Pages

November 23, 2015

Kisah Sebutir Permen

Gambar hanya ilustrasi.

Inilah kisah sebutir permen pada suatu hari di sekolah.
Sebutir permen yang mencari pemiliknya.

Hari itu cuaca panas. Suasana gerah menyelubungi seisi sekolah. Untungnya, kelas di lantai dua –tempatku mengajar—masih terasa ada hembusan angin dari arah selatan. Mengurangi hawa panas dan gerah pada pelajaran Bahasa Indonesia pagi itu.

Pagi itu, sebelum mengajar, saya menyempatkan makan pagi di warung soto di pinggir jalan Tentara Pelajar. Setelah makan pagi, saya melihat di jok sepeda motor ada beberapa koin uang receh. Saya memang biasanya menaruh uang receh kembalian membeli sesuatu di jok sepeda motor. Terlintas dalam benak saya untuk membeli sebungkus permen.

Setelah menghitung uang receh yang ada, saya melaju ke minimarket terdekat. Saya memilih sebungkus permen seharga tujuh ribu rupiah. Harga sejumlah uang receh di dalam jok motor. Sebungkus itu berisi dua puluh butir permen.

Di dalam kelas, setelah menyampaikan materi tentang menulis naskah drama, saya meminta para siswi untuk membuat kelompok beranggotakan 7 orang. Tugas mereka adalah membuat naskah drama yang akan mereka pentaskan.

Sebelum saya menyerahkan waktu berdiskusi untuk mereka, saya merogoh kantong sambil berkata, “Sebelum kalian mengerjakan tugas ini, Pak Guru memiliki hadiah untuk kalian.”
Terlihat wajah-wajah yang berbinar mendengar kata hadiah.

Kemudian saya perlihatkan sebungkus permen itu. Saya tahu, sebutir permen bukanlah pemberian yang berharga, namun setidaknya itu yang bisa saya berikan. Dan saya tulus memberikannya. Harapan saya, mereka bisa merasa senang dengan pemberian yang tak seberapa itu.

Saya berkeliling kelas, menghampiri meja para siswi satu per satu. Saya serahkan kepada mereka langsung.
“Kenapa Pak Guru memberi permen?” tanya seorang siswi.
“Karena Pak Guru senang membuat kalian senang,” jawab saya sambil tersenyum.

“Pak Guru suka muter-muter, ya?” tanya seorang siswi yang duduk di kursi paling belakang setelah menerima sebutir permen. Maksud pertanyaan itu ialah mengapa saya berjalan keliling kelas untuk memberikan permen satu per satu.
“Karena kalau Pak Guru di depan terus, nanti yang di belakang merasa tidak terperhatikan.”

Ada sisa enam permen. Jumlah siswi di kelas ini lima belas, satu siswi absen. Enam permen itu masuk kembali ke dalam saku.

Jam pelajaran berikutnya, saya mengajar di kelas sebelah dengan jumlah 22 siswa. Pelajaran TIK dengan materi membuat brosur menggunakan aplikasi Microsoft Office 2007 atau 2010. Hanya ada tiga laptop di dalam kelas.

Setelah menyampaikan materi, saya meminta beberapa siswa untuk praktik. Saya mengiming-imingi hadiah sebutir permen bagi siswa yang mau praktik. Kemudian beberapa dari mereka berebut untuk praktik. Satu siswa menyelesaikan tugas, hadiah sebutir permen untuknya. Disusul siswa yang lain, hingga tersisa satu permen di tangan saya. Dan, waktu pelajaran pun usai. Beberapa siswa berebut meminta permen yang tinggal satu butir itu. Saya tidak memberikannya karena yang lain akan iri.

Saat akan shalat Dhuhur saya melihat seorang siswa yang akan wudhu. Saya teringat sebutir permen yang ada di dalam saku. Saya mau memberikannya kepada siswa tersebut, namun tiba-tiba temannya muncul dari dalam kamar mandi. Ternyata siswa tersebut bersama dua orang temannya. Saya pun tak jadi mengeluarkan permen tersebut. Permennya cuma satu, sedangkan mereka ada tiga. Saya tak mau bersikap tidak adil dengan memberikannya kepada salah seorang dari mereka.

Sebutir permen itu tetap menetap di dalam saku saat saya shalat Dhuhur. Pun, ketika saya mengajar jam terakhir. Jam pelajaran membaca Al-Quran yang berakhir ketika Ashar. Saat jam mengajar akan selesai, ada dua siswa yang terlihat bersitegang. Dua siswa yang berasal dari kelas yang berbeda. Awalnya mereka bercanda. Belum sempat saya menegur, mereka sudah terlihat saling mendorong. Terlihat amarah di wajah mereka.

Saya pun segera melerai mereka. Salah satu dari mereka saya minta keluar untuk wudhu –waktu itu adzan Ashar sudah berkumandang. Satu siswa saya minta duduk di tempat. Setelah beberapa saat, setelah amarah dan rasa jengkelnya reda, saya mengajak siswa yang duduk itu untuk wudhu.

Sebutir permen itu masih tak meninggalkan saku. Hingga shalat Ashar selesai.

Setelah shalat Ashar, saya memanggil dua siswa yang bertengkar tersebut. Setelah duduk tenang, saya bertanya kepada mereka.

“Siapa yang salah?” tanya saya.
“Saya yang salah, Pak,” jawab seorang dari mereka. 


“Siapa yang salah?” tanya saya kepada yang lainnya.
“Dia yang salah, Pak. Tapi, saya juga salah, Pak,” jawabnya.
Kemudian mereka bersalaman tanpa saya minta.

“Masalah ini biar diselesaikan oleh wali kelas,” kata saya. “Kamu besok sebelum Dhuhur silakan menghadap wali kelas kamu. Bilang bahwa kamu hari ini bertengkar. Mintalah nesehat dan mintalah hukuman. Mengerti?”
“Mengerti, Pak.”
“Kamu silakan keluar, pulanglah.”

Siswa tersebut kemudian bersalaman dengan saya dan keluar ruangan. Siswa yang satu lagi, karena saya wali kelasnya, saya yang menanganinya. Saya ingatkan kepadanya bahwa ia memiliki potensi yang baik, potensi sebagai pemimpin, dan lain-lain. Nasehat yang saya berikan tak sampai dua menit.

“Ini adalah kejadian yang pertama dan yang terakhir, mengerti?” kata saya. “Pak Guru tidak mau kamu ada masalah seperti ini lagi.”
“Iya, Pak.”

Kemudian saya teringat sebutir permen di dalam saku. Saya ambil permen itu. Saya sodorkan kepadanya.
“Ya sudah, sekarang pulanglah,” kata saya sambil menyerahkan permen itu.

Itulah kisah sebutir permen pada suatu hari di sekolah.


***

Sukoharjo, 21 November 2015



No comments:
Write comments