Pages

September 28, 2014

“Aku Ada” (Catatan Pak Guru #8)

Salah satu siswi kelas IX B dengan kamera DSLR-nya

Saya Sukrisno Santoso -biasa dipanggil Pak Kris, guru Bahasa Indonesia di SMP IT Mutiara Insan Sukoharjo.

Selfie (berfoto diri) merupakan salah satu kebutuhan manusia. Dengan selfie mereka ingin mengumandangkan eksistensinya. Mereka sedang mencari perhatian sesamanya. Karena sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan interaksi dengan sesama.

Dalam interaksi sosial tersebut, kebutuhan seseorang akan pengakuan terhadap eksistensinya bisa terpenuhi. Seseorang memerlukan sesamanya untuk saling berkomunikasi, berbagi, menerima, memberi, memuji, menasihati, menghargai.

Dalam interaksi keseharian di sekolah, tak jarang ditemui siswa yang suka mencari perhatian. Bentuknya macam-macam, dengan banyak bicara atau berteriak. Berlarian di dalam kelas atau memukul-mukul meja. Dengan bersikap imut atau juga bersikap lucu. Melontarkan candaan atau tertawa lepas.

Dengan bersikap seperti itu mereka ingin mengatakan, "Aku ada." Mereka ada dan ingin diakui keberadaannya.

Apakah hal itu salah? Saya kira tidak. Mereka, para pelajar, remaja, sedang berproses mencari jati diri. Berusaha menemukan kepribadian diri di antara komunitas mereka: para pelajar. Maka, keinginan untuk menonjol dan menjadi pusat perhatian menjadi hal yang wajar, asal tidak berlebihan.

Guru, sebagai pendidik di sekolah perlu memahami sikap para siswa yang haus perhatian tersebut. Sikap mencari perhatian yang ditunjukkan para siswa perlu disikapi secara bijak dan tepat sesuai karakter masing-masing siswa.

Perhatian yang penuh perlu diberikan oleh guru. Guru bersikap sebagai orang yang, "Aku selalu ada untukmu".

Masalah yang kemudian muncul biasanya adalah siswa yang merasa perhatian guru tidak adil diberikan kepada setiap siswa. Ada istilah "anak emas guru".

Setiap guru memang berusaha untuk selalu bersikap adil terhadap siswanya. Namun, terkadang sebagian sikap guru disalahartikan sebagai sikap pilih kasih. Siswa pun merasa kecewa dan sedih.

Untuk hal seperti itu, guru hanya bisa minta maaf. Karena guru adalah manusia biasa yang tak sempurna. Sambil berjanji untuk ke depannya akan berusaha bersikap adil terhadap semua siswa.

---
Sukoharjo, 21 September 2014

***

Pembelajaran Kontekstual (Catatan Pak Guru #7)

Para siswi kelas IX B sedang melihat-lihat dan membeli produk kerajinan tangan

Saya Sukrisno Santoso -biasa dipanggil Pak Kris- guru Bahasa Indonesia di SMPIT Mutiara Insan Sukoharjo.

Pembelajaran kontekstual perlu diterapkan agar siswa tidak terkungkung di balik jeruji teori dalam kelas. Sesekali siswa diajak keluar untuk melihat realitas.

Teori-teori dalam buku diterapkan dalam realitas sesuai dengan konteksnya. Hal ini dimaksudkan agar pembelajaran bisa lebih bermakna, lebih mudah dipahami, dan lebih meninggalkan kesan.

Salah satu materi dalam Bahasa Indonesia yang akan saya sampaikan ialah "Memberi komentar terhadap karya seni atau produk dengan bahasa lugas dan sopan". Pembelajaran materi tersebut bertepatan dengan Pameran
Gelar Potensi Promosi dan Produk Unggulan Kabupaten Sukoharjo. Kegiatan ini bertempat di Alun-alun Satya Negara, Sukoharjo, yang berjarak sekitar dua kilometer dari sekolah.

Para siswa saya ajak ke pameran untuk melihat langsung karya seni atau produk kerajinan tangan. Di tengah teriknya pancaran sinar matahari, mereka semangat mengayuh sepeda menuju lokasi pameran.

Di pameran, mereka melihat-lihat barang karya seni dan produk kerajinan tangan dari bahan yang beraneka ragam. Ada yang berbahan bambu seperti seruling, gantungan kunci peluit, dan gasingan. Dari bahan kayu yaitu barang-barang mebel, hiasan lampu, dan benda-benda hias. Terbuat dari kain di antaranya gantungan kunci, hiasan meja, dan boneka. Dan banyak lagi yang lain yang berbahan rotan, kaca, aluminium, dll.

Tak ketinggalan, beberapa siswa SMK di Sukoharjo menampilkan karya-karya sesuai kompetensinya atau program studinya. Di stan para siswa SMK ini terlihat beberapa hiasan yang cantik, ada pula sabun mandi, mesin pembuat es krim, dan mobil mainan dengan landasan yang unik.

Siswa-siswa saya terlihat asyik melihat barang-barang di pameran. Beberapa dari mereka membeli beberapa mainan dari bambu untuk kemudian digunakan sebagai objek dalam pembelajaran Bahasa Indonesia selanjutnya.

---

Sukoharjo, 27 Agustus 2014

***

Niat Belajar (Catatan Pak Guru #6)

Siswa kelas VIII A (pura-pura) tidur saat pelajaran

Saya Sukrisno Santoso -biasa dipanggil Pak Kris- guru Bahasa Indonesia di SMPIT Mutiara Insan Sukoharjo.

Dulu pada masa kuliah, saya melaksanakan kegiatan PPL di sebuah sekolah swasta elit. Hampir semua siswa di sekolah itu merupakan anak dari kalangan menengah ke atas. Sebagian besar orang tua mereka adalah pengusaha atau pejabat. Tak sedikit yang berasal dari luar Jawa.

Mungkin karena terbiasa dimanjakan dengan kemewahan dan hidup yang enak, sebagian siswa tersebut bermalas-malasan saat di sekolah. Ada beberapa yang tidak menghormati guru dengan berbuat ramai di kelas, tidur di kelas, ataupun keluar kelas tanpa izin. Mereka yang keluar kelas biasanya kembali dalam waktu lama atau malah tidak kembali ke kelas lagi.

Saat saya praktek mengajar, yang pertama saya lakukan adalah membuka pintu kelas lebar-lebar.

"Silakan," kata saya kepada para siswa," bagi yang tidak ingin mengikuti pelajaran bisa keluar kelas."
Tidak ada siswa yang menjawab atau yang keluar kelas.

"Berarti kalian siap untuk mengikuti pelajaran." Setelah itu, pintu kelas saya tutup rapat-rapat. Saya kunci.

Saat pembelajaran berlangsung, beberapa siswa terlihat malas-malasan. Ada juga yang menyandarkan kepala di atas meja hendak tidur. Saya minta siswa yang terlihat malas-malasan untuk membaca buku dengan keras. Siswa yang hendak tidur tadi saya foto. Tentu mereka akan malu jika dirinya sedang tidur di kelas difoto. Siswa tersebut kemudian tak jadi tidur.

Pembelajaran di sekolah akan berjalan dengan baik jika guru dan siswa sama-sama memiliki niat untuk belajar dan mengajar.

Jika siswa tidak berniat untuk belajar, maka saya akan mempersilakannya untuk tidak mengikuti pelajaran. Demikian.

---

Sukoharjo, 26 Agustus 2014

***

Menghias Kelas (Catatan Pak Guru #5)

Ruang kelas IX B, SMP IT Mutiara Insan Sukoharjo

Saya Sukrisno Santoso, biasa dipanggil Pak Kris, guru Bahasa Indonesia di SMPIT Mutiara Insan Sukoharjo.

Beberapa waktu lalu diadakan kegiatan menghias kelas bagi para siswa. Kegiatan ini dilakukan pada awal masuk sekolah setelah siswa libur kenaikan kelas.

Aktivitas menghias kelas bagi siswa mungkin hanya dianggap sebagai aktivitas pengisi waktu luang dan sebagai kesenangan saja. Akan tetapi, sebenarnya banyak manfaat yang bisa didapatkan dari aktivitas tersebut bagi siswa.

Menghias kelas membutuhkan koordinasi tim -dalam hal ini ialah siswa dalam satu kelas. Ada pembagian tugas siapa yang membuat ini, siapa yang membuat itu, siapa yang menghias bagian ini, siapa yang menghias bagian itu.

Pembagian tugas berarti pula pembagian amanah (tanggung jawab). Setiap siswa diharuskan melaksanakan tugasnya masing-masing.

Menghias kelas membutuhkan kreativitas. Siswa akan berusaha membuat hiasan yang menarik dan sedap dipandang. Di sinilah kreativitas siswa dapat dilatih dan dikembangkan.

Kegiatan menghias kelas biasanya dilakukan siswa dengan hati riang. Mereka melakukannya sambil bercengkerama dan bercanda. Hal ini dapat membangun keakraban antarsiswa. Kecerdasan sosial dapat dikembangkan melalui kegiatan yang menyenangkan tersebut.

Jika kegiatan menghias kelas dilombakan, hal tersebut menambah manfaat yaitu terpacunya semangat siswa dengan kompetisi. Siswa akan belajar berkompetisi menghadirkan karya yang terbaik.

Pemberian hadiah bagi pemenang menjadi sebuah apresiasi atas kerja keras siswa. Penghargaan terhadap karya siswa mampu meningkatkan kepercayaan diri siswa. Bagi siswa yang bukan pemenang, hal tersebut menjadi pembelajaran untuk berlapang dada dan menerima segala sesuatu dengan hati tenang.

Hasil dari kegiatan menghias kelas adalah sebuah kelas yang nyaman. Siswa menjadi merasa nyaman belajar di dalam kelas.

Siswa juga akan lebih menghargai kelas dan fasilitasnya karena siswa merasa memiliki. Mereka telah "membangun" kelasnya dengan kerja keras sehingga akan memperhatikan perawatannya.

---

Sukoharjo, 12 Agustus 2014

***

Wali Kelas (Catatan Pak Guru #4)

Sedang menikmati kerja

Saya Sukrisno Santoso, biasa dipanggil Pak Kris. Saya wali kelas VIII B di SMPIT Mutiara Insan Sukoharjo.

Salah satu hal yang dapat membuat saya merasa canggung ialah ketika bertatap muka dengan orang tua siswa saat menyerahkan hasil belajar akhir semester.

Para orang tua siswa sebagian besar adalah tenaga pendidik juga: PNS. Sebagian malah kepala sekolah. Sebagian yang lain pengusaha. Saya hanya seorang guru muda yang belum menikah. : )

Dalam hal mendidik anak, mereka lebih berpengalaman. Begitu pula dalam hal pendidikan formal. Saya merasa kurang pantas berbicara mengenai pendidikan anak kepada mereka. Apalagi untuk memberi saran apa yang harus dilakukan mereka untuk membelajarkan anak di rumah.

Namun, bagaimana lagi. Sudah menjadi tugas wali kelas untuk memberikan evaluasi hasil belajar dan memberikan saran agar anak menjadi lebih baik.

---

Sukoharjo, 21 Juni 2014, duduk di bawah malam, menikmati semilir angin malam dan suara jengkerik yang bersahutan.

***

Makan Siang, Yuk! (Catatan Pak Guru #3)


Saya termasuk orang yang susah untuk mengingat nama orang. Sebagian besar guru-guru saya di SMP maupun SMK sudah tak saya ketahui namanya. Mungkin wajah guru-guru atau teman lama, masih saya ingat. Jadi, ketika berpapasan di jalan, saya bisa mengenali mereka. Akan tetapi, ya itu tadi, saya sudah lupa nama mereka. Maaf saja, sudah begitulah sifat saya sejak dulu.

Salah satu guru SMK yang masih saya ingat wajahnya ialah guru Bahasa Indonesia. Seorang wanita, berusia masih muda, energik, dan mudah dekat dengan siswa. Sekali lagi, saya lupa namanya.

Satu hal yang hingga kini masih saya ingat tentang guru tersebut yaitu ia pernah menraktir beberapa siswa. Termasuk saya salah satunya. Saat itu siang hari, panas. Warung mie ayam di samping sekolah menjadi acara berkumpul dan bersantap siang bersama. Kenangan itu masih melekat dalam benak saya.

Mungkin mennraktir makan merupakan sesuatu yang biasa. Secara materi juga tidak membutuhkan biaya yang banyak. Namun, ternyata hal itu menjadi sebuah memori yang tak terhapus bagi saya, salah seorang siswanya.

Jika saat ini saya ditanya, ingin menjadi guru seperti apa? Saya hanya ingin siswa-siswa saya tetap ingat kepada saya di masa yang akan datang. Mungkin saya adalah seorang guru biasa, tapi saya ingin siswa-siswa saya menjadi luar biasa. Dan di masa depan mereka masih mengingat saya sebagai guru yang biasa.

---

Sukoharjo, 29 Mei 2013

***

Belajar Bahagia (Catatan Pak Guru #2)

Siswa SMP IT Mutiara Insan bermain sepak bola saat hujan gerimis di halaman sekolah yang becek

Sabtu pagi. Halaman SMPIT Mutiara Insan.

Sambil menunggu ruangan dibuka, saya menyaksikan anak-anak siswa SMP IT bermain sepakbola dengan gawang yang terbuat dari tongkat bambu yang dipancangkan dan bola plastik yang sudah bocor. Hari ini tidak ada jadwal olahraga. Anak-anak itu tidak mengenakan kaos. Mereka berpakaian seragam pramuka. Baju dimasukkan ke dalam celana. Rapi.

Bagi orang dewasa, dengan pakaian yang rapi seperti itu, permainan sepakbola bukanlah aktivitas yang masuk dalam pertimbangan. Akan tetapi, anak-anak remaja itu terlihat senang. Tidak dipikirkannya pakaian yang akan kotor dan berkerut atau keringat yang membuat badan gerah. Yang ada dalam pikiran mereka hanyalah bagaimana caranya agar bisa merasa senang dan bahagia.

Siang hari, sinar matahari yang menyengat tak mampu menghalangi mereka untuk berebut bola. Pun demikian saat hujan. Mereka selalu mencuri-curi waktu untuk untuk bermain sepak bola di halaman sekolah. Itulah hobi mereka. Itulah kegiatan yang dapat menyenangkan hati mereka. Mereka bahagia.

Begitulah, hal-hal kecil dan sederhana mampu membuat anak-anak itu merasa bahagia. Mereka tertawa riang. Mereka bersenggolan, tubrukan, terpeleset, dan jatuh. Kotorlah badan dan pakaian mereka. Dan mereka merasa senang dengan kondisi seperti itu.

Mungkin kita perlu belajar kepada mereka bagaimana caranya berbagia. Kesibukan dan permasalahan yang melanda kita sehari-hari seringkali membuat kita tidak sempat untuk berbahagia. Peristiwa masa lalu yang menyedihkan seringkali membuat kita terkungkung dalam bayangan kepedihan. Atau gambaran masa depan yang tidak menentu seringkali menghantui pikiran kita.

Mengapa kita tidak mencoba untuk menikmati hari ini?

Kita sering membutuhkan banyak alasan untuk berbahagia. Padahal, banyak hal-hal kecil yang sesungguhnya bisa membuat kita bahagia. Seperti anak-anak itu tadi. Mereka menikmati hari ini. Mereka berbahagia hari ini.

Jadi, berbahagialah.

---

Sukoharjo, 4 Mei 2013

Kecintaan pada Sekolah (Catatan Pak Guru #1)

Gedung SMP IT Mutiara Insan Sukoharjo

Salah satu permasalahan yang dihadapi sekolah dengan jumlah siswa yang sedikit yaitu kurangnya kecintaan siswa terhadap sekolah. Hal ini wajar terjadi karena siswa cenderung membandingkan sekolahnya dengan sekolah lain. Ketika siswa melihat sekolah lain memiliki keunggulan-keunggulan ia merasakan dorongan untuk bisa menikmati keunggulan-keunggulan tersebut. Saat siswa tidak bisa menemukan keunggulan-keunggulan tersebut ada pada sekolahnya, ia akan merasa kecewa hingga rasa kecintaannya terhadap sekolah menjadi berkurang.

Pada usia remaja, siswa cenderung ingin mempunyai teman yang banyak. Hal inilah yangmendorong siswa merasa iri dengan sekolah lain dengan jumlah siswa yang banyak. Lahirlah dalam diri siswa rasa kecewa dan menurunnya kecintaan terhadap sekolah dikarenakan sekolahnya tidak mampu menyediakan apa yang dibutuhkannya, yaitu teman yang banyak.

Mengatasi permasalah tersebut dapat dilakukan dengan cara verbal dan tindakan. Secara verbal, siswa senantiasa diberi motivasi dan inspirasi tentang kecintaan terhadap ilmu, lingkungan sekolah, guru dan karyawan sekolah. Penyampaian kata-kata hikmah atau kisah-kisah inspiratif diharapkan dapat meningkatkan motivasi belajar siswa dan meningkatkan kecintaan siswa terhadap sekolah.

Tindakan yang dapat dilakukan oleh sekolah yaitu dengan membuat siswa merasa nyaman berada di sekolah. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan fasilitas, menigkatkan kualitas pembelajaran, peyalanan yang lebih baik, kegiatan ekstrakurikuler, dan kegiatan lain di luar jam sekolah. Melaksanakan kegiatan bersama dapat mempererat hubungan antarsiswa dan hubungan guru-siswa. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilaksanakan di antaranya:

1. Outbond
2. Mabit (malam bina iman dan takwa)
3. Olahraga
4. Karyawisata
5. Silaturahmi ke rumah orang tua siswa

Dengan langkah-langkah tersebut diharapkan dapat meningkatkan kecintaan siswa terhadap sekolah sehingga siswa merasa nyaman dan semakin semangat dalam belajar.

***

Sukoharjo, 20 April 2013