Pages

June 3, 2012

Saat Sekolah Menjadi Elitis

 “Pendidikan bukan persiapan untuk hidup; pendidikan adalah kehidupan itu sendiri.”
(John Dewey, 1948).
 
Kita mendapati sekolah dengan gelimang kisah, petuah, gairah, dan kemalasan sebagai sebuah institusi pendidikan. Ruang dan jalan sekolah tercipta dan digerakan oleh deretan konsensus kurikulum.Sekolah pun mulai dihuni oleh tubuh-tubuh mungil dengan kehausan ilmu dan buaian kasih guru. 
 
Melalui pelbagai pesan—pikiran, perasaan, dan imajinasi lekas bertumbuh membentuk diri, lalu menemukan jati diri para anak sekolah. Lebih jauh, masa depan dan impian terbersit hingga membuat setiap anak sekolah merelakan dirinya terpisah oleh tanah—tempat ia merajut masa kecil menuju ke sebuah perantauan ilmu.

Sejauh itu pula, sejak lampau kita acapkali mendengar sebuah hadist yang berbunyi: carilah ilmu sampai ke negeri Cina. Dan, melalui sekolah, kita menemui banyak ilmu yang mencipta para manusia yang mampu berpikir kritis, analitis, dan kreatif. Namun, ditengah hadirnya berbagai modernisme, sekolah ternyata telah menjulang tinggi, hingga ia tak menjangkau para tangan-tangan yang papa lagi.

Banyaknya politisme yang digerakan di area dalam maupun luar birokrasi sekolah, seperti dikatakan Adam Smith, penulis buku mahsyur Wealth of Nation itu sebagai the invisible hand (tangan yang tak tampak) melahirkan sekolah yang elitis, apatis, dan tak bekerja dalam lingkup keilmuan demi sebuah humanisme universal. Ia malah mencipta manusia yang haus akan uang, kekuasaan, dan wibawa, yang kerap menikam teman maupun lawannya dari belakang. Mungkin, korupsi yang berlimpah akan pengremusan berbagai aset negara itu pula yang banyak dilakukan oleh para manusia produk sekolahan yang kian elitis.


Elitisme Sekolah Kolonial
Melalui sekolah “etis”, yang pada mulanya diciptakan pemerintah Hindia Belanda, pada abad XIX itu, sekolah itu elitis. Bagi pribumi rendahan, sekolah menjadi angan absurd yang tak bakal dicapai demi suatu stratifikasi kelas atau sekadar mereguk ilmu modern ala barat. Elitisme sekolah itu terjadi melalui ruang, biaya, dan peraturan yang dibuat kolonial. Masa itu, sekolah menjadi oase ditengah keterbelakangan pribumi akibat kolonialisme. Soekarno pernah mendapat limpahan berkah sebagai anak priyayi rendahan yang mampu bersekolah di pendidikan elit model kolonial. Penuh takjub Soekarno menggambarkan bangunan sekolah model kolonial: Gedung itu bagus terbuat dari kayu, bukan bambu seperti sekolah kami dan dinding luarnya berwarna biru-muda. Disitu terdapat tujuh kelas. Berlainan dengan meja kami di sekolah-bumiputra, maka bangku-bangku disini mempunyai tempat tinta dan laci untuk buku (Cindy Adams, 2001).

Elitisme tak hanya terjadi pada pendidikan strata bawah. Pendidikan tinggi kolonial, yang dianggap sebagai sekolah pada strata tertinggi mengalami elitisme—yang marak dengan buaian ijazah dan pekerjaan di institusi pemerintah maupun swasta kolonial. Pengantaran ini menjebak dan menuai lulusan yang acuh pada keilmuan, pengabdian, dan destruksi nalar. Elitisme ini bahkan mencipta masyarakat kelas baru yang sengaja diciptakan dan dijadikan kaki tangan kolonial. Bagi pribumi rendahan, universitas (kolonial) tak menjadi angan. Itu sebabnya, Taufik Abdullah pernah memberi konklusi bahwa dari sudut struktur masyarakat kolonial, dengan kelas kelas sosial yang terdiri dari Belanda, Timur Asing, dan Pribumi bisa dimengerti bahwa univesitas ini juga begitu elitis (Prisma, 1978).


Asketisme Sekolah
Kita berharap sekolah itu asketis. Sekolah tak lagi menjamin dan mengiming-imingi dalam imajinasi yang begitu bombastis melalui paradigma kepamrihan. Iklan-iklan yang tersebar melalui berbagai retorika khas penuh rayuan mengeluarkan gelontoran dana besar hanya menjadikan sekolah itu telah terjebak pada nalar kapitalisme. Pelbagai sekolah pun menuai dan meraup anak sekolah yang mencipta berbagai kemungkinan tapi tak pernah luput dari segala tuntutan pamrih. Sebuah pernyataan satire terucap oleh Saichiro Honda, pendiri Honda Corp itu ketika ia ditanya oleh guru besarnya, “Saudara kau tak pernah masuk dan nilaimu tak pernah bagus disini, sebenarnya apa yang kau cari?”, tanya si guru besar.

“Aku tidak mencari nilai, yang aku cari disini adalah pengalaman dan ilmu”. Honda mencipta mesin dan mendirikan korporasi besar berdasar pengalaman dan ilmu yang direguk tanpa iming-iming ijazah dan pekerjaan. Ungkapan ini adalah perlawanan terhadap berbagai stigma dan aturan kurikulum, yang memang mencipta kaum teratur dan gampang diatur, atas suatu otoritas .

Sebagaimana kita lihat sekarang, sekolah modern mengikuti gaya khas sekolah kolonial. Sekolah tak memiliki nalar asketis. Yang terjadi justru adalah perlombaan gengsi melalui slogan, nama, fasilitas, biaya, bahkan bentuk bangunan. Sekolah sebagai institusi khalayak dan basis pengabdian ilmu malah mengalami alienasi dari waktu ke waktu. Sekolah adalah ruang elitis, yang dihuni oleh manusia manusia hedonis, konsumtif, dan apatis. Sekolah perlu mengalami kritik demi sebuah ikhtiar perefleksian atas berbagai keburukannya. Sasaki Shiraisi (2009) menyimpulkan,“Sekolah menyita suatu periode kehidupan seorang manusia atas nama masa depan”. Dan, masa depan kita sekarang ditentukan oleh institusi bernama sekolah.

Oleh: Saeful Achyar,
Mahasiswa PBSID UMS. Pengelola Majalah Papirus.


* Dikutip dari: Majalah FIGUR edisi Mei 2012

No comments:
Write comments