Pages

November 18, 2015

Mari Duduk dan Menangis Bersama

Ini kejadian dahulu.

Selama dua hari keadaan kelas tegang. Ruang kelas didominasi oleh raut muka yang jenuh, jengkel, cemberut, sedih, marah. Begitu juga kelas sebelah.

Alkisah, penghuni dua kelas ini sedang mengalami gesekan, khususnya para siswi. Sebut saja kelas A dan B. Kebetulan saya wali kelas B. Mereka bersitegang karena satu dan beberapa masalah. Masalah remaja. Masalah ego, eksistensi diri. Berawal saling melempar ejek, membanding-bandingkan, hingga timbul amarah. Kemudian saling diam.

Awalnya saya tidak menganggap serius masalah ini. Namun setelah dua hari tak menunjukkan masalah ini akan mereda, akhirnya saya berniat menyelesaikan masalah ini. Saya sebagai wali kelas merasa bertanggung jawab membatu para siswa menyelesaikan masalah. Biasanya saya cukup diam dan mengawasi, membiarkan mereka belajar menyelesaikan masalahnya sendiri. Kali ini, kiranya mereka membutuhkan bimbingan.

Sebelum saya sempat menemui mereka, setelah jam pelajaran usai, beberapa dari mereka mendatangi saya. Mereka ingin curhat, menyampaikan permasalahan mereka. Saya pun “diseret” ke dalam kelas.

Di dalam kelas, mereka mulai berbicara. Saya menanyakan akar permasalahannya. Belum lama kami berbincang, para siswi kelas A, melihat dan mendengar perbincangan kami. Mereka pun masuk ke dalam kelas. Mereka bermaksud pula mengadukan permasalahan. Maklum, saya dekat dengan para siswi di kedua kelas itu. 


Jadilah mereka berkumpul dalam satu kelas. Siswi kelas A berkumpul membuat lingkaran dan siswi kelas B membuat lingkaran sendiri. Perhatian mereka tertuju kepada saya.


Saya memberi kesempatan kepada salah satu pihak untuk mengadukan permasalahan mereka. Kemudian, bergantian pihak yang lain. Saya mencegah agar tidak ada yang menyahut saat yang lain berbicara.

Mereka mengadukan beberapa hal: suka mengejek temannya, sikap yang menjengkelkan temannya, merasa dianak-tirikan, perhatian guru yang tidak adil, dan lain-lain yang saya sudah lupa apa saja.

Saat mengungkapkan hal tersebut, beberapa dari mereka sudah tak tahan menahan air mata. Mata mereka berkaca-kaca, beberapa mengalirkan air mata. Maklum, anak putri.

Setelah semua selesai menyampaikan aduan dan pendapatnya, giliran saya yang berbicara. Awalnya, saya meluruskan beberapa hal yang membuat mereka salah paham dan salah sangka. Setelah itu, saya menyampaikan beberapa hal. Saya tidak membahas permasalahan mereka secara detail. Saya tidak bertanya dan mencari tahu siapa yang salah dan siapa yang memulai masalah.

Saya menyampaikan pentingnya persahabatan. Bahwa persahabatan itu berharga. Dan semakin banyak dan besar badai yang menghantam ikatan persahabatan itu, semakin kuat ia. Saya juga menyampaikan beberapa contoh bentuk persahabatan yang kuat yang telah melalui ujian gesekan dan ketegangan.

Saya mengingatkan mereka bahwa sahabat adalah orang yang terlalu berharga untuk dilepaskan hanya karena masalah-masalah kecil. Bahwa setiap sahabat tidak selalu menjadi orang yang kita inginkan, bahkan kadang menjadi sangat menyebalkan. Namun, seperti itulah sahabat.

Dengan itulah saya menyentuh hati mereka. Mereka mendengarkan dengan khyusuk dan kepala tunduk. Hampir semua dari mereka menangis. Wajah-wajah mereka basah oleh air mata. Pipi mereka memerah.

Saya diam sejenak. Saat akan melanjutkan berbicara, salah satu dari mereka menyela ingin berbicara. Setelah menghentikan tangisnya dan mengatur napas, ia mengatakan mewakili teman-teman sekelasnya meminta minta maaf pada teman-teman dari kelas satunya.

Ucapan maaf pun berhamburan. Maaf dan memaafkan. Senyum campur tangis pun menghias wajah-wajah mereka. Kamu bisa membayangkan kan bagaimana wajah yang awalnya menangis sedu kemudian tersenyum-senyum.
 

Lalu kehadiran saya terabaikan, seolah-olah saya tidak ada di situ karena mereka sudah sibuk bermaaf-maafan dan saling cium pipi. 

Saya tak mengira masalah selesai secepat itu. Dari awal perbincangan hingga terucap kata maaf mereka, tak sampai waktu lima belas menit. Saya bersyukur. Mereka memang anak-anak yang baik.

Untuk menyelesaikan masalah dua belah pihak, yang kita butuhkan adalah komunikasi. Duduk bersama. Dalam kasus ini ialah duduk bersama dan menangis bersama. Lalu akan kita lihat seolah-olah mereka tidak pernah saling membenci. Dan persahabatan mereka semakin erat.


***

Sukoharjo, 18 November 2015

No comments:
Write comments