada peserta didik;
10. Muatan Lokal tertentu tidak harus secara terus-menerus diajarkan mulai dari kelas X s.d. XII. Muatan Lokal dapat disusun dan diajarkan hanya dalam jangka waktu satu semester atau dua semester/satu tahun pembelajaran
11. Alokasi waktu pembelajaran Muatan Lokal minimal 2 jam perminggu.

Pihak-pihak yang terlibat dalam Pengembangan Muatan Lokal
1. Tim Pengembang Kurikulum Sekolah;
2. Tim Pengembang Kurikulum Provinsi/Kabupaten/ Kota;
3. LPMP;
4. LPTK dan atau Perguruan Tinggi;
5. Instansi/lembaga di luar Dinas, misalnya:
a. Pemerintah Daerah;
b. Dinas lain yang terkait;
c. Dunia Usaha/Industri;
6. Tokoh Masyarakat.

Penilaian pencapaian Standar Kompetensi maupun Kompetensi Dasar dilakukan berdasarkan indikator, menggunakan tes dan non tes dalam bentuk tertulis maupun lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya, projek, produk, portofolio, dan penilaian diri, sesuai dengan jenis mulok yang dilaksanakan.

Inovasi Pendidikan (10)

BAB X
KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN


Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh sebab itu kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah. Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang beragam mengacu pada standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Dua dari kedelapan standar nasional pendidikan tersebut, yaitu Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum. (BSNP: 2006)
KTSP disusun dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut (BSNP: 2006):
1. Peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia
2. Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik
3. Keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan
4. Tuntutan pembangunan daerah dan nacional
5. Tuntutan dunia kerja
6. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
7. Agama
8. Dinamika perkembangan global
9. Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan
10. Kondisi sosial budaya masyarakat setempat
11. Kesetaraan Jender
12. Karakteristik satuan pendidikan
Mekanisme Penyusunan KTSP
1. Tim Penyusun
Tim penyusun KTSP pada SD, SMP, SMA dan SMK terdiri atas guru, konselor, dan kepala sekolah sebagai ketua merangkap anggota. Di dalam kegiatan tim penyusun melibatkan komite sekolah, dan nara sumber, serta pihak lain yang terkait. di Supervisi dilakukan oleh dinas yang bertanggung jawab di bidang pendidikan tingkat kabupaten/kota untuk SD dan SMP dan tingkat provinsi untuk SMA dan SMK. Tim penyusun kurikulum tingkat satuan pendidikan MI, MTs, MA dan MAK terdiri atas guru, konselor, dan kepala madrasah sebagai ketua merangkap anggota. Di dalam kegiatan tim penyusun melibatkan komite sekolah, dan nara sumber, serta pihak lain yang terkait. Supervisi dilakukan oleh departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama. Tim penyusun kurikulum tingkat satuan pendidikan khusus (SDLB,SMPLB, dan SMALB) terdiri atas guru, konselor, kepala sekolah sebagai ketua merangkap anggota.
2. Kegiatan
Penyusunan KTSP merupakan bagian dari kegiatan perencanaan sekolah/madrasah. Kegiatan ini dapat berbentuk rapat kerja dan/atau lokakarya sekolah/madrasah dan/atau kelompok sekolah/madrasah yang diselenggarakan dalam jangka waktu sebelum tahun pelajaran baru. Tahap kegiatan penyusunan KTSP secara garis besar meliputi: penyiapan dan penyusunan draf, reviu dan revisi, serta finalisasi, pemantapan dan penilaian.
3. Pemberlakuan
Dokumen KTSP pada SD, SMP, SMA, dan SMK dinyatakan berlaku oleh kepala sekolah setelah mendapat pertimbangan dari komite sekolah dan diketahui oleh dinas tingkat kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang pendidikan untuk SD dan SMP, dan tingkat propinsi untuk SMA dan SMK. Dokumen KTSP pada MI, MTs, MA, dan MAK dinyatakan berlaku oleh kepala madrasah setelah mendapat pertimbangan dari komite madrasah dan diketahui oleh departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama. Dokumen kurikulum tingkat satuan pendidikan SDLB, SMPLB, dan SMALB dinyatakan berlaku oleh kepala sekolah serta mendapat pertimbangan dari komite sekolah dan diketahui dinas provinsi yang bertanggung jawab di bidang pendidikan.

Inovasi Pendidikan (9)

BAB IX
INOVASI DI BIDANG PEMBELAJARAN


Salah satu dampak dari diterapkannya Kebijakan Otonomi Daerah adalah juga otonomi di bidang pendidikan yang berwujud pada pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) sesuai dengan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bersamaan dengan itu, telah dikeluarkan PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yang kemudian diikuti oleh suatu aturan operasional melalui Permendiknas no. 22, 23, dan 24 tahun 2006, tentang Standar Isi (SI), Standar Kompetensi Lulusan (SKL), dan pelaksanaan SI dan SKL, yang mana telah memberikan wewenang kepada daerah –dalam hal ini sekolah sebagai unit terkecil dalam Sistem Pendidikan Nasional– untuk mengembangkan sendiri kurikulum sesuai dengan kondisi dan kebutuhan setempat.
Implementasi Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan di tiap satuan pendidikan (sekolah) masing-masing berbeda. Dalam hal pembelajaran, tiap satuan pendidikan bahkan tiap guru diberikan kebebasan untuk melakukan inovasi dengan tetap berorientasi pada tujuan yang sudah ditetapkan dan berpedoman pada kurikulum yang sudah dibuat. Inovasi pembelajaran mampu membawa perubahan belajar bagi peserta didik. Melalui inovasi pembelajaran maka suasana pembelajaran yang menyenangkan, bersemangat, bermakna, berkesan, mengembangkan, melejitkan kemampuan, potensi,kecerdasan, bakat minat peserta didik. Sebab itu guru wajib melaksanakan inovasi pembelajaran.
Guru perlu mengadakan inovasi pembelajaran berupa penggunaan multi; metode, strategi, model, interaksi, bimbingan dalam pembelajaran. Guru perlu menggunakan beberapa model pembelajaran untuk menghadapi segala situasi-kondisi, sifat materi bahan ajar, fasilitas-media yang tersedia, dan kondisi guru itu sendiri. Beberapa model inovasi pembelajaran adalah sebagai berikut.
• Koperatif (CL, Cooperative Learning). Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang dimulai dengan sajian atau tanya jawab lisan (ramah, terbuka, negosiasi) yang terkait dengan dunia nyata kehidupan siswa (daily life modeling), sehingga akan terasa manfaat dari materi yang akan disajkan, motivasi belajar muncul, dunia pikiran siswa menjadi konkret, dan suasana menjadi kondusif – nyaman dan menyenangkan. Prinsip pembelajaran kontekstual adalah aktivitas siswa, siswa melakukan dan mengalami, tidak hanya menonton dan mencatat, dan pengembangan kemampuan sosialisasi.
• Realistik (RME, Realistic Mathematics Education). RME dikembangkan oleh Freud di Belanda dengan pola guided reinvention dalam mengkontruksi konsep-aturan melalui process of mathematization, yaitu matematika horizontal (tools, fakta, konsep, prinsip, algoritma, aturan uantuk digunakan dalam menyelesaikan persoalan, proses dunia empirik) dan vertikal (reoorganisasi matematik melalui proses dalam dunia rasio, pengembangan mateastika).
• Pembelajaran Langsung (DL, Direct Learning). Pengetahuan yang bersifat informasi dan prosedural yang menjurus pada ketrampilan dasar akan lebih efektif jika disampaikan dengan cara pembelajaran langsung. Sintaknya adalah menyiapkan siswa, sajian informasi dan prosedur, latihan terbimbing, refleksi, latihan mandiri, dan evaluasi. Cara ini sering disebut dengan metode ceramah atau ekspositori (ceramah bervariasi).
• Pembelajaran Berbasis masalah (PBL, Problem Based Learning)
Kehidupan adalah identik dengan menghadapi masalah. Model pembelajaran ini melatih dan mengembangkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang berorientasi pada masalah otentik dari kehidupan aktual siswa, untuk merangsang kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kondisi yang tetap harus dipelihara adalah suasana kondusif, terbuka, negosiasi, demokratis, suasana nyaman dan menyenangkan agar siswa dapat berpikir optimal.
• Problem Terbuka (OE, Open Ended). Pembelajaran dengan problem (masalah) terbuka artinya pembelajaran yang menyajikan permasalahan dengan pemecahan berbagai cara (flexibility) dan solusinya juga bisa beragam (multi jawab, fluency).
• Probing-prompting
Teknik probing-prompting adalah pembelajaran dengan cara guru menyajikan serangkaian pertanyaan yang sifatnya menuntun dan menggali sehingga terjadi proses berpikir yang mengaitkan pengetahuan tiap siswa dan pengalamannya dengan pengetahuan baru yang sedang dipelajari. Selanjutnya siswa mengkonstruksi konsep-prinsip-aturan menjadi pengetahuan baru, dengan demikian pengetahuan baru tidak diberitahukan.
• SAVI. Pembelajaran SAVI adalah pembelajaran yang menekankan bahwa belajar haruslah memanfaatkan semua alat indra yang dimiliki siswa. Istilah SAVI sendiri adalah kependekan dari: Somatic yang bermakna gerakan tubuh (hands-on, aktivitas fisik) belajar dengan mengalami dan melakukan; Auditory yang bermakna bahwa belajar haruslah dengan melalui mendengarkan, menyimak, berbicara, presentasi, argumentasi, mengemukakan penndepat, dan menanggapi; Visualization yang bermakna belajar haruslah menggunakan indra mata melallui mengamati, menggambar, mendemonstrasikan, membaca, menggunbakan media dan alat peraga; dan Intellectualy yang bermakna bahwa belajar haruslah menggunakan kemampuan berpikir (minds-on) belajar haruslah dengan konsentrasi pikiran dan berlatih menggunakannya melalui bernalar, menyelidiki, mengidentifikasi, menemukan, mencipta, mengkonstruksi, memecahkan masalah, dan menerapkan.

Inovasi Pendidikan (8)

BAB VIII
PENGEMBANGAN PROFESI GURU


Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Untuk menjamin perluasan dan pemerataan akses, peningkatan mutu dan relevansi, serta tata pemerintahan yang baik dan akuntabilitas pendidikan yang mampu menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global perlu dilakukan pemberdayaan dan peningkatan mutu guru dan dosen secara terencana, terarah, dan berkesinambungan; bahwa guru dan dosen mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat strategis dalam pembangunan nasional dalam bidang pendidikan, sehingga perlu dikembangkan sebagai profesi yang bermartabat. Pemberdayaan profesi guru atau pemberdayaan profesi dosen diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa, dan kode etik profesi.
Tentang profesi guru diatur dalam Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat. Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah. Sertifikasi pendidik dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel. Setiap orang yang telah memperoleh sertifikat pendidik memiliki kesempatan yang sama untuk diangkat menjadi guru pada satuan pendidikan tertentu. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik bagi guru dalam jabatan yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Dalam Permendiknas nomor 10 tahun 2009 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan dijelaskan mekanisme proses sertifikasi guru. Sertifikasi bagi guru dalam jabatan adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru yang bertugas sebagai guru kelas, guru mata pelajaran, guru bimbingan dan konseling atau konselor, dan guru yang diangkat dalam jabatan pengawas satuan pendidikan. Sertifikasi diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional.
Sertifikasi bagi guru dalam jabatan dilaksanakan melalui:
a. Uji kompetensi untuk memperoleh sertifikat pendidik;
b. Pemberian sertifikat pendidik secara langsung.
Uji kompetensi dapat diikuti oleh guru dalam jabatan yang:
a. Memiliki kualifikasi akademik sarjana (S-1) atau diploma empat (D-IV);
b. belum memenuhi kualifikasi akademik S-1 atau D-IV apabila sudah:
1) mencapai usia 50 tahun dan mempunyai pengalaman kerja 20 tahun sebagai guru; atau
2) mempunyai golongan IV/a, atau yang memenuhi angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV/a.
3) Uji kompetensi dilakukan dalam bentuk penilaian portofolio.
4) Penilaian portofolio merupakan pengakuan atas pengalaman profesional guru dalam bentuk penilaian terhadap kumpulan dokumen yang mendeskripsikan:
a. kualifikasi akademik;
b. pendidikan dan pelatihan;
c. pengalaman mengajar;
d. perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran;
e. penilaian dari atasan dan pengawas;
f. prestasi akademik;
g. karya pengembangan profesi;
h. keikutsertaan dalam forum ilmiah;
i. pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial; dan
j. penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
5) Dokumen portofolio bagi guru bimbingan dan konseling atau konselor dan guru yang diangkat dalam jabatan pengawas satuan pendidikan disesuaikan dengan bidang tugasnya.
6) Guru dalam jabatan yang lulus penilaian portofolio mendapat sertifikat pendidik.
7) Guru dalam jabatan yang tidak lulus penilaian portofolio dapat:
a. melengkapi dokumen portofolio agar mencapai nilai lulus; atau
b. mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi guru yang diakhiri dengan ujian sesuai persyaratan yang ditentukan oleh perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi.
8) Ujian mencakup kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.
9) Guru dalam jabatan yang lulus pendidikan dan pelatihan profesi guru mendapat sertifikat pendidik.
10) Guru dalam jabatan yang belum lulus pendidikan dan pelatihan profesi guru diberi kesempatan untuk mengulang ujian.

Pelaksanaan sertifikasi guru dalam jabatan mengacu pada pedoman sertifikasi guru dalam jabatan yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Sertifikasi bagi guru dalam jabatan dan guru yang diangkat dalam jabatan pengawas yang belum memenuhi kualifikasi akademik S-1 atau D-IV.

Penulisan Karya Ilmiah sebagai Sarana Pengembangan Profesi Guru
Lingkup kegiatan guru meliputi : (1) mengikuti pendidikan, (2) menangani proses pembelajaran, (3) melakukan kegiatan pengembangan profesi dan (4) melakukan kegiatan penunjang. Kegiatan pengembangan profesi guru adalah kegiatan guru dalam rangka penerapan dan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan keterampilan untuk meningkatkan mutu proses pembelajaran dalam rangka menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi pendidikan pada umumnya maupun lingkup sekolah pada khususnya. Tujuan kegiatan pengembangan profesi guru adalah untuk meningkatkan mutu guru agar guru lebih profesional dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya. (Syamsi, tanpa tahun)
Kegiatan Pengembangan Profesi Guru
1. Melakukan kegiatan karya tulis/karya ilmiah (KTI) di bidang pendidikan,
2. Membuat alat pelajaran/alat peraga atau alat bimbingan,
3. Menciptakan karya seni,
4. Menemukan teknologi tepat guna di bidang pendidikan, dan
5. Mengikuti kegiatan pengembangan kurikulum.

Ruang Lingkup Kegiatan Karya Tulis Ilmiah Guru
1. Karya ilmiah hasil penelitian, pengkajian, survei dan atau evaluasi di bidang pendidikan,
2. Karya tulis berupa tinjauan atau ulasan ilmiah gagasan sendiri dalam bidang pendidikan,
3. Tulisan ilmiah populer,
4. Prasaran dalam pertemuan ilmiah,
5. Buku pelajaran,
6. Diktat pelajaran, dan
7. Karya alih bahasa atau karya terjemahan.

Inovasi Pendidikan (7)

BAB VII
KEBIJAKAN DALAM INOVASI PENDIDIKAN


A. Standar Nasional Pendidikan
Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. (http://bsnp-indonesia.org/id)
Standar Nasional Pendidikan terdiri dari :
• Standar Kompetensi Lulusan
• Standar Isi
• Standar Proses
• Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan
• Standar Sarana dan Prasarana
• Standar Pengelolaan
• Standar Pembiayaan Pendidikan
• Standar Penilaian Pendidikan
Fungsi dan Tujuan Standar :
• Standar Nasional Pendidikan berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu
• Standar Nasional Pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
• Standar Nasional Pendidikan disempurnakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.

B. Program Akselerasi
Anak berbakat adalah mereka yang oleh orang-orang profesional diidentifikasikan sebagai anak yang mampu mencapai prestasi tinggi karena memiliki kemampuan-kemampuan yang unggul. Anak berbakat memerlukan program pendidikan yang berdiferensiasi dan pelayanan di luar program sekolah luar biasa agar dapat merealisasikan sumbangan mereka terhadap masyarakat maupun terhadap diri sendiri. (http://www.sman1-mlg.sch.id)
Tujuan Umum
1. Memenuhi kebutuhan siswa yang memiliki karakteristik spesifik dari segi perkembangan kognitif dan efektifnya.
2. Memenuhi hak asasi siswa yang sesuai dengan kebutuhan untuk dirinya sendiri.
3. Memenuhi minat intelektual dan perspektif masa depan siswa.
4. Memenuhi kebutuhan aktualisasi diri siswa.
5. Menimbang peran siswa sebagai aset masyarakat dan kebutuhan masyarakat untuk pengisian peran.
6. Menyiapkan siswa sebagai pemimpin masa depan.

Tujuan Khusus
1. Memberikan penghargaan untuk dapat menyeselesaikan program pendidikan secara lebih cepat
2. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses pembelajaran siswa
3. Mencegah rasa bosan terhadap iklim kelas yang kurang mendukung berkembangnya potensi keunggulan siswa secara optimal
4. Memacu mutu siswa untuk meningkatkan kecerdasan spiritual, intelektual, dan emosionalnya secara berimbang.

C. Sekolah Berstandar Internasional
Sekolah Berstandar Internasional (SBI) adalah sekolah nasional yang menyiapkan peserta didik berbasis Standar Nasional Pendidikan (SNP) Indonesia berkualitas Internasional dan lulusannya berdaya saing Internasional (http://smkn2ktp-kalbar.blogspot.com).
Karakteristik SBI :
1. Menerapkan KTSP yang dikembangkan dari standart isi, standart kompetensi kelulusan dan kompetensi dasar yang diperkaya dengan muatan Internasional.
2. Menerapkan proses pembelajaran dalam Bahasa Inggris, minimal untuk mata pelajaran MIPA dan Bahasa Inggris.
3. Mengadopsi buku teks yang dipakai SBI (negara maju).
4. Menerapkan standar kelulusan yang lebih tinggi dari standar kompetensi lulusan (SKL) yang ada di dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP).
5. Pendidik dan tenaga kependidikan memenuhi standart kompetensi yang ditentukan dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP).
6. Sarana/prasarana memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP).
7. Penilaian memenuhi standar nasional dan Internasional.

Visi dan Misi SBI
Visi SBI dirancang agar memnuhi tiga indikator,yaitu:
1. Mencirikan wawasan kebangsaan,
2. Memberdayakan seluruh potensi kecerdasan (multiple inteligencies)
3. Meningkatkan daya saing global

Misi SBI merupakan jabaran visi SBI yang dirancang untuk dijadikan referensi dalam menyusun/mengembangkan rencana program kegiatan, indikator untuk menuyun misi ini terangkum pada akronim SMART:
1. Specific
2. Measurable (terukur)
3. Achievable (dapat dicapai)
4. Realistis
5. Time Bound (jelas jangkauan waktunya)

Inovasi Pendidikan (6)

BAB VI
JARINGAN INTERNET SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN


Internet memberikan kontribusi yang sangat besar didalam membantu setiap dimensi yang ada untuk selalu mendapatkan informasi yang up to date. Dengan demikian dalam dunia pendidikan, berkat adanya jaringan internet, maka dapat membantu setiap penyedia jasa pendidikan untuk selalu mendapat informasi-informasi yang terkini dan sesuai dengan kebutuhan. Setelah melaksanakan pembelajaran memanfaatkan internet ternyata terdapat beberapa pengaruh / dampak yang positif pada minat siswa, tingkat pemahaman, kemampuan berfikir ilmiah dan spontanitas pemahaman.
Media pembelajaran adalah sebuah alat yang berfungsi untuk menyampaikan pesan pembelajaran. Media pembelajaran yang baik harus memenuhi beberapa syarat. Media pembelajaran harus meningkatkan motivasi pembelajar. Penggunaan media mempunyai tujuan memberikan motivasi kepada pembelajar. Selain itu media juga harus merangsang pembelajar mengingat apa yang sudah dipelajari selain memberikan rangsangan belajar baru. Media yang baik juga akan mengaktifkan pembelajar dalam memberikan tanggapan, umpan balik dan juga mendorong mahasiswa untuk melakukan praktek-praktek dengan benar.
Ada beberapa kriteria untuk menilai keefektifan sebuah media. Kriteria pertamanya adalah biaya. Biaya memang harus dinilai dengan hasil yang akan dicapai dengan penggunaan media itu. Kriteria lainnya adalah ketersedian fasilitas pendukung seperti listrik, kecocokan dengan ukuran kelas, keringkasan, kemampuan untuk dirubah, waktu dan tenaga penyiapan, pengaruh yang ditimbulkan, kerumitan dan yang terakhir adalah kegunaan. Semakin banyak tujuan pembelajaran yang bisa dibantu dengan sebuah media semakin baiklah media itu.

Restrukturisasi Kelas Berbasis Teknologi
Pembelajaran tidak hanya terpaku pada kegiatan yang lebih dari hanya berbicara dan transfer pengetahuan, seiring dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi dilklat mencari bentuk baru dalam proses pembelajaran anak. Pembelajaran yang dimaksudkan adalah perkembangan teknologi dimasa kini dan mendatang murid butuh untuk persiapan dirinya trutama kaitanyya dengan pengembangan projeck-projeck yang haerus dikerjakan baik secara individual maupun kelompok. Hal ini tentunya mendorong guru untuk lebih bertindak sebagai coaching dari pada hanya sekedar telling dan spending ilmu pengetahuan.
Pemanfaatan teknologi informasi adalah basis dalam pengembangan pembelajaran di dalam kelas, baik dalam pengaturan kelas dengan alat teknologi tersebut (praktek), maupun kelas yang di sett dengan alat teknologi yang memungkinkan anak dapat mempelajari apa yang diinginkannya dengan bantuan alat teknologi tersebut. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa teknologi memberikan dan nenuntut hal-hal berikut (http://inovasipendidikan.wordpress.com) :
1. Menuntut guru melakukan pekerjaan dan alat yang lebih rumit;
2. Mengarah kepada peran guru sebagai pelatih dari pada sebagai penyalur pengetahuan;
3. Menyediakan kesempatan kepada guru untuk mempelajarai isi pembelajaran kembali dan menggunakan metode yang tepat berdasarkan kurikulum yang ada.
4. Dapat memberikan dorongan kepada murid untuk bekerja lebih keras dan lebih berhati-hati dalam belajar;
5. Membangun budaya nilai dan mutu pekerjaan dalam diklat secara signifikan.

Pentingnya Guru yang Inovatif dalam Restrukturisai Kelas Berbasis Teknologi
Setiap guru menghendaki muridnya dapat belajar dan sukses dalam belajarnya. Keberhasilan dalam belajar murid akan bergantung kepada usaha-usaha guru memberikan arahan dan memberikan bantuan dalam kegiatan belajar tersebut. Dengan perbedaan yang dimiliki oleh murid teknologi memungkinkan secara individual projek-projek perorangan dapat dilakukan dengan maksimal, tentunya dengan bantuan dan dorongan dari guru.
Guru yang inovatif sangat dibutuhkan dalam memanfaatkan teknologi sebagai alat bantu dalam pembelajaran yang akan dilakukannya, dimulai dari kegiatan merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran sampai kepada penilaian hasil belajar akan membutuhkan energi yang tinggi. Oleh karena itu orang kreatif itu akan mudah dalam menemukan inovasi-inovasi yang memungkinkan kegiatan pembelajarannya lebih cepat, lebih berhasil, dan lebih bermanfaat bagi murid.

Kelebihan dan Kelemahan Penggunaan Jaringan Internet sebagai Media Pembelajaran
Ada beberapa keuntungan jikalau kita menggunakan internet sebagai media pembelajaran dalam pendidikan (Supardi: 2008):
1. Frekuensi tatap muka bukan lagi menjadi suatu kebutuhan yang mutlak, namun hal ini bisa diatasi dengan penyediaan bahan-bahan pengajaran yang dapat langsung diakses melalui internet.
2. Peserta didik dapat langsung mendapatkan bahan-bahan yang selalu up-to date.
3. Peserta didik dapat memperkaya bahan-bahan yang ada dengan melakukan pencaharian di internet.

Manfaat internet pada dasarnya tidak terlepas dari kekurangan-kekurangan yang ada. Hal ini sangat tergantung pada institusi pendidikan, apalagi jikalau metode ini dipergunakan maka akan berimplikasi pada : 1) ketersediaan sarana pendukung yang harus menunjang; 2) ketersediaan jaringan internet yang memadai; 3) serta perlu pula didukung oleh tingkat kecepatan yang memadai. Menurut Soekartawi ( dalam Supardi: 2008), menyatakan bahwa kelemahan penggunaan internet adalah :
1. Kurangnya interaksi antara guru dan siswa atau bahkan antar siswa itu sendiri. Kurangnya interaksi ini bisa memperlambat terbentuknya values dalam proses belajar dan mengajar;
2. Kecenderungan mengabaikan aspek akademik atau aspek sosial dan sebaliknya mendorong tumbuhnya aspek bisnis/komersial;
3. Proses belajar dan mengajarnya cenderung ke arah pelatihan daripada pendidikan;
4. Berubahnya peran guru dari yang semula menguasai teknik pembelajaran konvensional, kini juga dituntut mengetahui teknik pembelajaran yang menggunakan ICT;
5. Siswa yang tidak mempunyai motivasi belajar yang tinggi cenderung gagal;
6. Tidak semua tempat tersedia fasilitas internet (mungkin hal ini berkaitan dengan masalah tersedianya listrik, telepon ataupun komputer);
7. Kurangnya tenaga yang mengetahui.

Hal-hal yang harus Diperhatikan dalam Restrukturisasi Kelas Berasis Teknologi
Beberapa hal yang perlu ada dalam teknologi yang kita gunakan adalah :
1. Teknologi itu bisa menyediakan informasi.
2. Membangun pengetahuan dan keterampilan murid.
3. Bisa mengakses sumber belajar lainnya.
Guru berkepentingan untuk memilih dan menetukan teknologi yang digunakan terutama kaitannya dengan kepentingan spesifikasi kegiatan belajar yang harus dilakukan oleh siswa dan hasil yang diharapkan. Implikasinya bagi guru dalam pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran adalah memperlancar kegiatan dan memudahkan dalam proses pembelajaran karena sebagai berikut :
1. Menuntut banyak kegiatan dari siswa dan menuntut murid untuk bnyak berhati-hati untuk menyiapkan pekerjaanya.
2. Dapat menyajikan bahan ajar yang komplek.
3. Mempercayai murid dapat memahami konsep-konsep yang berat.
4. Dapat mempertemukan kebutuhan individual murid yang paling baik.
5. Dapat lebih memokuskan pada kegiatan murid sebagai senter dalam proses pembelajaraannya.
6. Membuka lebih luas perbedaan-perbedaan individual dan permasalahan-permasalahan yang muncul dalam pembelajaran.
7. Membuka kesempatan yang lebih luas dalam perbedaan pengalaman belajar bagi murid.
8. Merasa lebih professional, karena diantara alat yang ada dapat mengurangi waktu dalam memberikan instruksi dan lebih kepada membantu anak dalam belajar.

Inovasi Pendidikan (5)

BAB V
MANAJEMEN DAN KEGAGALAN INOVASI PENDIDIKAN


Perbaikan manajeman pendidikan diarahkan untuk lebih memberdayakan sekolah sebagai unit pelaksanaan terdepan dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah. Hal ini dimaksudkan agar sekolah lebih mandiri dan bersikap kreatif, dapat mengembangkan iklim kompetitif antar sekolah di wilayahnya, serta bertanggung jawab terhadap stakeholder pendidikan, khususnya orang dan masyarakat yang diera otonomi ini akan menjadi dewan sekolah (school coouncil). Dalam pelaksanaannya, manajemen pendidikan harus lebih terbuka, accountable (dapat mempertanggungjawabkan semua program kegiatannya), mengoptimalkan partisipasi orang tua dan masyarakat, serta dapat mengelola semua sumber daya yang tersedia disekolah dan lingkungannya untuk digunakan seluas-luasnya bagi peningkatan prestasi siswa dan mutu pendidikan pada umumnya.

Faktor Penunjang Inovasi
Inovasi dapat ditunjang oleh beberapa faktor pendukung seperti (Saputra: 2009, dalam http://h210189.blog.binusian.org):
1. Adanya keinginan untuk merubah diri, dari tidak bisa menjadi bisa dan dari tidak tahu menjadi tahu.
2. Adanya kebebasan untuk berekspresi
3. Adanya pembimbing yang berwawasan luas dan kreaktif
4. Tersedianya sarana dan prasarana
5. Kondisi lingkungan yang harmonis, baik lingkungan keluarga, pergaulan, maupun sekolah.

Ciri-ciri manusia kreaktif dan inovatif biasanya tercermin dari tingkah laku sehari-hari antara lain sebagai berikut :
 Disiplin dalam bertindak
 Umumnya taat pada aturan hukum
 Selalu bersemangat
 Cerdas dan cerdik
 Mempunyai kelebihan dalam kekuatan fisik, artinya dapat melakukan pekerjaan berjam – jam lamanya.
 Menonjol dalam kemandirian
 Berani menanggung resiko
 Mempunyai daya imajinasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan teman sebayanya.

Faktor Penyebab Kegagalan Inovasi
Faktor penyebab kegagalan inovasi adalah sebagai berikut (Saputra: 2009, dalam http://h210189.blog.binusian.org) :
1. Posisi yang tidak kompetitif
2. Andaian pasaran yang tidak tepat
a. Salah andaian tentang pasaran dan pengguna
b. Salah andaian tentang pesaing
c. Salah kiraan dalam kos pengeluaran
3. Prestasi teknikal yang terhadang
a. Kegagalan teknikal yang disebabkan oleh proses pembangunan prototype yang tidak realistik
b. Kelemahan teknikal
4. Kepakaran pengeluaran yang terhadang
a. Teknologi pemrosesan yang lemah
b. Pengeluaran yang tinggi
5. Sumber kewenangan yang tidak mencukupi

Kegagalan inovasi mengakibatkan hilangnya sejumlah nilai investasi, menurunkan moral pekerja, meningkatkan sikap sinis, atau penolakan produk serupa dimaa datang. Padahal produk yang gagal seringkali memiliki potensis ebagai ide yang baik, penolakan terjadi karena kurangnya modal, keahlian yang kurang, atau produk tidak sesuai kebutuhan pasar. Kegagalan harus diidentifikasi dan diselesksi ketika proses berlangsung. Penyeleksian dini memungkinkan kita dapat menghindari uji coba ide yang tidak cocok dengan bahan baku, sehingga dapat menghemat biaya produksi.

Inovasi Pendidikan (4)

BAB IV
TUJUAN DAN SIKLUS INOVASI PENDIDIKAN


A. Tujuan Inovasi Pendidikan
Ada banyak tujuan inovasi tergantung permasalahan yang dihadapi masing-masing inovator. Secara umum tujuan inovasi antara lain adalah (http://inovasipendidikan.wordpress.com) :
• Meningkatkan kualitas;
• Menciptakan pasar baru;
• Memperluas jangkauan produk;
• Mengurangi biaya tenaga kerja;
• Meningkatkan proses produksi;
• Mengurangi bahan baku;
• Mengurangi kerusakan lingkungan;
• Mengganti produk atau pelayanan;
• Mengurangi konsumsi energi;
• Menyesuaikan diri dengan undang-undang.

Tujuan dilakukannya inovasi pendidikan terutama adalah untuk meningkatkan efesiensi, relevansi, kualitas dan efektivitas pendidikan, seperti sarana dan prasarana serta jumlah peserta didik sebanyak-banyaknya dengan hasil pendidikan sebesar-besarnya (menuntut kriteria kebutuhan peserta didik, masyarakat, dan pembangunan), dengan menggunakan sumber, tenaga, uang, alat dan waktu dalam jumlah yang sekecil-kecilnya.
Jika dikaji lebih jauh, arah tujuan inovasi pendidikan Indonesia tahap demi tahap adalah sebagai berikut (Sutarno dan Fatmawati. 2009, dalam http://physicsmaster.orgfree.com):
1. Mengejar ketinggalan-ketinggalan yang dihasilkan oleh kemajuan-kemajuan ilmu dan teknologi sehingga makin lama pendidikan Indonesia makin berjalan sejajar dengan kemajuan-kemajuan tersebut.
2. Mengusahakan terselenggaranya pendidikan sekolah maupun luar sekolah bagi setiap warga Negara. Misalnya meningkatkan daya tampung sekolah SD,SLTP,SLTA, dan perguruan tinggi.

B. Siklus Inovasi
Siklus inovasi berlangsung seperti kurva difusi dimana pada tahap awal, tumbuh relatif lambat, ketika kemudian pelanggan merespon produk tersebut sebagai sebuah kebutuhan maka pertumbuhan produk meningkat secara eksponensial. Pertumbuhan produk akan terus meningkat bila dilakukan inkrenetori inovasi atau mengubah produk. Di akhir kurva pergerakannya melambat kembali dan cenderung menurun.
Perusahaan yang inovatif akan bekerja dengan cara inovasi baru, yang menggantikan cara lama untuk mempertahankan tumbuhnya kurva melalui pembaharuan teknologi, bila teknologi tidak dilakukan pembaharuan pertumbuhan akan cenderung stagnan atau bahkan menurun.

Inovasi Pendidikan (3)

BAB III
TIPE DAN SUMBER INOVASI


A. Tipe Inovasi
Ada lima tipe inovasi yaitu (http://inovasipendidikan.wordpress.com):
a. Inovasi produk; yang melibatkan pengenalan barang baru, pelayanan baru yang secara substansial meningkat. Melibatkan peningkatan karakteristik fungsi juga, kemampuan teknisi, mudah menggunakannya. Contohnya: telepon genggam, komputer, kendaraan bermotor, dsb;
b. Inovasi proses; melibatkan implementasi peningkatan kualitas produk yang baru atau pengiriman barangnya;
c. Inovasi pemasaran; mengembangkan metoda mencari pangsa pasar baru dengan meningkatkan kualitas desain, pengemasan, promosi;
d. Inovasi organisasi; kreasi organisasi baru, praktek bisnis, cara menjalankan organisasi atau perilaku berorganisasi;
e. Inovasi model bisnis; mengubah cara berbisnis berdasarkan nilai yang dianut.

B. Sumber Inovasi
Terdapat dua sumber utama inovasi, yaitu(http://inovasipendidikan.wordpress.com):
a. Secara tradisional, sumbernya adalah inovasi fabrikasi. Hal tersebut karena agen (orang atau bisnis) berinovasi untuk menjual hasil inovasinya.
b. Inovasi pengguna; hal tersebut dimana agen (orang atau bisnis) mengembangkan inovasi sendiri (pribadi atau di rumahnya sendiri), hal itu dilakukan karena produk yang dipakainya tidak memenuhi apa yang dibutuhkannya.

Dalam dunia pendidikan, inovasi secara tradisional tampak dalam inovasi yang dilakukan oleh Depdiknas –saat sistem pendidikan menganut sistem sentralistik– dan kemudian diimplementasikan kepada pihak sekolah. Inovasi pendidikan seperti ini cenderung merupakan Top-Down Innovation. Inovasi seperti ini dilakukan dan diterapkan kepada bawahan dengan cara mengajak, menganjurkan atau bahkan memaksakan. Contoh inovasi yang dilakukan oleh Depdiknas seperti Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), Guru Pamong, Sistem Pengajaran Modul, Sistem Belajar Jarak Jauh dan lain-lain.
Model Top-Down Innovation berkebalikan dengan model inovasi yang diciptakan berdasarkan ide, pikiran, kreasi, dan inisiatif dari sekolah, guru, atau masyarakat yang umumnya disebut model Bottom-Up Innovation. Inovasi model Bottom-Up Innovation termasuk dalam inovasi pengguna karena pihak sekolah yang berkepentingan menggunakan hasil inovasi tersebut sekaligus sebagai inovator.

Pendidikan: Tidak Terbatas Ruang dan Waktu


Dunia pendidikan Indonesia dengan segala permasalahannya memang selalu menarik untuk diperbincangkan. Kita akui memang tingkat pendidikan kita (bangsa Indonesia) tergolong rendah. Kasus anak putus sekolah, guru mogok mengajar karena merasa gajinya kurang, bangunan sekolah yang hampir ambruk, hingga penggelapan dana pendidikan sering menghiasi layar kaca.

Segala permasalahan pendidikan yang saling tumpang tindih itu semestinya tidak membuat kita bersikap pesimis terhadap masa depan pendidikan Indonesia. Setidaknya masih ada segelintir orang yang memaknai pendidikan dengan cara mereka sendiri dan menghasilkan karya yang luar biasa.

Keluarga Extraordinary
Di saat para orang tua beranggapan bahwa anaknya harus mendapatkan pendidikan(-berijazah) yang tinggi agar kelak menjadi orang yang sukses, ada seorang ayah yang malah menjauhkan anak-anaknya dari pendidikan formal. Dialah Joko Sasmito, warga Imogiri seorang mantan dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Joko adalah penemu biochip. Sebuah penemuan yang menunjukkan kompetensi dalam bidang yang digelutinya, yaitu teknologi. Joko beranggapan bahwa sekolah formal adalah sebuah pemborosan. Sistem pendidikan yang ada tidak sesuai dengan harapannya. Ia ingin anak-anaknya mempunyai kemampuan yang betul-betul ada aplikasinya. Joko berkeyakinan bahwa kemampuan nyata lebih penting daripada kemampuan formal.

Joko tidak memaksakan kehendaknya kepada anak-anaknya. Awalnya kelima anaknya ia sekolahkan. Seiring waktu, anak-anaknya sendiri akhirnya sadar dan kemudian mempunyai keyakinan yang sama seperti ayah mereka. Alhasil, kelima anaknya tidak ada yang mengenyam penguruan tinggi. Joko menyelenggarakan pendidikan sendiri bagi anak-anaknya di rumah. Pendidikan yang dilaksanakan Joko menerapkan kedisiplinan seperti di sekolah formal. Kelima anaknya belajar bersama mulai pukul 08.00. Di sesi ini Joko memberi sedikit pemahaman teori. Setelah itu mereka memetik sayur-sayuran atau buah-buahan dari kebun mereka sendiri. Pukul 10.00 mereka sudah siap di “laboratorium”. Mereka belajar sampai waktu Ashar diselingi istirahat untuk shalat Dhuhur. Begitulah rutinitas harian mereka.

Dari hasil proses belajar yang diterapkan Joko, anak-anaknya mempunyai kemampuan yang aplikatif. Dengan bimbingan darinya, dalam usia antara 15 sampai 25 tahun anak-anaknya telah sukses membuat fonokardiograf (pendeteksi detak jantung), EEG (alat pengukur kerja otak), bolpoin teleterapi (alat terapi jarak jauh), dan media penyimpan data mini serta berbagai peralatan praktis yang untuk kebutuhan rumah tangga. Anak-anaknya juga sudah bisa membuat hardware maupun software komputer. Kini Joko sedang mendorong anak-anaknya untuk membuat telepon seluler.

Joko Sasmito berlatar pendidikan formal kimia, namun ia menguasai ilmu-ilmu lain secara otodidak. Joko mengaku ilmu multidisiplin yang ia miliki didapatnya hanya sedikit dari buku-buku maupun internet. Dalam penelitiannya, Joko mengaku tidak memakai teori Einsten atau Archimides melainkan teorinya sendiri, yaitu teori Kaifa. Teori Kaifa yang ia gunakan diambil dari rangkaian ayat-ayat Al-Qur’an. Apa dan bagaimana teori tersebut, Joko mengatakan bahwa itu “rahasia perusahaan”.

Potret keluarga Joko menunjukkan kepada kita tentang kekuatan keinginan belajar yang sungguh-sungguh dapat menghasilkan karya yang luar biasa. Pendidikan memang tidak terbatas ruang dan waktu. Kapanpun dan dimanapun pendidikan bisa dilaksanakan. Di tengah terpuruknya pendidikan kita, setidaknya ada keluarga Joko Sasmito yang menunjukkan prestasi yang luar biasa. Semangat pendidikan itulah yang kita ambil dan kita terapkan.
Oleh: Sukrisno Santoso
Artikel ini dimuat dalam majalah Figur FKIP UMS

April 19, 2011

Penelitian Tindakan Kelas (Pembelajaran Kooperatif)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat dewasa ini berpengaruh disegala dimensi kehidupan, termasuk bidang pendidikan lebih khusus lagi pengajaran matematika. Menurut Paling (1982:1) matematika merupakan salah satu cara untuk menemukan jawaban terhadap masalah yang dihadapi manusia; suatu cara menggunakan informasi, menggunakan pengetahuan tentang bentuk dan ukuran, menggunakan pengetahuan tentang menghitung dan yang paling penting adalah memikirkan dalam diri manusia itu sendiri dalam melihat dan menggunakan hubungan-hubungan.

Bidang studi matematika yang diajarkan di SD mencakup tiga cabang, yaitu aritmetika, aljabar dan geometri. Menurut Dali S. Naga (1980:1), aritmatika atau berhitung adalah cabang matematika yang berkenaan dengan sifat hubungan bilangan-bilangan nyata dengan perhitungan terutama menyangkut penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. Secara singkat aritmetika atau berhitung adalah pengetahuan tentang bilangan.

Kegiatan pembelajaran yang dapat menumbuhkan cara berpikir siswa agar menjadi lebih kritis dan kreatif dapat dikembangkan melalui belajar matematika, karena matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang menduduki peranan penting dalam pendidikan terutama dalam era saat ini. Hal ini karena siswa beranggapan bahwa matematika adalah pelajaran yang sulit dan menakutkan. Siswa seharusnya menyadari bahwa kemampuan berpikir logis, bernalar rasional, cermat, dan efisien menjadi ciri utama matematika.

Ciri utama matematika adalah penalaran deduktif, yaitu kebenaran konsep atau pernyataan diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya sehingga kaitan antara konsep atau pernyataan dalam matematika bersifat konsisten. Namun demikian, pembelajaran dan pemahaman konsep dapat diawali secara induktif melalui pengalaman peristiwa nyata atau intuisi. Menurut Paling (dalam Mulyono Abdurrahman, 2003: 252), ide manusia tentang matematika berbeda-beda, tergantung pada pengalaman dan pengetahuan masing-masing. Ada yang mengatakan bahwa matematika hanya perhitungan yang mencakup tambah, kurang, kali dan bagi, tetapi ada pula yang melibatkan topik-topik seperti aljabar, geometri, dan trigonometri. Banyak pula yang beranggapan bahwa matematika mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan berpikir logis.

Tuntutan zaman mendorong manusia untuk lebih kreatif dalam mengembangkan atau menerapkan matematika sebagai ilmu dasar oleh karena itu Cockroft (dalam Mulyono Abdurrahman, 2003: 253) mengemukakan bahwa matematika perlu diajarkan kepada siswa karena (1) selalu digunakan dalam segala segi kehidupan, (2) semua bidang studi memerlukan ketrampilan matematika yang sesuai, (3) merupakan sarana komunikasi yang kuat, singkat dan jelas, (4) dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam berbagai cara, (5) meningkatkan kemampuan berpikir logis, ketelitian, dan kesadaran keruangan, dan (6) memberikan kepuasan terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang.

Dalam konteks yang aplikatif, proses belajar – mengajar merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru dan siswa pemegang peranan penting. Usman menyatakan bahwa proses belajar – mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian kegiatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Interaksi atau hubungan timbal balik antara guru dan siswa merupakan syarat utama bagi berlangsungnya proses belajar mengajar (2000:4).

Suryosubronto menyatakan bahwa proses belajar-mengajar meliputi kegiatan-kegiatan yang dilakukan guru mulai dari perencanaan, pelaksanaan kegiatan sampai evaluasi dan program tindak lanjut yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu yaitu pengajaran (1997:19). Lebih lanjut S. Bloom dalam Hamalik (1995:19) merintis tujuan pembelajaran mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Dalam hal ini mengarah pada kognitifnya yang mempunyai enam kegiatan yaitu:

1. Knowledge/pengetahuan, contoh tujuan yang terkait dengan kemampuan mengingat, menghafal, menyebut ulang dan meniru.
2. Comprehention/pemahaman, contoh tujuan yang berkait dengan tujuan untuk mengerti, menyatakan kembali bentuk lain dan menginterpretasi.
3. Aplication/penerapan, contoh tujuan yang terkait dengan penerapan teori, prinsip dan informasi.
4. Analize/analisis, contoh tujuan yang terkait dengan analisis masalah.
5. Synthesa/sintesis, contoh tujuan yang terkait dengan penggabungan bagianbagian dalam wadah.
6. Evaluation/evaluasi, contoh tujuan yang terkait dengan menentukan suatu kriteria tertentu pada suatu kegiatan (Hamalik, 1995:19).

Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa proses pembelajaran bertujuan untuk melatih manusia agar menjadi lebih bisa dan menjadi lebih baik, sehingga guru harus dapat sedemikian rupa menciptakan situasi belajar yang menyenangkan sehingga siswa dapat memahami materi pelajaran. Agar guru dapat melaksanakan proses pembelajaran dengan lebih baik, ia harus mempunyai kesiapan baik mental, personal dan sosial.

Gejolak kehidupan dan perkembangan masyarakat, bangsa dan negara serta bahkan kehidupan dunia pada umumnya menjadikan matematika sarat akan materi sehingga diperlukan keterkaitan dengan komponen dalam proses pembelajaran. Sugito menyatakan bahwa dalam proses belajar mengajar terdapat komponen-komponen yang saling terkait yang meliputi tujuan pengajaran, guru dan peserta didik, bahan pelajaran, metode/strategi belajar mengajar, alat/media, sumber pelajaran dan evaluasi (1994:3).

Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa proses belajar-mengajar akan dapat terselenggara secara efektif manakala peran guru berjalan secara baik, sebagai pengajar maupun sebagai pendidik. Dalam hal ini berkaitan dengan pengelolaan kelas, melalui guru yang benar-benar profesional dalam mengelola kelas diharapkan tujuan pembelajaran dapat tercapai secara optimal serta dapat mengkontribusi keluaran yang berkualitas.

Pada umumnya pengajaran matematika di sekolah khususnya di SD N II Isimu Raya sampai saat ini masih konvensional yaitu guru aktif menjelaskan materi pelajaran sedangkan siswa hanya mendengar, mencatat, dan mengerjakan latihan yang diberikan guru. Tentunya pendekatan seperti ini tidak sesuai dengan tuntutan zaman karena dimungkinkan akan berpengaruh pada rendahnya tingkat kemampuan bernalar siswa. Padahal pelajaran matematika dari tahun ke tahun semakin kompleks dan lebih berkembang.

Oleh karena itu diperlukan suatu keahlian atau ketrampilan pengelolaan kelas yang harus dimiliki seorang guru dalam menyampaikan materi pelajaran matematika. Karena setiap siswa memiliki kemampuan dan taraf bernalar yang berbeda-beda, sehingga dengan ketrampilan dan keahlian itu seorang guru matematika dapat memilih metode yang tepat agar siswa mampu memahami materi pelajaran matematika yang disampaikan oleh guru. Metode mengajar matematika merupakan sarana interaksi guru dengan siswa di dalam kegiatan belajar mengajar. Metode mengajar yang dipilih harus sesuai dengan tujuan, jenis dan sifat materi pelajaran matematika yang diajarkan. Kemampuan guru dalam memahami dan melaksanakan metode tersebut sangat berpengaruh terhadap hasil yang dicapai. Ketidaktepatan menggunakan suatu metode dapat menimbulkan kebosanan, kurang dipahami sehingga mengakibatkan sikap yang acuh terhadap pelajaran matematika.

Hal inilah yang kemudian mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang upaya meningkatan prestasi belajar matematika siswa materi luas dan bangun datar kelas V SD N II Isimu Raya melalui penggunaan metode pembelajaran kooperatif tipe group invetigation (GI).

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka identifikasi masalah yang terdapat di SD N II Isimu Raya yang perlu untuk diteliti dan dipecahkan sebagai berikut:

1. Siswa menganggap matematika itu sulit, membosankan, tidak menarik bahkan dianggap mata pelajaran yang menakutkan.
2. Cara guru dalam menyampaikan materi pelajaran matematika dengan metode pembelajaran yang digunakan belum optimal.
3. Kurangnya kualitas pembelajaran matematika tidak hanya bersumber pada kurangnya kemampuan bernalar siswa, bisa jadi disebabkan oleh adanya kelemahan dari metode pembelajaran yang digunakan oleh guru.

C. Pembatasan Masalah

Pada identifikasi masalah di atas agar penelitian ini terarah dan sesuai tujuan maka masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Metode pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode cooperative learning tipe group investigation (GI).
2. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah luas bangun datar sesuai yang tercakup dalam silabus matematika kelas V.
3. Peningkatan prestasi belajar siswa yang dimaksud dalam penelitian ini dibatasi oleh:

* prestasi pada aspek kognitif,
* prestasi pada aspek afektif, dan
* prestasi pada aspek psikomotor.

D. Rumusan Masalah

Dari batasan masalah diatas maka perumusan masalah yang dapat peneliti rumuskan adalah “Apakah dengan penerapan metode pembelajaran kooperatif tipe group investigation (GI) dapat meningkatkan prestasi belajar siswa pada pelajaran matematika materi luas bangun datar?”

E. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Sebagai motivasi bagi guru agar dapat menerapkan metode pembelajaran kooperatif di kelas dan mendorong minat belajar siswa karena menggunakan metode pembelajaran yang menarik.

2. Tujuan khusus

Untuk mengetahui apakah dengan menerapkan metode pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar siswa khusunya pada mata pelajaran matematika.

F. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Secara umum, hasil penelitian ini diharapkan seara teoritis dapat memberikan sumbangan kepada pembelajaran matematika, utamanya pada peningkatan prestasi belajar siswa dalam matematika. Mengingat seorang siswa perlu memiliki tiga aspek keterampilan dalam belajar (kognitif, afektif dan psikomotor), maka salah satu teknik penerapan pembelajaran matematika dengan metode cooperative learning.

Secara khusus, penelitian ini memberikan kontribusi kepada strategi pembelajaran berupa pergeseran dari paradigma mengajar menuju ke paradigma belajar yang mementingkan pada proses untuk mencapai hasil.

2. Manfaat Praktis

Pada dataran praktis, penelitian ini memberikan manfaat bagi guru matematika dan siswa. Bagi guru matematika pendekatan cooperative learning dapat digunakan sebagai salah satu alternatif dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) matematika. Bagi siswa, proses pembelajaran ini dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dalam bidang matematika.

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Kajian Tentang Pengertian Belajar

Dalam buku karangan Oemar Hamalik. (2007: 20) mengemukakan bahwa Belajar merupakan suatu proses, dan bukan hasil yang hendak dicapai semata. Proses itu sendiri berlangsung melalui serangkaian pengalaman, sehingga terjadi modifikasi pada tingkah laku yang telah dimiliki sebelumnya. Jadi berdasarkan proses (sebagai alat atau means) akan tetapi tujuan (ends), sesuatu yang dikehendaki dalam pendidikan..

Menurut James O. Whittaker, dalam Abu Ahmadi. (2004: 126) belajar dapat didefinisikan sebagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman.

Definisi yang tidak jauh berbeda dengan definisi tersebut dikemukakan oleh Cronbach dalam bukunya yang berjudul education psychology sebagai berikut: learning is shown by change in behaviour as a result of experience. Dengan demikian belajar yang efektif adalah melalui pengalaman. Dalam proses belajar, seseorng berinteraksi langsung dengan objek belajar dengan menggunakan semua alat inderanya.

Sebagian terbesar dari proses perkembangan berlangsung melalui kegiatan belajar. Belajar yang disadari atau tidak, sederhana atau kompleks, belajar sendiri atau denagan bantuan guru, belajar dari buku atau dari media elektronika, belajar di sekolah di rumah, di lingkungan kerja atau di masyarakat.

Belajar selalu berkenaan dengan perubahan-perubahan pada diri orang yang belajar, apakah itu mengarah kepada yang lebih lebih baik atau kurang baik, direncanakan atau tidak. Hal ini yang juga selalu terkait dalam belajar adalah pengalaman, pengalaman yang berbentuk interaksi dengan orang lain atau lingkungannya.

Menurut Witherington (1952: 165) dalam Nana Syaodih Sukmadinata. (2004: 155-156) bahwa belajar merupakan perubahan dalam kepribadian, yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respon yang baru dan terbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan dan kecakapan.

Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya Slameto. (2003: 2).

Sardiman A.M. (2006: 20-29) mengemukakan ada beberap definisi tentang belajar, antara lain:

1. Cronbach memberikan definisi: learning is shown by a change in behavior as result of experience.
2. Horald spers memberikan batasan: learning is to observe, to read, to imitate, to try something themselves, to listen, to folloe direction.
3. Geoch, mengatakan: learning is a change in performance as a result of practice.

Dari ketiga definisi di atas, maka dapat diterangkan bahwa belajar itu merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan, dengan serangkaian kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati, meniru dan lain sebagainya. Belajar itu juga akan lebih baik, kalau si subjek belajar itu mengalami atau melakukannya, jadi tidak bersifat verbalistik.

Dari beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan kegiatan penting yang harus dilakukan setiap orang secara maksimal untuk dapat menguasai atau memperoleh sesuatu. Belajar adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dalam rangka merubah tingkah laku kearah yang lebih baik sesuai dengan apa yang diharapkan dan dicita-citakan.

B. Kajian Tentang Prestasi Belajar

1. Arti Berprestasi

A. Tabrani Rusyan. (2007: 68) mengemukakan bahwa prestasi merupakan suatu bukti keberhasilan usaha yang dicai seseorang setelah melakukan suatu kegiatan. Demikian pula prestasi yang dicapai oleh kita, merupakan keberhasilan setelah melaksanakan proses belajar sehingga memiliki berbagai ilmu pengetahuan, keterampilan, serta sikap yang mendukung. Dalam melaksanakan proses belajar kebanyakan kita hanya memikirkan masa sekarang dan tidak memikirkan masa masa depan, akan tetapi mereka tidak dibiarkan begiru saja.

Dengan demikian Prestasi belajar merupakan suatu keberhasilan dari usaha yang dicapai seorang siswa setelah melakukan kegiatan belajar, sehingga ia memiliki berbagai ilmu pengetahuan, keterampilan, serta sikap yang mendukung.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar

Untuk memahami tentang prestasi belajar, perlu didalami faktor-faktor yang mempengaruhinya, Mulyasa. (2005: 189-196) mengemukakan beberapa faktor yaitu:

a. Pengaruh faktor eksternal

Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi prestasi belajar peserta didik dapat digolongkan ke dalam faktor sosial dan non-sosial. Faktor sosial menyangkut hubungan antarmanusia yang terjadi dalam berbagai situasi sosial. Kedalam faktor ini termasuk lingkungan keluarga, sekolah, teman dan masyarakat pada umumnya. Sedangkan faktor non-sosial seperti lingkungan alam fisik misalnya: kjeadaan rumah, ruang belajar, fasilitas belajar, buku-buku sumber, dan sebagainya.

b. Pengaruh faktor internal

Brata (1964) mengklasifikasikan faktor internal menyangkut: a) faktor-faktor fisiologis, yang menyangkut keadaan jasmani atau fisik individu, yang dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu keadaan jasmani pada umumnya dan keadaan fungsi jasmani tertentu terutama panca indera, b) faktor-faktor psikologis, yang berasal dari dalam diri seperti inteligensi, minat, sikap, dan motivasi.

Menurut pendapat A. Tabrani Rusyan, (2007: 68) faktor internal yang mempengaruhi prestasi belajar yaitu:

1. Keinginan untuk mencapai apa yang telah dicita-citakan
2. Minat pribadi yang mempengaruhi belajar
3. Pola kepribadian yang mempengaruhi jenis dan kekuatan aspirasi
4. Nilai pribadi yaitu yang menentukan apa saja dari kekuatan aspirasi
5. Jenis kelamin
6. Latar belakang keluarga

Indikator Prestasi Belajar

Kunci pokok untuk memperoleh ukuran dan data hasil belajar siswa adalah dengan mengetahui garis-garis besar indikator (petunjuk adanya prestasi tertentu) dikaitkan dengan jenis prestasi yang hendak diungkapkan atau diukur. Selanjutnya agar pemahaman anda lebih mendalam mengenai kunci pokok tadi dan memudahkan anda dalam menggunakan alat dan kiat evaluasi yang dipandang tepat, reliabel, dan valid, dibawah ini penyusun sajikan sebuah tabel panjang. Tabel ini berasal dari berbagai sumber rujukan (Surya, 1982; Barlou, 1985) dalam Muhibbin Syah. (2000 : 22)

Table. Indikator Prestasi

Ranah/Jenis Prestasi Indikator Cara Evaluasi
  1. A. Ranah Cipta (Kognitif)
    1. Pengamatan
  1. Ingatan
  1. Pemahaman
  1. Penerapan
  1. Analisis (pemeriksaan dan pemeliharaan secara teliti)
  1. Sintesis (membuat penduan baru dan utuh)
  1. B. Ranah Rasa (Afektif)
    1. Penerimaan
  1. Sambutan
  1. Apresiasi (sikap menghargai)
  1. Internalisasi (Pendalaman)
  1. Karakterisasi (Panghayatan)

  1. C. Ranah Karsa (Psokomotor)
    1. Kterampilan bargerak dan bertindak
  1. Kecakapan ekspresi varbal dan nonverbal
  1. Dapat menunjukkan
  2. Dapat membandingkan
  3. Dapat menghubungkan
  4. Dapat menyebutkan
  5. Dapat menunjukkan kembali
  1. Dapat menjelaskan
  2. Dapat mendefinisikan dengan lisan sendiri
  3. Dapat memberikan contoh
  4. Dapat menggunakan secara tepat
  1. Dapat menguraikan
  2. Dapat mengklasifikasikan/memilah-milah
  3. Dapat menghubungkan
  4. Dapat menyimpulkan
  5. Dapat mengeneralisasikan
  1. Menunjukkan sikap menerima
  2. Menunjukkan sikap menolak
  1. Kesediaan berpartisipasi/terlibat
  2. Kesediaan memanfaatkan
  1. menganggap penting dan bermanfaat
  2. Mengnggap indah dan harmonis
  3. Mengagumi
  1. Mengakui dan meyakini
  2. Mengingkari
  1. Melembagakan atau maniadakan
  2. Menjelmakan dalam pribadi dan perilaku sehari-hari
  1. Mengkoordinasikan gerak mata, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya
  2. Mengucapkan
  3. Membuat mimik dan gerakan jasmani
  1. Tes Lisan
  2. Tes tertulis
  3. Observasi
  4. Tes Lisan
  5. Tes tertulis
  6. Observasi
  7. Tes Lisan
  8. Tes tertulis
  1. Tes tertulis
  2. Pemberian tugas
  3. Observasi
  4. Tes tertulis
  5. Pemberian tugas
  1. Tes tertulis
  2. Pemberian tugas
  1. Tes tertulis
  2. Tes skala sikap
  3. Observasi
    1. Tes skala sikap
    2. Pemberian tugas
    3. Observasi
    4. Tes skala penilaian sikap
    5. Pemberian tugas
    6. Observasi
    7. Tes skala sikap
    8. Pemberian tugas ekspresi
    9. Observasi
  1. Pemberian tugas ekpresi dan proyektif
  2. Observasi
  1. Observasi
    1. Tes tindakan
  1. Tes lisan
  2. Observasi
  3. Tes tindaka


C. Kajian Tentang Cooperative Learning Tipe Group Investigation (GI)

1. Pengertian Kooperatif

Ada beberap definisi tentang pembelajaran kooperatif yang dikemukakan

para ahli pendidikan.

Slavin (1995) dalam Nur Asma. (2006: 11) mendefinisikan belajar kooperatif sebagai berikut “cooperative learning methods share the idea that students work together to learn and are responsible for their teammates learning as well as their own”. Definisi ini mengandung pengertian bahwa dalam belajar kooperatif siswa belajar bersama saling menyumbang pemikiran dan bertanggung jawab terhadap pencapaian hasil belajar secara individu maupun kelompok.

Davidson dan Kroll (1991) dalam Nur Asma. (2006: 11) mendefinisikan belajar kooperatif adalah kegiatan yang berlangsung di lingkungan belajar siswa dalam kelompok kecil yang saling berbagi ide-ide dan bekerja secara kolaboratif untuk memecahkan masalah-masalah yang ada dalam tugas mereka.

Roestiyah N.K. (2001: 15) mengemukakan bahwa tehnik ini ialah suatu cara mengajar dimana siswa di dalam kelas dipandang sebagai suatu kelompok atau dibagi menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok teridiri dari lima atau tujuh siswa, mereka bekerja sama dalam memecahkan masalah, atau melaksanankan tugas tertentu, dan berusaha mencapai tujuan pengajaran yang telah ditentukan oleh guru.

Berdasarkan definisi di atas dapat dikatakan bahwa pembelajaran kooperatif ialah siswa belajar dengan cara bekerja sama dalam kelompok untuk memecahkan masalah yang dihadapi dengan penuh tanggung jawab pada aktifitas belajar kelompoknya, sehingga materi yang diajarkan guru mudah dipahami oleh seluruh anggota kelompok.

Pembelajaran kooperatif menekankan kerja sama antar siswa dalam kelompok. Hal ini dilandasi oleh pemikiran bahwa siswa lebih mudah menemukan dan memahami suatu konsep jika mereka saling mendiskusikan masalah tersebut dengan temannya. Banyak anggota suatu kelompok dalam belajar kooperatif, biasanya terdiri dari empat sampai enam orang dimana anggota kelompok yang terbentuk diusahakan heterogen berdasarkan perbedaan kemampuan akademik, jenis kelamin, dan etnis.

Tujuan Pembelajaran Kooperatif

Pengembangan pembelajaran kooperatif bertujuan untuk mencapai hasil belajar, penerimaan terhadap keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial. Masing-masing tujuan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Pencapaian Hasil Belajar

Slavin dan para ahli lain percaya bahwa memusatkan perhatian pada kelompok pembelajaran kooperatif dapat mengubah norma budaya anak muda dan membuat budaya lebih dapat menerima prestasi menonjol dalam berbagai tugas pembelajaraan akademik.

Disamping merubah norma yang berhubungan dengan hasil belajar, pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan pada siswa yang bekerja sama menyelesaikan tugas-tugas akademik, baik kelompok bawah maupun kelompok atas. Siswa kelompok atas akan menjadi tutor bagi siswa kelompok bawah. Dalam proses tutorial ini, siswa kelompok atas akan meningkat kemampuan akademiknya karena memberi pelayanan sebagai tutor kepada teman sebaya yang membutuhkan pemikiran lebih mendalam tentang hubungan ide-ide yang terdapat di dalam materi tertentu.

b. Penerimaan Terhadap Keragaman

Efek penting yang kedua dari model pembelajaran kooperatif ialah penerimaan yang luas terhadap orang yang berbeda menurut ras, budaya, tingkat social, kemampuan, maupun ketidakmampuan. Goldon Allport (1954) mengemukakan telah diketahui bahwa banyak kontak fisik saja diantara orang-orang yang berbeda ras tau kelompok etnik tidak cukup untuk mengurangi kecurigaan dan perbedaan ide. Pembelajaran kooperatif memberi peluang kepada siswa yang latar belakang dan kondisi untuk bekerja saling bergantung satu sama lain atas tugas-tugas bersama, dan melalui penggunaan struktur penghargaan kooperatif, serta belajar untuk menghargai satu sama lain.

c. Pengembangan Keterampilan Sosial

Tujuan penting ketiga ialah untuk mengajarkan kepada siswa keterampilan kerja sama dan kolaborasi. Ketarampilan ini amat penting untuk dimiliki di dalam masyarakat, banyak kerja orang dewasa dilakukan dalam organisasi yang bergantung satu sama lain dalam masyarakat meskipun bergam budayanya.

Sementara itu banyak anak muda dan orang dewasa masih kurang dalam keterampilan sosial. Situasi ini dibuktikan dengan begitu sering terjadi suatu pertikaian kecil antar individu dapat mengakibatkan tidakan kekerasan, atau betapa sering orang menyatakan ketidakpuasan ketika diminta untuk bekerja dalam situasi kooperatif.

Selain unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit, model ini sangat berguna untuk membantu siswa menumbuhkan kemampuan kerja sama.

Ciri-ciri Metode Pembelajaran Kooperatif

Ciri-ciri model pembelajaran kooperatif adalah; (1) belajar bersama dengan teman, (2) selama proses belajar terjadi tatap muka antar teman, (3) saling mendengarkan pendapat di antara anggota kelompok, (4) belajar dari teman sendiri dalam kelompok, (5) belajar dalam kelompok kecil, (6) produktif berbicara atau saling mengemukakan pendapat, (7) keputusan tergantung pada siswa sendiri, (8) siswa aktif (Stahl, 1994).

Pembelajaran Kooperatif Model Group Investigation (GI)

Santyasa mengungkapkan pembelajaran kooperatif tipe GI didasari oleh gagasan John dewey tentang pendidikan, bahwa kelas merupakan cermin masyarakat dan berfungsi sebagai laboratorium untuk belajar tentang kehidupan di dunia nyata yang bertujuan mengkaji masalah-masalah sosial dan antar pribadi. Menurut Winataputra (1992:39) model GI atau investigasi kelompok telah digunakan dalam berbagai situasi dan dalam berbagai bidang studi dan berbagai tingkat usia. Pada dasarnya model ini dirancang untuk membimbing para siswa mendefinisikan masalah, mengeksplorasi berbagai cakrawala mengenai masalah itu, mengumpulkan data yang relevan, mengembangkan dan mengetes hipotesis.

Menurut Depdiknas (2005:18) pada pembelajaran ini guru seyogyanya mengarahkan, membantu para siswa menemukan informasi, dan berperan sebagai salah satu sumber belajar, yang mampu menciptakan lingkungan sosial yang dicirikan oleh lingkungan demokrasi dan proses ilmiah. Menurut Winataputra (1992:63) sifat demokrasi dalam kooperatif tipe GI ditandai oleh keputusan-keputusan yang dikembangkan atau setidaknya diperkuat oleh pengalaman kelompok dalam konteks masalah yang menjadi titik sentral kegiatan belajar. Guru dan murid memiliki status yang sama dihadapan masalah yang dipecahkan dengan peranan yang berbeda. Jadi tanggung jawab utama guru adalah memotivasi siswa untuk bekerja secara kooperatif dan memikirkan masalah sosial yang berlangsung dalam pembelajaran serta membantu siswa mempersiapkan sarana pendukung. Sarana pendukung yang dipergunakan untuk melaksanakan model ini adalah segala sesuatu yang menyentuh kebutuhan para pelajar untuk dapat menggali berbagai informasi yang sesuai dan diperlukan untuk melakukan proses pemecahan masalah kelompok.

Ibrahim, dkk. (2000:23) menyatakan dalam kooperatif tipe GI guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok dengan anggota 5 atau 6 siswa heterogen dengan mempertimbangkan keakraban dan minat yang sama dalam topik tertentu. Siswa memilih sendiri topik yang akan dipelajari, dan kelompok merumuskan penyelidikan dan menyepakati pembagian kerja untuk menangani konsep-konsep penyelidikan yang telah dirumuskan. Dalam diskusi kelas ini diutamakan keterlibatan pertukaran pemikiran para siswa.

Slavin (dalam Asthika, 2005:24) mengemukakan tahapan-tahapan dalam menerapkan pembelajaran kooperatif GI adalah sebagai berikut:

1. a. Tahap Pengelompokan (Grouping)

Yaitu tahap mengidentifikasi topik yang akan diinvestigasi serta mebentuk kelompok investigasi, dengan anggota tiap kelompok 4 sampai 5 orang. Pada tahap ini: 1) siswa mengamati sumber, memilih topik, dan menentukan kategori-kategori topik permasalahan, 2) siswa bergabung pada kelompok-kelompok belajar berdasarkan topik yang mereka pilih atau menarik untuk diselidiki, 3) guru membatasi jumlah anggota masing-masing kelompok antara 4 sampai 5 orang berdasarkan keterampilan dan keheterogenan.

b. Tahap Perencanaan (Planning)

Tahap Planning atau tahap perencanaan tugas-tugas pembelajaran. Pada tahap ini siswa bersama-sama merencanakan tentang: (1) Apa yang mereka pelajari? (2) Bagaimana mereka belajar? (3) Siapa dan melakukan apa? (4) Untuk tujuan apa mereka menyelidiki topik tersebut?

Misalnya pada topik Bangun Datar, pada tahap ini: 1) siswa belajar tentang jenis-jenis bangun datar beserta cara menghitung luasnya 2) siswa belajar dengan menggali informasi, bekerjasama dan berdiskusi, 3) siswa membagi tugas untuk memecahkan masalah topik tersebut, mengumpulkan informasi, menyimpulkan hasil investigasi dan mempresentasikan di kelas, dan (4) siswa belajar untuk mengetahui asal mula dari rumus luas bangun datar tersebut.

c. Tahap Penyelidikan (Investigation)

Tahap Investigation, yaitu tahap pelaksanaan proyek investigasi siswa. Pada tahap ini, siswa melakukan kegiatan sebagai berikut: 1) siswa mengumpulkan informasi, menganalisis data dan membuat simpulkan terkait dengan permasalahan-permasalahan yang diselidiki, 2) masing-masing anggota kelompok memberikan masukan pada setiap kegiatan kelompok, 3) siswa saling bertukar, berdiskusi, mengklarifikasi dan mempersatukan ide dan pendapat. Misalnya: 1) siswa menemukan cara-cara pembuktian rumus luas bangun datar, 2) siswa mecoba cara-cara yang ditemukan dari hasil pengumupulan informasi terkait dengan topik bahasan yang diselidiki, dan 3) siswa berdiskusi, mengklarifikasi tiap cara atau langkah dalam pemecahan masalah tentang topik bahasan yang diselidiki.

d. Tahap Pengorganisasian (Organizing)

Yaitu tahap persiapan laporan akhir. Pada tahap ini kegiatan siswa sebagai berikut: 1) anggota kelompok menentukan pesan-pesan penting dalam proteknya masing-masing, 2) anggota kelompok merencanakan apa yang akan mereka laporkan dan bagaimana mempresentasikannya, 3) wakil dari masing-masing kelompok membentuk panitia diskusi kelas dalam presentasi investigasi.

Misalnya: 1) siswa menemukan bahwa rumus luas bangun datar segitiga adalah ½ alas x tinggi, 2) siswa menemukan bahwa rumus luas bangun datar segitiga adalah ½ alas x tinggi yang dibuktikan melalui rumus bangun datar persegi panjang, 3) siswa membagi tugas sebagai pemimpin, moderator, notulis dalam presentasi investigasi.

e. Tahap Presentasi (Presenting)

Tahap presenting yaitu tahap penyajian laporan akhir. Kegiatan pembelajaran di kelas pada tahap ini adalah sebagai berikut: (1) penyajian kelompok pada keseluruhan kelas dalam berbagai variasi bentuk penyajian, (2) kelompok yang tidak sebagai penyaji terlibat secara aktif sebagai pendengar, (3) pendengar mengevaluasi, mengklarifikasi dan mengajukan pertanyaan atau tanggapan terhadap topik yang disajikan. Misalnya: 1) siswa yang bertugas untuk mewakili kelompok menyajikan hasil atau simpulan dari investigasi yang telah dilaksanakan, 2) siswa yang tidak sebagai penyaji, mengajukan pertanyaan, saran tentang topik yang disajikan, 3) siswa mencatat topik yang disajikan oleh penyaji.

f. Tahap evaluasi (evaluating)

Pada tahap evaluating atau penilaian proses kerja dan hasil proyek siswa. Pada tahap ini, kegiatan guru atau siswa dalam pembelajaran sebagai berikut: 1) siswa menggabungkan masukan-masukan tentang topiknya, pekerjaan yang telah mereka lakukan, dan tentang pengalaman-pengalaman efektifnya, 2) guru dan siswa mengkolaborasi, mengevaluasi tentang pembelajaran yang telah dilaksanakan, 3) penilaian hasil belajar haruslah mengevaluasi tingkat pemahaman siswa. Misalnya: 1) siswa merangkum dan mencatat setiap topik yang disajikan, 2) siswa menggabungkan tiap topik yang diinvestigasi dalam kelompoknya dan kelompok yang lain, 3) guru mengevaluasi dengan memberikan tes uraian pada akhir siklus.

Group Investigationn merupakan salah satu bentuk model pembelajaran kooperatif yang menekankan pada partisipasi dan aktivitas siswa untuk mencari sendiri materi (informasi) pelajaran yang akan dipelajari melalui bahan-bahan yang tersedia, misalnya dari buku pelajaran atau siswa dapat mencari melalui internet. Siswa dilibatkan sejak perencanaan, baik dalam menentukan topik maupun cara untuk mempelajarinya melalui investigasi. Tipe ini menuntut para siswa untuk memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi maupun dalam keterampilan proses kelompok. Model Group Investigation dapat melatih siswa untuk menumbuhkan kemampuan berfikir mandiri. Keterlibatan siswa secara aktif dapat terlihat mulai dari tahap pertama sampai tahap akhir pembelajaran.

Dalam metode Group Investigation terdapat tiga konsep utama, yaitu: penelitian atau enquiri, pengetahuan atau knowledge, dan dinamika kelompok atau the dynamic of the learning group, (Udin S. Winaputra, 2001:75). Penelitian di sini adalah proses dinamika siswa memberikan respon terhadap masalah dan memecahkan masalah tersebut. Pengetahuan adalah pengalaman belajar yang diperoleh siswa baik secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan dinamika kelompok menunjukkan suasana yang menggambarkan sekelompok saling berinteraksi yang melibatkan berbagai ide dan pendapat serta saling bertukar pengalaman melaui proses saling beragumentasi.

Dalam pembelajaran kooperatif model GI ini guru menyediakan sumber dan fasilitator. Guru memutar diantara kelompok-kelompok memperhatikan siswa mengatur pekerjaan dan membantu siswa mengatur pekerjaannya dan membantu jika siswa menemukan kesulitan dalam interaksi kelompok.

Para guru yang menggunakan metode GI umumnya membagi kelas menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan 5 sampai 6 siswa dengan karakteristik yang heterogen, (Trianto, 2007:59). Pembagian kelompok dapat juga didasarkan atas kesenangan berteman atau kesamaan minat terhadap suatu topik tertentu. Selanjutnya siswa memilih topik untuk diselidiki, melakukan penyelidikan yang mendalam atas topik yang telah dipilih, kemudian menyiapkan dan mempresentasikan laporannya di depan kelas.

Tahapan-tahapan kemajuan siswa di dalam pembelajaran yang menggunakan metode Group Investigation untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada table berikut, (Slavin, 1995) dalam Siti Maesaroh (2005:29-30):

Enam Tahapan Kemajuan Siswa di dalam Pembelajaran Kooperatif dengan Metode Group Investigation
Tahap I
Mengidentifikasi topik dan membagi siswa ke dalam kelompok.
Guru memberikan kesempatan bagi siswa untuk memberi kontribusi apa yang akan mereka selidiki. Kelompok dibentuk berdasarkan heterogenitas.

Tahap II
Merencanakan tugas.
Kelompok akan membagi sub topik kepada seluruh anggota. Kemudian membuat perencanaan dari masalah yang akan diteliti, bagaimana proses dan sumber apa yang akan dipakai.

Tahap III
Membuat penyelidikan.
Siswa mengumpulkan, menganalisis dan mengevaluasi informasi, membuat kesimpulan dan mengaplikasikan bagian mereka ke dalam pengetahuan baru dalam mencapai solusi masalah kelompok.

Tahap IV
Mempersiapkan tugas akhir.
Setiap kelompok mempersiapkan tugas akhir yang akan dipresentasikan di depan kelas.

Tahap V
Mempresentasikan tugas akhir.
Siswa mempresentasikan hasil kerjanya. Kelompok lain tetap mengikuti.

Tahap VI
Evaluasi.
Soal ulangan mencakup seluruh topik yang telah diselidiki dan dipresentasikan


D. Kajian Tentang Pembelajaran Matematika

1. Pengertian Matematika Sekolah

Mengajarkan matematika tidaklah mudah, oleh karena itu tidak dibedakan antara matematika dan matematika sekolah. Menurut Reyt.,et al. (1998:4) matematika adalah (1) studi pola dan hubungan (study of patterns and relationships) dengan demikian masing-masing topik itu akan saling berjalinan satu dengan yang lain yang membentuknya, (2). Cara berpikir (way of thinking) yaitu memberikan strategi untuk mengatur, menganalisis dan mensintesa data atau semua yang ditemui dalam masalah sehari-hari, (3). Suatu seni (an art) yaitu ditandai dengan adanya urutan dan konsistensi internal, dan (4) sebagai bahasa (a language) dipergunakan secara hati-hati dan didefinisikan dalam term dan symbol yang akan meningkatkan kemampuan untuk berkomunikasi akan sains, keadaan kehidupan riil, dan matematika itu sendiri, serta (5) sebagai alat (a tool) yang dipergunakan oleh setiap orang dalam menghadapi kehidupan sehari-hari.

Sedangkan mengenai pengertian matematika sekolah Erman Suherman (1993:134) mengemukakan bahwa matematika sekolah merupakan bagian matematika yang diberikan untuk dipelajari oleh siswa sekolah (formal), yaitu SD, SLTP, dan SLTA. Menurut Soedjadi (1995:1) matematika sekolah adalah bagian atau unsur dari matematika yang dipilih antara lain dengan pertimbangan atau berorentasi pada pendidikan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa matematika sekolah adalah matematika yang telah dipilah-pilah dan disesuaikan dengan tahap perkembangan intelektual siswa, serta digunakan sebagai salah satu sarana untuk mengembangkan kemampuan berpikir bagi para siswa.

2. Karakteristik Matematika Sekolah

Agar dalam penyampaian materi matematika dapat mudah diterima dan dipahami oleh siswa, guru harus memahami tentang karakteristik matematika sekolah. Menurut Soedjadi (2000:13) matematika memiliki karakteristik : (1) memiliki obyek kajian abstrak, (2). Bertumpu pada kesepakatan, (3) berpola piker deduktif, 4). Memiliki symbol yang kosong dari arti, (5). Memperhatikan semesta pembicaraan, dan (6). Konsisten dalam sistemnya. Sedang menurut Depdikbud (1993:1) matematika memiliki ciri-ciri, yaitu (1). Memiliki obyek yang abstrak, (2). Memiliki pola piker deduktif dan konsisten, dan (3) tidak dapat dipisahkan dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).

Berdasarkan hal tersebut di atas dalam pembelajaran matematika perlu disesuaikan dengan perkembangan kognitif siswa, dimulai dari yang konkrit menuju abstrak. Namun demikian meskipun obyek pembelajaran matematika adalah abstark, tetapi mengingat kemampuan berpikir siswa Sekolah Dasar yang masih dalam tahap operasional konkrit, maka untuk memahami konsep dan prinsip masih diperlukan pengalaman melalui obyek konkrit (Soedjadi, 1995:1). Suatu konsep diangkat melalui manipulasi dan observasi terhadap obyek konkrit, kemudian dilakukan proses abstraksi dan idealisasi. Jadi dalam proses pembelajaran matematika di SD peranan media/alat peraga sangat penting untuk pemahaman suatu konsep atau prinsip. Heinich., et al. (1996:21) mengemukakan “adaptation of media and specially designed mean can contribute enormously to effective instructional …”.Hal tersebut mengandung maksud bahwa media yang sesuai dan dirancang khusus akan dapat memberikan dukungan yang sangat besar terhadap efektifitas pembelajaran.
Pelaksanaan pembelajaran matematika juga dimulai dari yang sederhana ke kompleks. Menurut Karso (1993:124) matematika mempelajari tentang pola keteraturan, tentang struktur yang terorganisasikan. Konsep-konsep matematika tersusun secara hirarkis, terstruktur, logis, dan sistematis mulai dari konsep yang paling sederhana sampai pada konsep yang paling kompleks.
Skemp (1971:36) menyatakan bahwa dalam belajar matematika meskipun kita telah membuat semua konsep itu menjadi baru dalam pikiran kita sendiri, kita hanya bisa melakukan semua ini dengan menggunakan konsep yang kita capai sebelumnya. Berdasarkan hal tersebut dalam matematika terdapat topic atau konsep prasyarat sebagai dasar untuk memahami topik atau konsep selanjutnya. Dengan demikian dalam mempelajari matematika, konsep sebelumnya harus benar-benar dikuasai agar dapat memahami konsep-konsep selanjutnya. Hal ini tentu saja membawa akibat kepada bagaimana terjadinya proses belajar mengajar atau pembelajaran matematika. Oleh karena itu dalam pembelajaran matematika tidak dapat dilakukan secara melompat-lompat tetapi harus tahap demi tahap, dimulai dengan pemahaman ide dan konsep yang sederhana sampai kejenjang yang lebih kompleks. Seseorang tidak mungkin mempelajari konsep lebih tinggi sebelum ia menguasai atau memahami konsep yang lebih rendah. Berdasarkan hal tersebut mengakibatkan pembelajaran berkembang dari yang mudah ke yang sukar, sehingga dalam memberikan contoh guru juga harus memperhatikan tentang tingkat kesukaran dari materi yang disampaikan, dengan demikian dalam pembelajaran matematika contoh-contoh yang diberikan harus bervariasi dan tidak cukup hanya satu contoh.

Pembelajaran matematika hendaknya menganut kebenaran konsistensi yang didasarkan kepada kebenaran-kebnaran terdahulu yang telah diterima, atau setiap struktur dalam matematika tidak boleh terdapat kontradiksi. Matematika sebagai ilmu yang deduktif aksiomatis, dimana dalil-dalil atau prinsip-prinsip harus dibuktikan secara deduktif. Tetapi mengingat kemampuan berpikir siswa SD, penerapan pola deduktif tidak dilakukan secara ketat. Hal itu sesuai dengan yang dikemukakan oleh Soedjadi (1995:1) bahwa struktur sajian matematika tidak harus menggunakan pola pikir deduktif semata, tetapi dapat juga digunakan pola pikir induktif.

3. Tujuan Pembelajaran Matematika

Di dalam GBPP mata pelajaran matematika SD disebutkan bahwa tujuan yang hendak dicapai dari pembelajaran matematika sekolah adalah:

1. Menumbuhkan dan mengembangkan keterampilan berhitung (menggunakan bilangan) sebagai alat dalam kehidupan sehari-hari.
2. Menumbuhkan kemampuan siswa, yang dapat dialihgunakan, melalui kegiatan matematika.
3. Mengembangkan pengetahuan dasar matematika sebagai bekal lanjut di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP).
4. Membentuk sikap logis, kritis, cermat, kreatif dan disiplin. (Depdikbud, 1993:40)

Sedangkan tujuan mata pelajaran matematika yang tercantum dalam KTSP pada SD/MI adalah sebagai berikut:

1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
4. Mengkomunkasikan gagasan dengan simbol, table, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah (Depdiknas, 2006 : 417).

Adapun ruang lingkup materi atau bahan kajian matematika di SD/MI mencakup : a). bilangan, b). geometri dan pengukuran, dan c). Pengolahan data.

E. Kerangka Berpikir

Pada umumnya pengajaran matematika di sekolah sampai saat ini masih konvensional yaitu guru aktif menjelaskan materi pelajaran sedangkan siswa hanya mendengar, mencatat, dan mengerjakan latihan yang diberikan guru. Tentunya pendekatan seperti ini tidak sesuai dengan tuntutan zaman karena dimungkinkan akan berpengaruh pada rendahnya tingkat kemampuan bernalar siswa. Padahal pelajaran matematika dari tahun ke tahun semakin kompleks dan lebih berkembang.

Dengan menggunakan metode pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation (GI) maka prestasi belajar siswa khususnya di bidang mata pelajaran matematika dapat ditingkatkan, karena metode pembelajaran ini merupakan suatu metode pembelajaran yang membantu siswa dalam mengembangkan pemahaman dan sikapnya sesuai dengan kehidupan nyata di masyarakat, sehingga dengan bekerja secara bersama-sama diantara sesama anggota kelompok akan meningkatkan motivasi, produktivitas, dan perolehan belajar dan pembelajaran akan semakin memberikan prestasi belajar yang baik.

Hal di atas dapat ditunjukkan melalu gambar berikut ini.
Pembelajaran Kooperatif
Prestasi Belajar

Berdasarkan kajian teoritik, asumsi-asumsi dan pola pikir logik, maka diduga bahwa penggunaan metode pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation (GI) dapat meningkatkan prestasi belajar matematika siswa kelas V SD N II Isimu Raya.

Artinya: tingginya penggunaan metode pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation (GI) akan diikuti pula dengan peningkatan prestasi belajar matematika siswa kelas V SD N II Isimu Raya.

Sumber: http://meilanikasim.wordpress.com/2010/02/28/penelitian-tindakan-kelas-pembelajaran-kooperatif/