Pages

May 19, 2012

Tips Menjadi Guru Berkarakter

Pertanyaan klasik:
“Benarkah kesejahteraan guru akan meningkatkan kualitas para pendidik sekaligus kualitas pendidikan kita?”

Selama ini persoalan kualitas guru yang memburuk, baik secara penguasaan pengetahuan maupun degradasi moral sesungguhnya merupakan warisan sejarah dan situasi sosial secara umum dalam kurun sejarah perkembangan ekonomi-politik kita. 
 
Indonesia yang di jaman Soekarno ‘mengekspor’ guru-guru ke negeri Malaysia kini tinggal cerita setelah kualitas guru dan pendidikan kita kini tertinggal jauh bukan hanya dengan Malaysia, tetapi juga dengan India dan (bahkan) Vietnam.

Konon pada era 1950-an, guru begitu dihormati karena memiliki standar kehidupan yang mapan. Tapi, perlu dicatat, khususnya oleh para guru, apakah penghormatan terhadap seseorang semata-mata dari sisi material? Pada era 1950-an, guru-guru selain menguasai ilmu yang diajarkan, juga memiliki penguasaan bahasa asing seperti Inggris dan Belanda. Belum lagi, sikap dan ketulusan pengabdian mereka dapat menjadi teladan.

Banyak kritik yang telah dialamatkan pada pemerintah akan kondisi ini. Keberadaan guru yang tidak bergairah dalam mengajar, posisi mereka yang kemudian jadi calo buku ajar yang membuat buku pelajaran harus berganti-ganti tiap tahun ajaran baru, serta keberadaan mereka sebagai pendukung kekuasaan Orde Baru melalui kebijakan monoloyalitas ke pada Golkar dan pemerintah adalah kasus-kasus yang sangat sulit disembunyikan pada era itu.

Upaya meningkatkan kesejahteraan sebenarnya telah diupayakan sejak pemerintah Orde Baru runtuh. Kenaikan gaji yang dimulai di jaman pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan pemberian gaji ketiga belas yang hingga sekarang masih dilakukan ternyata juga belum menunjukkan kualitas guru dan perbaikan mereka sebagai ujung tombak dalam pendidikan generasi bangsa. Berarti tesis yang menganggap bahwa mutu guru dan pendidikan kita akan meningkat dengan dinaikkannya gaji ternyata tidak cukup valid. Persoalan yang masih dominan adalah bahwa guru masih belum memiliki kebebasan. Kesejahteraan yang diberikan juga masih terbatas dan tertinggal di banding negara-negara lain.

Tentu saja peningkatan kesejahteraan, tak akan cukup mampu merubah kualitas guru dan pendidikan kita jika tidak dibarengi dengan perubahan budaya mendidik dan semangat pendidikan. Katakanlah dengan adanya ketidaksejahteraan atau kekurangan gaji para guru tak akan fokus untuk mendidik karena mereka harus menghabiskan waktu untuk berpikir dan melakukan aktivitas lainnya di luar mengajar agar mereka dapat memenuhi kekurangan pedapatannya. Maka, setelah gaji mereka cukup dan tak lagi pusing untuk ‘ngobjek’ di luar, maka kini sudah saatnya mereka mulai mengabdikan dirinya secara penuh dalam bidang pendidikan, mengajar anak-anak dengan tingkat semangat yang lebih besar dan kompetensi mengajar yang lebih kuat.

Guru-guru sekarang harus mewarisi semangat “Umar Bakrie” yang semangat meskipun kesejahteraannya terbatas atau guru era Ki Hajar Dewantoro yang mendalami makna pendidikan dengan merelakan diri sebagai pendidik yang mirip martir atau relawan. Ki Hajar Dewantoro adalah tipe pendidik yang tak keranjingan gaji besar, bahkan hartanya direlakan agar anak-anak bumi putra tidak lagi bodoh. 
 
Tujuannya adalah semata-mata penyadaran dan upaya menciptakan kebangkitan rakyat, dan bukannya menjadi guru karena butuh pekerjaan dan gaji. Menjadi guru adalah tugas kemanusiaan. Dan bukankah dengan gaji yang cukup, justru harus lebih bersemangat lagi dibanding ‘Umar Bakrie’ maupun Ki Hajar?

Mengajar dengan ketulusan adalah kata kunci pendidikan untuk pengabdian dan sebagai proyek kemanusiaan—bukan proyek meningkatkan gaji. Terkait pengabdian guru, kita dapat menarik pelajaran dari film Laskar Pelangi yang diputar di stasiun TV dan bioskop beberapa waktu ini. Film yang diadopsi dari novel Andrea Hirata itu menceritakan seorang guru bernama Ibu Muslimah yang tetap bersemangat menunaikan tugasnya meski gajinya harus dihutang dua bulan. Gaji diutang dua bulan saja tetap bersemangat. Bukankah itu tantangan bagi para guru yang gajinya justru akan dinaikkan menjadi minimal Rp 2 juta/bulan?

Meskipun demikian, tetap harus kita perhatikan bahwa peningkatan gaji bukanlah satu-satunya faktor bagi kemajuan pendidikan kita. Faktor lainnya adalah faktor struktural. Para guru selama tiga dekade Orde Baru dijadikan ”bemper” politik bagi kekuatan Partai Golkar. Guru dijadikan agen politik pembangunanisme dan juga agen pemenangan program politik Golkar. 
 
Melalui organisasi Korpri dan PGRI, mereka dijadikan proyek korporatisme negara. Akibatnya para guru tidak memiliki jiwa pembaruan dan inisiatif dalam menggali khazanah ilmu pengetahuan serta keberanian mengembangkan inovasi pembelajaran yang terlepas dari politik pendidikan. Dalam konteks itu jiwa dan mental demokrasi guru juga ditumpulkan.

Kemudian juga masih kuatnya politik pendidikan yang mengontrol arah dan sistem pendidikan selama tiga dekade membuat para guru seperti ”robot” yang dipenjara melalui tugas-tugas kedinasan yang stagnan. Mudah-mudahan dengan cukupnya gaji, guru-guru kita akan lebih independent, berkarakter, dan tak hanya tunduk pada politik pendidikan yang menghambat kemajuan bangsa.


Tujuh Prinsip Menjadi Guru yang Berkarakter
Ketujuh prinsip itu adalah:
  1. Mampu menunjuk ke dalam diri (Responsible) 
  2. Melakukan Perubahan (Action) 
  3. Membuat jarak sependek mungkin 
  4. Melakukan hal yang penting 
  5. Mengedepankan Pengaruh 
  6. Mengubah Paradigma 
  7. Role model

Seorang guru berkarakter memahami lima level pemimpin, yaitu:
  1. Kekuatan (power/force) 
  2. Ancaman (tread) 
  3. Pemberian hadiah/iming-iming (libery) 
  4. Memakai alasan/menjelaskan (reasonry) 
  5. Hanya dengan permintaaan (pengaruh) atau simple Request

Seorang guru adalah seorang yang telah menyerahkan dirinya dalam organisasi sekolah, dia tidak bisa melakukan tindakan dan berperilaku sesuai keinginan sendiri, tetapi harus dapat menyesuaikan diri dengan peran dan tugasnya sesuai peran dan tuntutan tugas serta aturan organisasi yang menjadi kewajiban bagi seorang guru. 
 
Oleh karena itu, GURU HARUS TAHU ATURAN, BERSEDIA DIATUR, dan BISA MENGATUR. Tahu aturan bermakna memahami bagaimana mekanisme kerja organisasi, dengan pemahaman itu maka seorang guru harus mau dan bisa diatur sesuai dengan mekanisme yang berlaku, serta harus bisa mengatur dalam arti mengelola secara optimal apa yang menjadi peran dan tugasnya dalam organisasi sekolah.

Siswa adalah manusia utuh, maka terimalah dia apa adanya. Siswa adalah individu yang utuh dengan keseluruhan sikap, prilaku, kepribadian serta latar belakang sosial budayanya. Kita tidak bergaul, berinteraksi dengan salah satu aspeknya saja tetapi dengan keseluruhannya. Kesadaran dan kerelaan menerima kenyataan bahwa interaksi dengan siswa sebagai suatu keseluruhan akan menumbuhkan perhatian (concern), rasa peduli (caring), rasa berbagi (sharing), dan kebaikan yang tulus (kindness).

Pendidikan karakter sejatinya bukan hanya sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Lebih dari itu, pendidikan karakter adalah usaha menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik (habituation) sehingga peserta didik mampu bersikap dan bertindak berdasarkan nilai-nilai yang telah menjadi kepribadiannya. Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan pengetahuan yang baik (moral knowing), perasaan yang baik atau loving good (moral feeling) dan perilaku yang baik (moral action) sehingga terbentuk perwujudan kesatuan perilaku dan sikap hidup peserta didik.


Nilai-nilai Karakter (sumber: Pusat Kurikulum) yang perlu diinternalisasikan antara lain:
  1. Religius 
  2. Jujur 
  3. Toleran 
  4. Disiplin 
  5. Kerja keras 
  6. Kreatif 
  7. Mandiri 
  8. Demokratis 
  9. Rasa ingin tahu 
  10. Semangat kebangsaan 
  11. Cinta tanah air 
  12. Menghargai prestasi 
  13. Bersahabat/komunikatif 
  14. Cinta damai 
  15. Senang membaca 
  16. Peduli sosial 
  17. Peduli lingkungan 
  18. Tanggung jawab


PERAN GURU Di sekolah, guru adalah teladan, guru adalah contoh. Penanaman pendidikan karakter kepada siswa tidak akan sukses jika guru tidak mampu menunjukkan contoh karakter yang baik pula. Akan percuma jika guru hanya mampu menyusun perangkat pembelajaran (Silabus dan RPP) dengan integrasi nilai-nilai karakter di dalamnya, tetapi tidak mampu memberi contoh karakter yang baik kepada peserta didik.

Peserta didik tergantung pada guru. Jika guru baik, maka mereka akan baik dan istiqomah dalam hal ilmu maupun amal. Namun jika guru berkarakter buruk, maka InsyaAllah itu adalah musibah besar. Guru harus turun dan bergaul dengan peserta didik. Generasi muda kita tidak kurang dalam hal intelegensi dan intelektualitas. Mereka hanya butuh orang yang bisa membakar motivasi dan menumbuhkan kecintaan mereka akan ilmu. Dan orang itu adalah guru.


Dikutip dari Buku Tips Menjadi Guru Berkarakter karya Lina Nuryani, Ita Ratnasari, & Vera Ernianingtyas, Mahasiswa PBSID FKIP UMS (Belum Diterbitkan)

Konsep Pendidikan Karakter

Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/ dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. 
 
Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).

Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”. 
 
Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.

Pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.

Menurut Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.

Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut.

Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. 
 
Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.

Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.

Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.

Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development) yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut.


Kofigurasi Karakter

Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan moral. Menurut Hersh, et. al. (1980), di antara berbagai teori yang berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan; yaitu: pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku sosial. Berbeda dengan klasifikasi tersebut, Elias (1989) mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku. Klasifikasi didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni: perilaku, kognisi, dan afeksi.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

Pada tahun 2012 ini, ada hal penting yang mestinya mendapat perhatian ekstra para guru. Hal penting itu adalah, keharusan para guru untuk kreatif. Kreatifnya para guru bukan saja memberi manfaat bagi guru yang bersangkutan, tetapi juga murid dan profesi guru serta dunia pendidikan. Artinya, selama ini banyak guru yang belum kreatif dan tidak berkembang. Bahkan tertinggal dalam melaksanakan tugas sebagai seorang pendidik. Hal demikian banyak disebabkan oleh terjebaknya para guru dalam rutinitas kerja yang melulu berpatokan pada kurikulum, tanpa melihat apa yang menjadi kebutuhan diri dan peserta didik serta tantangan dunia pendidikan, terlebih tantangan di masa depan.

Banyak guru yang ternyata tidak mampu memaknai dan menyikapi suatu kurikulum secara benar. Apalagi tidak semua guru bisa memahami dengan baik di samping tidak mau tahu tentang pentingnya kurikulum dikembangkan sesuai tantangan. Di lain sisi, keinginan untuk kreatif dan maju sering terbentur pada tidak terdukungnya diri dari segi finansial, waktu, lokasi maupun organisasi. Kondisi ini sering beriringan dengan besarnya kebutuhan guru yang harus dipenuhi, namun juga tidak mudah untuk memenuhinya.

Yang tidak sabar dan tidak mampu menggunakan akal sehatnya, tentu banyak guru kreatif tetapi kreatif yang semu atau bahkan kreatif dengan unsur tidak layak dilakukan oleh seorang guru. Sebagai contoh adalah, ada oknum guru yang tega menjadi alat penjualan buku secara sesat kepada anak didik. Maunya guru menjual buku seperti itu bukanlah tanpa sebab lain. Buktinya, banyak guru yang ikut menjual buku produk penerbit tertentu lantaran ada imbauan, instruksi dan bahkan paksaan dari atasan. Minimal ada rasa rikuh pakewuh untuk menolak.

Adapula yang main tipu-tipu, dari membuat laporan palsu, sampai berdagang ilmu dengan cara yang saru alias tidak jujur dalam memberi nilai pada anak didik yang ikut les padanya. Fatalnya, saat diberi amanat, banyak pula guru yang tidak amanah, suka mbathi (ambil untung dengan cara sesat). Saat ujian pun, ada yang berusaha mencarikan bocoran atau membantu berbuat curang.

Kondisi seperti itu yang kemudian memunculkan fakta, kalau ada guru yang kesannya kreatif, tetapi kreatif yang tidak positif dan bermoral. Tidak banyak guru yang kreatif sejati, yaitu kreatif yang positif, bermoral dan memberi manfaat bagi banyak pihak. Keadaan yang tidak menguntungkan seperti itu jelas membuat banyak guru terjebak ke dalam ketidakmampuan memerankan diri sebagai guru yang kreatif yang positif serta bermoral. Kita sangat membutuhkan guru kreatif yang dapat memberi warna positif dalam proses pencerdasan kehidupan bangsa.

Untuk itu setidaknya dapat dimulai dari, bahwa guru harus memahami tugas pokok, fungsi dan tantangannya. Dalam hal ini, guru jangan sekadar melaksanakan tugas rutinitas tanpa berkreasi yang positif terkait dengan profesinya. Guru, harus aktif mencari informasi terkait dengan pengembangan potensi diri. Bila memungkinkan, guru juga harus dapat menguasai lebih dari satu disiplin ilmu disertai dengan pengembangan dan penerapan pengetahuan maupun keterampilan yang baik.

Di sisi lain, pemerintah tak boleh diskriminatif terhadap guru. Guru di negeri, swasta, di kota atau di desa harus mendapat kesempatan yang sama untuk dapat lebih kreatif. Oleh karena itu, perlu didukung piranti lunak yang mendukung guru untuk dapat lebih kreatif. Kurikulum yang ada harus selalu ditegaskan sebagai patokan dasar yang mesti dihormati namun mutlak dikritisi dan dikembangkan oleh setiap guru sesuai kebutuhan serta tantangan. Semua ini, juga perlu ada dukungan dari atasan dan lembaga terkait, sehingga membantu pengembangan kreativitas guru. Termasuk pula, dukungan dana yang memadai tanpa harus ada potongan yang tidak sesuai aturan.

Namun, supaya beda tolok ukurnya, kreativitas guru harus ada evaluasi berkesinambungan yang fair, ada penghargaan dan sanksi. Demikian halnya bagi pimpinan dan lembaga tempat guru berkiprah. Perhatian dan dukungan dari berbagai pihak itu, dimaksudkan untuk memberi spirit guru agar lebih kreatif. Jangan sampai guru diajak bertindak apalagi melawan hukum atau kecurangan dalam berbagai macam bentuknya.


Dikutip dari Buku Tips Menjadi Guru Berkarakter karya Lina Nuryani, Ita Ratnasari, & Vera Ernianingtyas, Mahasiswa PBSID FKIP UMS (Belum Diterbitkan)

Peranan Guru di Sekolah

Peranan diartikan sebagai seperangkat tingkah laku atau tugas yang harus atau dapat dilakukan seseorang pada situasi tertentu sesuai dengan fungsi dan kedudukannya. 
 
Seperangkat tugas yang harus dilakukan seseorang sesuai dengan kedudukan dan harapan masyarakatnya disebut dengan peranan yang diharapkan atau ascribed role. Sedangkan seperangkat tugas dan kewajiban yang dapat dilaksanakan sesuai dengan kondisi yang ada merupakan peranan yang dapat dicapai atau disebut achieved role.

Secara umum banyak sekali peranan yang mesti dilakukan guru dalam melaksanakan tugasnya di sekolah. Namun, peranan guru yang paling pokok berhubungan erat dengan tugas dan jabatannya sebagai suatu profesi. Tugas guru secara profesional menurut Sutan Zanti Arbi dalam Wahyudin et.al (2007:9.32) meliputi tugas mendidik, mengajar dan melatih.

Mendidik berarti pemberian bimbingan pada anak agar potensi yang dimilikinya berkembang seoptimal mungkin dan dapat meneruskan serta mengembangkan nilai-nilai hidup. Sebab tugas guru disamping menyampaikan ilmu pengetahuan, juga mencakup pembentukan nilai-nilai pada diri murid yang tertuju pada pengembangan seluruh aspek kepribadian murid secara utuh agar tumbuh menjadi manusia dewasa.

Mengajar berarti memberikan pengajaran dalam bentuk penyampaian pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) dan ketrampilan (psikomotor) pada diri murid agar dapat menguasai dan mengembangkan ilmu dan teknologi. Guru sebagai pengajar lebih menekankan pada pelaksanaan tugas merencanakan, melaksanakan proses belajar-mengajar dan menilai hasilnya. Untuk melaksanakan tugas ini, guru disamping harus menguasai materi atau bahan yang akan diajarkan, juga dituntut untuk memiliki seperangkat pengetahuan dan ketrampilan teknis mengajar.

Sehubungan dengan tanggung jawab profesional, dalam melaksanakan tugas mengajar ini, guru dituntut untuk selalu mencari gagasan-gagasan baru (inovasi), berusaha menyempurnakan pelaksanaan tugas mengajar, mencobakan bermacam-macam metode dalam mengajar dan mengupayakan pembuatan serta penggunaan alat peraga dalam mengajar. Gagasan baru (inovasi) yang dilakukan oleh guru hendaknya bertujuan untuk penyempurnaan kegiatan belajar-mengajar.

Melatih lebih ditekankan pada tujuan mengembangkan ketrampilan tertentu agar para siswa mengalami peningkatan kemampuan kerja yang memadai.

Cece Wijaya (dalam Wahyudin et.al, 2007: 9.33) juga menyatakan ada tiga tugas dan tanggung jawab pokok profesi guru, yaitu: guru sebagai pengajar, pembimbing dan administrator kelas. Sebagai pengajar, guru lebih menekankan pada tugas dalam merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran. Oleh karena itu, ia dituntut untuk memiliki seperangkat pengetahuan dan ketrampilan teknik mengajar, disamping menguasai bahan yang diajarkannya.

Sebagai pembimbing, guru lebih menekankan pada tugas memberikan bantuan kepada siswa agar dapat memecahkan masalah yang dihadapinya. Sedangkan tugasnya sebagai administrator kelas, akan memadukan ketatalaksanaan pengajaran dengan ketatalaksanaan pada umumnya. Namun tugas ketatalaksanaan bidang pengajaran yang harus lebih diutamakan oleh guru.

Sehubungan dengan tugas profesionalnya, seorang guru paling tidak harus melaksanakan peranan sesuai dengan profil kemampuan dasar profesional guru dalam proses belajar-mengajar sebagai berikut:
  1. Menguasai bahan pelajaran. 
  2. Mengelola program belajar-mengajar. 
  3. Mengelola kelas. 
  4. Menggunakan media dan sumber. 
  5. Menguasai landasan-landasan kependidikan. 
  6. Mengelola interaksi belajar-mengajar. 
  7. Menilai prestasi siswa untuk kepentingan pengajaran. 
  8. Mengenal fungsi dan program pelayanan bimbingan dan penyuluhan. 
  9. Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah. 
  10. Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran.

Redja Mudyahardjo (dalam Wahyudin, et.al, 2007: 9.34) mengelompokkan jenis kemampuan pokok yang ideal dikuasai guru profesional ke dalam 3 kelompok, yaitu:
  1. Kemampuan membantu siswa belajar secara efisien dan efektif agar mencapai hasil optimal. Adapun kemampuan itu terdiri atas: (1) Mengelola kegiatan belajar mengajar dan (2) Melakukan bimbingan siswa. 
  2. Kemampuan menjadi penghubung kebudayaan dan masyarakat yang aktif kreatif dan fungsional. Adapun kemampuan ini terdiri dari: (1) Menjadi mediator kebudayaan baik sebagai pembawa kebudayaan, pemelihara kebudayaan maupun sebagai pengembang kebudayaan dan (2) Menjadi komunikator sekolah dan masyarakat. 
  3. Kemampuan menjadi pendukung pengelolaan program kegiatan sekolah dan profesi. Adapun dalam hal ini guru dapat melakukan kegiatan sebagai berikut: (1) Menjadi anggota staf sekolah yang produktif dan (2) Menjadi anggota administrasi profesional yang produktif.

Idealnya, tingkat kemampuan yang diharapkan dimiliki guru profesional adalah tingkat kemampuan yang menunjukkan efisiensi yang tinggi dalam melaksanakan pekerjaannya. Menurut Alen Richard dalam Wahyudin et .al (2007:9.34) efisiensi profesional mencakup 5 kemampuan, yaitu:
  1. Ketrampilan teknologi yaitu dapat melakukan pekerjaan dengan menggunakan teknik-teknik kerja ilmiah yang mendekati kesempurnaan. 
  2. Pengetahuan teknologi yang relevan yaitu dapat menguasai teknik-teknik kerja ilmiah yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan bidang pekerjaannya. 
  3. Pengetahuan tambahan untuk pengembangan yaitu dapat menguasai pengetahuan tentang konsep dan metode penelitian dan pengembangan yang dapat dipergunakan dalam bidang pekerjaannya. 
  4. Kemampuan mengambil keputusan secara tepat yaitu dapat melaksanakan kepemimpinan dalam bidang pekerjaannya. 
  5. Kualitas Moral yaitu teguh terikat pada kode etik jabatannya dalam situasi bagaimana pun yang dihadapinya.
 
Mengacu kepada berbagai kemampuan dasar yang mesti dikuasai oleh guru profesional tersebut nampak bahwa para guru dalam melaksanakan tugasnya dituntut untuk selalu memperbaharui kemampuannya agar dapat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi baik didalam lingkungan kerjanya maupun yang ada di lingkungan sekitarnya.

Setiap perubahan yang terjadi pada suatu aspek kehidupan akan menimbulkan perubahan pada aspek lainnya pula. Misalnya perkembangan pada bidang ilmu pengetahuan dan teknologi akan menimbulkan perubahan dalam bidang lain seperti ekonomi dan bidang sosial budaya. Demikian pula perubahan yang terjadi dalam dunia pendidikan akan berpengaruh pada guru sebagai pemeran utama dalam menentukan keberhasilan pendidikan. 
 
 
Dikutip dari Buku Tips Menjadi Guru Berkarakter karya Lina Nuryani, Ita Ratnasari, & Vera Ernianingtyas, Mahasiswa PBSID FKIP UMS (Belum Diterbitkan)

Tips Menjadi Guru Favorit



Jika seorang guru mengamalkan kebijakan, kebijaksanaan, dan kearifan, maka ia senantiasa akan disenangi murid-muridnya. Apabila seorang guru mengerti kondisi kejiwaan murid-muridnya, maka tanpa diminta dan diperintah, para murid akan segan dan menaruh hormat kepadanya. 

Begitupun seorang guru memiliki sikap laksana cahaya, yang selalu memberikan cahanya kepada semua orang, maka semua guru, orang tua murid, dan masyarakat akan memberikan simpati kepadanya. Ia pun menjadi vaforit semua orang.

Jika semua guru bisa mempraktekkan sikap sabar, tenang, jujur, berkomitmen, memiliki visi dan misi, bisa menjadi sahabat, penengah, pendengar, serta senantiasa menjadikan cinta dan kasih sayang sebagai baju dan jiwanya, maka proses pembelajaran akan berjalan dengan begitu nikmat, menyenangkan dan mengembirakan. Guru semacam ini pasti akan menjadi favorit para siswanya. Kedatangannya senantiasa ditunggu. Sikapnya senantiasa diperhatikan kemudian diteladani. Apabila dia tidak masuk mengajar, maka semua murid akan bersedih.

Seorang guru menjadi panutan dan teladan masyarakat. Guru tidak hanya diperlukan oleh para murid di ruang-ruang kelas, tetapi juga diperlukan oleh masyarakat lingkungannya dalam menyelesaikan aneka ragam permasalahan. Dengan demikian masyarakat mendudukkan guru pada tempat yang terhormat dalam kehidupan masyarakat, yakni sebagai sumber teladan dan inspirasi di tengah-tengah masyarakat.

Guru adalah pahlawan. Guru adalah pribadi dengan semangat untuk terus berjuang mencerdaskan anak bangsa. Guru adalah pribadi dengan semangat pembebasan yang senantiasa bergelora di dalam dirinya. Tetapi ada juga guru yang belum paham peran fungsi, dan perilaku mereka sebagai pengubah, seorang yang menjadi panutan murid-muridnya.

Beberapa hal berikut ini kiranya bisa dijadikan bahan refleksi untuk para uru agar menjadi guru yang baik dan menjadi guru favorit, guru yang disenangi siswa yang pada akhirnya membawa dampak positif bagi siswa, yaitu membuat kegiatan belajar mengajar berjalan dengan lancar, menarik, dan menyenangkan.


1. Sabar
Sabar mengarahkan kita kejalan yang lurus. Tanpa sabar, kita bagaikan kehilangan arah dalam melakukan sesuatu. Berbekal kesabaran inilah, kita akan mampu membingkai setiap keraguan dan kecemasan menjadi optimis. Sering kali kita mengalami putus asa, malas, cemas, dan ragu-ragu. Pada hal seperti ini, kiita jelas membutuhkan sifat dan karakter diri yang mampu menggugah diri kita agar mampu menjadi manusia berarakter dan sempurna.

Hal ini pula yang harus dimiliki oleh seorang guru. Karena para anak didik itu mempunyai karakter yang berbeda-beda. Tidak semua anak didik adalah pribadi yang rajin, tekun an memperhatikan pelajaran. Tetapi ada pula anak yang justru kerap berbuat yang negative, missal mengganggu temannya, usil dalam proses belajar mengaja, tidak memperhatikan penjelasan guru dan malas belajar.

Menyikapi keaadaan ini, tentu kesabaran menjadi sebuah hal yang sangat penting. Dengan kesabaran akan membingkai semua tutur kata dan jalinan sikap seorang guru agar selalu dalam kebijakan. Seorang guru harus mempunyai sikap bijak salah satunya adalah kesabaran.


2. Bisa Menjadi Sahabat
Seorang guru yang baik adalah dia yang bisa menjadi sahabat bagi murid-muridnya. Kondisi perkembangan kehidupan yang kian pesat dan bebas seperti sekarang membutuhkan pendekatan dan penyikapan yang benar dan tepat. Beralas pada asumsi tersebu, tidak mengherankan jika banyak anak didik yang harus diperhatikan, tidak hanya itu tentu saja dinamika yang demikian tidak jarang membuat seorang siswa rawan disapa masalah, yang jika tidak disikapi dengan benar akan membuat siswa tersebut terjebak pada bingkai kehancuran diri dan masa depannya.

Tatkala seorang anak didik sedang diselimuti masalah, dia membutuhkan seorang yang bisa membuatnya tenang. Kondisi yang begitu kritis akan bisa dinetralisasi dengan kasih sayang dari orang tua. Akan tetapi, intensitas pertemuan dengan orang tua tidak berlangsung setiap saat.

Seorang guru memiliki kewajiban untuk masuk kewilayah atau kondisi anak yang sedang sendirian ini, karena sedang tidak bersama dengan orang tuanya. Seorang guru sangat ditunggu peran aktifnya sebagai seorang sahabat, seorang yang bersedia menemani.

Seorang guru yang mempunyai sikap berempati terhadap apa yang terjadi pada anak-anak didiknya akan memberikan kenyamanan. Dalam proses berlangsungnya pembelajaran membutuhkan pendekatan rasa atau hati. Pendekatan dengan hati ini bisa memberikan efek yang optimal pada proses pembelajaran.

seorang guru yang bisa menjadi sahabat bagi anak-anak didiknya, ditambah dengan kemampuan dalam berperilaku dan ungkapannya yang menggunakan hati, akan membuatnya menjadi guru idaman, guru yang senantiasa diidolakan para muridnya.


3. Konsisten dan Komitmen dalam Bersikap
Seorang guru akan berhasil memberikan pemahaman dan pengetahuan kepada anak-anak didiknya jika dia konsisten dan komitmen pada tindakan dan perilakunya. Sudah sering dikatakan bahwa murid akan meneladani apa yang ada dan apa yang dikatakan oleh seorang guru. Keteladanan akan menghasilkan hal-hal yang positif jika di iringi dengan konsistensi.

Seorang guru yang konsisten mengarahkan agar anak-anak didiknya senantiasa menjalankan proses, dan dia sendiri juga demikian. Konsistensi adalah alas yang sangat kokoh unuk membangun sebuah peradaban yang lebih baik. Konsistensi dan komitmen dalam diri akan mengkristal menjadi semua pola sikap atau kepribadian yangbisa menghargai setiap kinerja dan karakter dari anak-anak didiknya. Mengajar akan menyenangkan apabila seorang guru paham apa yang sedang dilakukan murid adalah usahanya untuk mengapresiasi kedirian, kemanusiaan dan kehidupan yang juga merupakan elaborasi atas apa yang diberikan oleh sang guru.

Seorang guru yang sejak awal menunjamkan dalam diri bahwa anak didik adalah manusia dengan sangat banyak potensi akan selalu berpegang pada semangat kerja keras untuk terus mengasah dan mebimbing para siswa agar bisa berkembang menjadi lebih baik, dan lebih baik lagi.

 

4. Bisa menjadi Pendengar dan Penengah
Kemampuan menjadi pendengar sangat diperlukan, bahkan harus dimiliki semua guru. Kekurangan keberhasilan atau bahkan ketidakberhasilan proses pembelajaran tidak sedikit yang disebabkan oleh sikap guru yang tidak bisa menjadi pendengar yang baik bagi anak-anak didiknya. Sepandai apapun sang guru, tetapi tidak memiliki kompetensi menjadi seorang pendengar yang baik, ia tidak akan disenangi siswa. Misalnya, karena merasa bisa segala hal, seorang guru lantas asyik dengan keterangannya di depan kelas dan acuh terhadap murid, termasuk yang sedang mengajukan pertanyaan, maka guru seperti itu tidak akan mendapatkan simpati dari murid.

Di dalam pendidikan, suasana kekeluargaan adalah sebuah hal yang sangat penting. Di dalam pendidikan, harmonitas hubungan fisik dan emosional merupakan sebuah bentuk penghargaan pada hidup itu sendiri, oleh karena itu, jika ada seorang guru yang harus ikut campur dengan masalah anak-anak didiknya, meski masalah tersebut terkesan kecil.

Sikap demikian bukanlah sebuah penurunan derajat kemuliaan guru. Hal itu justru menunjukkan bahwa dia sang guru sejatinya. Ia berusaha menghadirkan suasana hangat di dalam kelas maupun di uar kelas. Ia berusaha menjadi penengah dari masalah yang menghimpit anak-anak didiknya.

Seorang guru yang bisa menjadi penengah bagi masalah para siswanya adalah seorang guru sejati, yang tidak heran jika para siswa kemudian bersimpatidan menjadikannya guru favorit. Seorang guru yang bisa menjadi penengah adalah guru yang sedang memahat kebaikan di benak dan pikiran anak-anak didiknya.


5. Visioner dan Misioner
Visi dan misi merupakan hal yang sangat penting. Sebab visi dan misi menjadi senjata yang selalu tajam. Visi dan misi ang bagus bisa mengarahkan anak yang terkesan bandel atau nakal, padahal ia sebenarnya merupakan anak yang pintar, cerdas, dan kreatif.

Untuk bisa membimbing dan memaksimalkan potensi anak-anak cerdas dan kreatif, juga memiliki rasa ingin tahu. Visi dan misi seorang guru dalam mengajar memberikan kredit yang sangat besar. Visi seorang yang bagus akan membuatnya memberikan penghargaan yang besar terhadap anak-anak didiknya.

Misi seorang guru bahwa mendidik adalah usaha untuk memanusiakan manusia dan memaksimalkan segenap potensi yang dimiliki anak akan membuatnya bisa memaklumi, setiap proses yang dijalani anak. Guru jenis ini akan menompa semangat anak untuk mengembangkan bakat potensinya.

Seorang guru yang memiliki visi dan misi yang bagus akan menyikapi anak sebagai manusia mulia yang sangat berkembang menjadi pribadi luar biasa di kemudian hari. Selain itu seorang guru, yang bervisi danantang agar anak didik misi bagus senantiasa akan menghadirkan suasana dialogis-menantang agar anak-anak didiknya senantiasa berusaha memaksimalkan potensi dan bakatnya dengan terus menerus mengasah potensi dan bakat tersebut menjadi dahsyat lagi.


6. Rendah Hati
Seorang guru yang berhasil memerankan kerendahan hati dalam kehidupannya akan membuatnya selalu lancer dalam menyikapi perkembangan dan perilaku anak-anak. kerendah hatian yang di praktikan guru memberikan pemahaman dan keteladanan bagi anak-anak didik untuk juga mengamalkan perilaku yang sama.

Seorang guru yang bersikap rendah hati akan sangat mudah memberikan nilai positif kepada anak-anak didiknya. Karena kerendahan hati tersebut mampu membingkai banyak kearifan, yang ini akan menjadikan peserta didik sebagai pelaku utama dalam pendidikan, karena kerendahan hati mengajarkan anak didik senantiasa menghargai proses dan keunikan masing-masing siswa.

Seorang siswa yang dihargai kelebihan dan keunikannya akan bersemangat untuk belajar dan menghasilkan banyak karya dan kreativitas. Sikap ini merupakan titik tolak perubahan seorang anak didik di masa yang akan datang. Konsepsi anak didik bahwa keunikan yang dimiliki memberikan kebahagiaan bagi orang lain membuatnya selalu dalam kondisi jiwa yang tenang.

Kerendahan hati membingkai semua laku dan pahatan pikiran selalu tertata dengan baik. Kerendahan hati mengemas semua kebijaksanaan seseorang guru, dalam ketenangannya dan dalam kebersahajaannnya. Seorang pendidik yang memiliki siakap ini dengan begitu adalah guru yang bisa membimbing anak didik menjadi manusia unggulan. Seorang guru yang rendah hati tidak akan pernah menganggap diri mengetahui semua hal. Seorang guru yang rendah meyakini bahwa anak-anak didiknya memiliki banyak sekali kelebihan, dan ini belum tentu ada didalam dirinya. Seorang guru yang rendah hati, bahkan tidak akan canggung menempatkan anak-anak didiknya sebagai partner untuk mengasah keilmuan dan kebijaksanaan.

Seorang guru yang senantiasa menampilkan kerendahhatian tidak akan dianggap rendah atau direndahkan oleh para murid. Kerendahatian yang ditampilkan sang guru justru membuatnya ditinggikan oleh para siswa. Mereatau kka menjadi hormat kepada sang guru. Tidak hanya iti siswa akan selalu merindukan kegiatan belajar mengajar dengan guru yang bersangkutan.


7. Menyenangi Kegiatan Mengajar
Saat kita menyenangi sesuatu, maka kita begitu menikmati sesuatu itu. Kita tidak akan merasa capek dengan sebuah aktivitas jika aktivitas tersebut sesuai dengan hobi atau an mengajar. Jika kecenderungan kita. Sama halnya dengan kegiatan mengajar, maka ia akan selalu dalam suasana yang sangat menyenangkan. Sehingga proses ketika ia memberikan informasi, motivasi maupun memberikan tawaran nilai dan kemandirian kepada anak-anak didik, berlangsung dengan begitu mengembirakan. Menganggap bahwa mengajar merupakan suatu aktivitas yang sangat menyenangkan memberikan motivasi untuk senantiasa ada dalam kondisi fit. Riang

Perasaan guru yang nyaman dan gembira riang dalam kelas memberikan pengaruh mendasar dan tajam bagi kepribadian anak. Para siswa juga akan merasa senang untuk menerima pelajaran. Maka hasilnya akan berdampak baik pada nilai dan ilmu yang disampaikan juga akan deserap oleh para siswa.

Sebaliknya jika ketika guru datang ke sebuah kelas dengan perasaan yang marah dan hati yang murung karena ada masalah keluarga, kondisi seperti ini bisa membuat guru tidak nyaman dalam mengajar. Sengajar pun menjadhingga proses belajar menjadi tidak nyaman. Hal ini akan mengakibatkan dampak negative pada nilai dan ilmu yang sudah disampaikan tidak akan bermanfaat bagi murid.

Oleh karena itu, rasa memiliki dan menjiwai terhadap dunia kepengajaran memiliki tingkat keterpengaruhan yang luar biasa bagi keberhasilan pendidikan dan pengajaran. Rasa memiliki ini menjadi titik awal, atau bisa pula dikatakan sebagai rasa utama dalam dunia pendidikan dan pengajaran. Jika asas ini kokoh dan kuat, proses belajar dan mengajar senantiasa akan memendarkan kearifan dan kebijaksanaan. Perasaan senang mengajar akan memberikan garis lurus kesimpulan bahwa hal itu akan membuat anak-anak didik atau para siswa senang pula belajar, atau menerima pelajaran dari guru. Sebuah perilaku yang saling menguntungkan, pada titik ini, menemukan titik aksentuasinya.


8. Memaknai Mengajar sebagai Pelayanan
Memaknai mengajar sebagai sebuah pelayanan memberikan semangat untuk senantiasa memberikan yang terbaik bagi siswa. Para siswa dengan demikian akan memberikan pelajaran dan bimbingan karena pelayanan kepada mereka dengan sebaik-baiknya.

Pelayanan seorang guru terhadap pendidikan dan juga terhadap anak didik membingkai semua siklus pembelajaran yang menarik. Suatu pekerjaan jika dimaknai sebagai pelayanan akan menjadikan pekerjaan tersebut begitu menyenangkan. Rasa capek tidak akan menyurutkan langkah untuk memberikan yang terbaik kepada orang lain. Harus disadari bahwa mengajar dan belajar dan belajar mempunyai fungsi yang berbeda, proses yang tidak sama dan terpisah. Perbedaan mengajar dan mengajar bukan hanya disebabkan karena mengajar dilakukan oleh seorang guru sedangkan belajar berlangsung didalamnya.

Hubungan yang baik dan unik ini akan berlangsung manakala seorang guru bisa memaknai dan menunjamkan dalam diri bahwa mengaja adalah sebuah bentuk pelayanan kepada masyarakat. Hal ini akan membuat seorang guru senantiasa membangun jalinan komunikasi yang baik dengan para siswanya, dengan para orang tua siswa, dan dengan masyarakat secara umum.

Perkembangan murid merupakan tujuan semua institusi pendidikan dan semua guru. Untuk bisa mewujudkan pengoptimalan perkembangan potensi siswa, konsep melayani bisa menjadi salah satu caranya. Dengan konsep melayani, maka semua elemen dan individu yang ada dalam lingkungan instansi dalam kependidikan akan dengan riang hati memberikan yang terbaik kepada para siswa.


9. Bahasa Cinta dan Kasih Sayang
Cinta dan kasih sayang memberikan peran dan pengaruh yang sangat besar bagi keberlangsungan pendidikan, bahkan kehidupan ini. Cinta memiliki kekuatan yang sangat besar untuk memberikan perubahan, sekecil apapun dan sebesar apapun. Cinta selalu menjadi perbincangan selama kehidupan masih berlangsung, ini karena daya yang dimilikinya memang demikian dahsyat dan tak terkira.

Cinta senantiasa akan menjadi inspirasi dalam keberlangsungan pendidikan. Sebabnya tidak lain karena ia membingkai semua hal kebaikan yang ada di dunia ini. Dengan demikian, jika kemudian pendidikan menjadkan cinta sebagai landasannya, maka hal itu sangat lah bagus. Tidak hanya itu cinta kan menjadi usaha tak kenal lelah untuk memberikan kasih saying kepada semua orang, yang dalam hal ini adalah anak didik. Korelasi antara cinta dan kasih sayangini senantiasa akan menampilkan titik konfirmasinyayang selalu ideal.

Apabila seorang guru memiliki cinta di dalam dirinya, maka ia bisa membimbing anak-anak didiknya untuk berubah menjadi manusia dengan kekuatan dahsyat yang senantiasa menyeruak dari dalam dirinya. Seorang guru yang didalam jiwanya menyublim cinta tidak akan pernah membeda-bedakan anak didiknya. Berdasarkan perbedaan agama, warna kulit, suku, bahasa, maupun strata sosial. 


Guru yang dapat menagkap tanda-tanda adanya masalah pada murid akan mengenyampingkan dulu semua rencana kegiatan belajar. Dia akan menyelenggarakan didkusi kelas sehingga masing-masing murid bebas untuk mengutarakan perasaan mereka. Di sini diperlukan keterampilan mendengarkan secara aktif. Diskusi kelas tersebut member kesempatan kepada murid untuk mengungkapkan perasaan dan sikap yang mungkin akan bertentangan dengan peraturan atau norma sekolah. Akan tetapi, hal ini akan dapat mengembangkan kemampuan intelektual mereka.

Seorang guru dengan cinta dan kasih sayang mengkristalkan di dalam jiwanya.. tidak akan sulit membuat lingkungan yang baik dan kondsif bagi kelancaran proses belajar mengajar ini, sebab ia dengan mudah bisa mengarahkan kecenderungan anak didik, dari melakukan hal-hal yang tidak baik dan tidak bermanfaat menuju aksi nyata positif dan bermanfaat. Pasalnya, anak didik juga telah nyaman dengan keberadaan sang guru tersebut. Akhirnya lingkungan belajar, bik yang bermakna fisik maupun non fisik, senantiasa akan dalam keadaan kondusif untuk kelangsungan pendidikan dan pembelajaran.


10. Menghargai Proses
Pembahasan tentang proses akan menanamkan halaman paling panjang di banding dengan pembahasan yang lain. Pasalnya, pendidikan ataupun pembelajaran adalah prose situ sendiri. Bisa pula dikatakan bahwa pendidikan dan kegiatan belajar-mengajar adalah nama lain dari sebuah proses.

Proses dan hasil merupakan sebuah jalinan yang tidak akan terpisah, artinya selalu beriringan. Sirkulasi indah tersebut berlaku dalam semua aktivitas yang dijalani, baik oleh manusia, binatang maupun tumbuhan. Tarian-tarian yang ditampilkan semua makhluk tersebut menggambarkan dengan sangat gambling bahwa demikianlah proses dan hasilsedang berada pada titik eksistensinya.

Begitupun dalam proses pembelajaran, maka proses dan hasil ini akan terus menjadi perihal utama pada tiap helai kajiannya. Hasil belajar yang baik bermula dari jalinan proses yang indah mengagumkan. Begitu pentingny proses, sehingga tidak sedikit para pakar pendidikan sangat menganjurkannya. Memang, dalam kurikulum kependidikan, dan juga kehidupan, proses merupakan perihal yang sangat vital. 


Dalam bisnis, misalnya proses merupakan bekal trpenting dalam meraih kesuksesan. Keuletan dan kesabaran yang ditunjukkan para pebisnis sukses kiranya juga menjadi “kaca benggala” dalam memandang proses tersebut, karena proses yang berkelindan dalam kesabaran dan keuletan itulah semangat untuk terus memandang hidup dan kehidupan ini dengan optims dan kepala tegak.


Dikutip dari Buku Tips Menjadi Guru Berkarakter karya Lina Nuryani, Ita Ratnasari, & Vera Ernianingtyas, Mahasiswa PBSID FKIP UMS (Belum Diterbitkan)

Bagaimana Menjadi Guru yang Berkarakter?



Seiring perkembangan zaman, posisi guru, dan peran guru juga mengalami perubahan. Otoritas guru semakin menyusut ditengah perubahan yang kian kompleks. 

Guru kini menghadapi tantangan besar yang semakin hari semakin berat. Hal ini menuntut seorang guru untuk senantiasa melakukan berbagai upaya dalam meningkatkan kualitas pribadi maupun sosialnya. Tanpa usaha semacam ini, posisi dan peran guru akan semakin terkikis. 
Jika seorang guru senantiasa memiliki sepirit yang kuat untuk meningkatkan kualtas pribadi maupun sosialnya, maka keberhasilan dalam menjalankan tugasnya akan lebih cepat untuk tercapai, yaitu mampu melahirkan para siswa yang memiliki budi pekerti luhur, memiliki karakter sosial dan professional sebagaimana yang menjadi tujuan utama dari pendidikan . Adapun karakter pribadi guru dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk sikap yaitu;


1. Seorang guru harus mempunyai wawasan yang luas
Seorang guru harus selalu berusaha secara maksimal untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuannya. Prinsip belajar sepanjang hayat tidak hanya berlaku pada seorang siswa, tetapi juga seorang guru. Guru adalah sosok teladan dari prinsip ini. Perkembangan zaman yang semakin cepat terutama pendidikan mengharuskan seorang guru meresponnya secara kreatif. 

Jika guru tidak cepat merespon perkembangan pendidikan yang sudah modern maka apa yang akan di ajarkan guru akan kehilangan spektif yang mencerahkan. Tidak akan ada nuansa, pandang, dan perkembangan yang diajarkan oleh guru. Guru yang seperti itu sangat monoton di ibaratkan seperti kaset yang terus menerus diputar ulang tanpa ada penambahan sama sekali.

2. Seorang guru harus menyampaikan sesuatu yang benar dan memberikan manfaat
Guru adalah panutan, terutama bagi siswa seperti pepatah yang mengatakan guru patut di tiru lan di gugu. Menyampaikan ilmu yang tidak benar dan tidak membawa manfaat merupakan sebuah kesalahan yang fatal karena hal itu akan menjerumuskan siswa kedalam jurang kesalahan. Seorang guru dalam menyampaikan materi harus sesuai dengan landasan kebenaran keilmuan yang kukuh serta tmemberikan nilai kemanfaatan.

3. Dalam menghadapi setiap permasalahan, seorang guru harus mengedepankan sikap objektif
Sikap objektif merupakan bentuk usaha dari seorang guru untuk memahami dan menyikapi setiap persoalan secara professional. Sikap emosional merupakan sebuah sikap yang kerap menjerumuskan seorang guru kepada subjektivitas. Sikap objektifitas penting untuk dimiliki oleh seorang guru. Sikap semacam ini akan menjadikan seorang guru mampu melihat, menyikapi, dan menghadapi segala persoalan dengan penuh kearifan.

4. Seorang guru harus memiliki motivasi dan loyalitas

Karakter semacam ini akan menjadikan seorang guru semakin berwibawa dan menjalankan profesinya dengan penuh penghayatan dan totalitas.

5. Kualitas dan kepribadian moral harus menjadi aspek penting yang melekat dalam diri guru
Tugas seorang guru bukan sekedar mengajar, tetapi juga menjadi teladan. Apapun yang yang ada pada diri seorang guru akan menjadi perhatian dan sorotan para siswanya. Dengan hal semacam ini, keteladanan sangat penting untuk dimiliki seorang guru. Guru yang pandai tetapi tidak memiliki moral yang baik justru akan merusak terhadap citra seorang guru. Hal ini merupakan aspek penting yang harus memperoleh perhatian secara memadai dari setiap guru. 

Sekarang ini semakin banyak saja guru yang menampilkan citra yang negatif, mulai guru yang melakukan kekerasan, melakukan tindakan moral, dan berbagai perilaku yang kurang terpuji lainnya. Disinilah makna pentingnya menjaga kwalitas moral kepribadian bagi seorang guru.

6. Seorang guru harus mengikuti perkembangan IPTEK yang kian pesat

Kondisi ini mengharuskan seorang guru untuk mengikuti informasi dan teknologi yang kian modern. Jangan sampai seorang menjadi sosok yang gaptek dan tidak mengikuti dinamika perkembangan teknologi yang berkembang sedemikian pesat.


Dikutip dari Buku Tips Menjadi Guru Berkarakter karya Lina Nuryani, Ita Ratnasari, & Vera Ernianingtyas, Mahasiswa PBSID FKIP UMS (Belum Diterbitkan)


May 13, 2012

KBK dan KTSP

 
 A. Pengertian Kompetensi dan Kurikulum Berbasis Kompetensi
Kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. 


Mc Ashan (1981:45) mengemukakan bahwa kompetensi “….is a knowledge, skills, and abilities or capabilities that a person achieves, which become part of his or her being to the exent he or she can satisfactorily perform particular cognitive, affective, and psychomotor behaviors". 

Dalam hal ini, kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya.

Kompetensi yang harus dikuasai peserta didik perlu dinyatakan sedemikian rupa agar dapat dinilai, sehingga wujud hasil belajar peserta didik yang mengacu pada pengalaman langsung. Peserta didik perlu mengetahui tujuan belajar, dan tingkat-tingkat penguasaan yang akan digunakan sebagai kriteria pencapaian secara eksplisit, dikembangkan berdasarkan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dan memiliki kontribusi terhadap kompetensi yang sedang dipelajari.

Berdasarkan pengertian diatas, Kurikulum Berbasis Kompetensi dapat diartikan sebagai suatu konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dan standar performansi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu. Kurikulum berbasis kompetensi diarahkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap dan minat peserta didik, agar dapat melakukan sesuatu dalam bentuk kemahiran, ketetapan dan keberhasilan dengan penuh tanggungjawab.

Kurikulum Berbasis Kompetensi memfokuskan pada pemerolehan kompetensi-kompetensi tertentu oleh peserta didik. Oleh karena itu kurikulum ini mencakup sejumlah kompetensi dan seperangkat tujuan pembelajaran yang dinyatakan sedemikian rupa, sehingga pencapaiannya dapat diamati dalam bentuk perilaku atau ketrampilan peserta didik sebagai suatu kriteria keberhasilan. 


Kegiatan pembelajaran perlu diarahkan untuk membantu peserta didik menguasai sekurang-kurangnya tingkat kompetensi minimal agar mereka dapat mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkan. Sesuai dengan konsep belajar tuntas dan pengembangan bakat, setiap peserta didik harus diberi kesempatan untuk mencapai tujuan sesuai dengan kemampuan dan kecepatan belajar masing-masing.

Kurikulum Berbasis Kompetensi menuntut guru yang berkualitas dan professional untuk melakukan kerjanya dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan. Meskipun demikian, konsep ini tentu saja tidak dapat digunakan sebagai resep memecahkan semua masalah pendidikan. Namun, dapat memberi sumbangan yang cukup signifikan terhadap perbaikan pendidikan.

Dalam hubungannya dengan pembelajaran, kompetensi menunjuk kepada perbuatan yang bersifat rasional dan memenuhi spesifikasi tertentu dalam proses belajar. Kompetensi selalu dilandasi oleh rasionalitas yang dilakukan dengan penuh kesadaran “mengapa dan bagaimana “ perbuatan tersebut dilakukan. 


Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kompetensi merupakan indikator yang menunjuk kepada perbuatan yang bisa diamati dan sebagai konsep yang mencakup aspek-aspek pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap, serta tahap-tahap pelaksanaannya secara utuh. Kompetensi tersebut terbentuk secara transaksional, bergantung pada kondisi-kondisi dan pihak-pihak yang terlibat secara aktual.

B. Landasan Teoritis yang Mendasari KBK
Ada 3 landasan yang mendasari Kurikulum Berbasis Kompetensi, yaitu :
  1. Adanya pergeseran dari pembelajaran kelompok kearah pembelajaran individual. Dalam pembelajaran individual setiap peserta didik dapat belajar sendiri, sesuai dengan cara dan kemampuannya masing-masing, serta tidak bergantung orang lain. Untuk itu diperlukan pengaturan kelas yang fleksibel baik sarana maupun waktu, karena dimungkinkan peserta didik belajar dengan kecepatan yang berbeda, penggunaan alat yang berbeda serta mempelajari bahan ajar yang berbeda pula.
  2. Pengembangan konsep belajar tuntas ( mastery learning ) atau belajar sebagai penguasaan (learning of mastery ). Suatu falsafah pembelajaran yang mengatakan bahwa dengan sistem pembelajaran yang tepat, maka semua peserta didik dapat mempelajari semua bahan yang diberikan dengan hasil yang baik.
  3. Pendefinisian kembali terhadap bakat.
Dalam kaitan ini Hall (1986 ) menyatakan bahwa setiap peserta didik dapat mencapai tujuan pembelajaran secara optimal, jika diberikan waktu yang cukup. Jika asumsi itu diterima maka perhatian harus dicurahkan kepada waktu yang diperlukan untuk kegiatan belajar.

Implikasinya terhadap pembelajaran:
  1. Pembelajaran perlu lebih menekankan pada kegiatan individual meskipun dilaksanakan secara klasikal, dan perlu memperhatikan perbedaan peserta didik. 
  2. Perlu diupayakan lingkungan belajar yang kondusif, dengan metode dan media yang bervariasi, sehinnga memungkinkan setiap peserta didik belajar dengan tenang dan menyenangkan. 
  3. Dalam pembelajaran perlu diberikan waktu yang cukup, terutama dalam penyelesaian tugas atau praktek, agar setiap peserta didik dapat mengerjakan tugas belajarnya dengan baik.

Ashan ( 1981 ) mengemukakan 3 hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi, yaitu penetapan kompetensi yang hendak dicapai, pengembangan strategi untuk mencapai kompetensi dan evaluasi.

C. Karakteristik Kurikulum Berbasis Kompetensi
Karakteristik kurikulum berbasis kompetensi antara lain mencakup seleksi kompetensi yang sesuai, spesifikasi indikator-indikator evaluasi untuk menentukan kesuksesan pencapaian kompetensi dan pengembangan sistem pembelajaran. Kurikulum berbasis kompetensi juga memiliki sejumlah kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta didik, penilaian dilakukan berdasarkan standar khusus sebagai hasil demonstrasi kompetensi yang ditunjukkan oleh peserta didik. 


Pembelajaran telah menekankan pada kegiatan individual personal untuk menguasai kompetensi yang dipersyaratkan, peserta didik dapat dinilai kompetensinya kapan saja dan bila mereka telah siap, dan dalam pembelajaran peserta didik dapat maju sesuai dengan kecepatan dan kemampuan masing-masing.

Depdiknas (2002 ) mengemukakan bahwa kurikulum berbasis kompetensi memilki karakteristik sbb:
  1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal. 
  2. Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
  3. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan-pendekatan metode yang bervariasi.
  4. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memiliki unsur educatif.
  5. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.


KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP)

A. Pendahuluan
Pemerintah telah mempercepat pencanangan Milenium Development Goals, yang ssemula dicanangkan tahun 2020 dipercepat menjadi tahun 2015. Milenium Development Goals adalah era Pasar Bebas atau Era Globallisasi. Sebagai era pencanangan mutu atau kualitas, siapa yang berkualitas dialah yang akan maju dan mampu mempertahankan eksisitensinya. Oleh karena itu pembangunan SDM yang berkualitas merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. 


Hal tersebut mutlak dilakukan, karena akan menjadi penopang utama pembanguanan nasional yang mandiri dan bekeadilan, Good Governance and Clean Govenance, serta menjadi jalan keluar bagi bangsa Indonesia dari multidimensi krisis, kemiskinan dan kesenjangan ekonomi.

Salah satu cara untuk meningkatkan SDM adalah melalui peningkatan pendidikan. Salah satu komponen penting dari sistem pendidikan tersebut adalah kurikulum, karena kurikulum meerupakan komponen pendidikan, baik oleh pengelola maupun penyelenggara, khususnya oleh guru dan kepala sekolah. Karena kurikulum dibuat secara sentralistik, setiap satuan pendidikan diharuskan untuk melaksanakan dan mengimplementasikannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) yang disusun oleh pemerintah pusat menyertai kurikulum tersebut.

B. Apa itu KTSP
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi sekolah/daerah, karakteristik sekolah/daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan karakteristik peserta didik. Sekolah dan Komite Sekolah, atau Madrasah dan Komite Madrasah mengembangkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan silabus berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi kelulusan.

KTSP merupakan upaya untuk menyempurnakan agar lebih familiar dengan guru, karena mereka banyak dilibatkan diharapkan memiliki tanggung jawab yang memadai. Penyempurnaan kurikulum yang berkelanjutan merupakaqn keharusan agar sistem pendidikan nasional tersebut selalu relevan dan kompetitive. Hal tersebut juga sejalan dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 35 dan 36 yang menekankan perlunya peningkatan standar nasional pendidikan sebagai acuan kurikulum secara berencana dan berkala dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun, dikembangkan dan dilaksanakan oleh setiap satuan pendidikan yang sudah siap dan mampu mengembangkannya dengan memperhatikan UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 36.

  • Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. 
  • Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversivikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik.
  • Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dasar dan menengah dikembangkan oleh sekolah dan komite sekolah berpedoman pada standar kompetensi lulusan dan standar isi serta panduan penyusunan kurikulum yang dibuat oleh BSNP.
Dalam pengembangan KTSP, perlu juga diperhatikan upaya-upaya memaksimalkan fungsi dan peran stratetgis guru dan dosen yang meliputi :
  1. Penegakan hak dan kewajiban guru dan dosen sebagai tenaga profesional 
  2. Pembinaan dan pengembangan potensi guru dan dosen 
  3. Perlindungan hukum
  4. Perlindungan profesi
  5. Perlindungan keselamatan dan keselamatan kerja

C. Tujuan KTSP
Secara umum tujuan diterapkannya KTSP adalah untuk memandirikan dan memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian kewenangan (ototnomi) kepada lembaga pendidikan dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam pengembangan kurikulum. Secara khusus tujuan diterapkannya KTSP adalah sebagai berikut.
  1. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengembangkan kurikulum mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia. 
  2. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam pengembangan kurikulum melalui pengambilan keputusan bersama.
  3. Meningkatkan kompetensi yang sehat antar satuan pendidikan tentang kualitas pendidikan yang akan dicapai.

D. Landasan Pengembangan KTSP
KTSP dilandasi oleh UU dan peraturan pemerintah sebagai berikut :
  1. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas 
  2. Peraturan pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
  3. Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang standar Isi
  4. Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang standar kompetensi kelulusan
  5. Permendiknas No. 24 Tahun 2006 tentang pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan No. 23

E. Karakteristik KTSP
Karakteristik KTSP dapat diketahui antara lain dari bagaimana sekolah dan satuan pendidikan dapat mengoptimalkan kinerja, proses pembelajaran, pengelolaan sumber belajar, profesionalisme tenaga pendidikan, serta sistem penilaian karakteristik KTSP sebagai berikut ”pemberian otonomi yang luas kepada sekolah satuan pendidikan, partisipasi masyarakat dan orang tua yang tinggi, kepemimpinan yang demokratis dan profesional , serta tim kerja yang kompak dan transparan.


Perkembangan Kurikulum di Indonesia


 
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kurikulum dari SD sampai dengan SLTA yang berlaku sampai saat ini adalah kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pebdidikan), dengan berbagai modifikasi dengan perkermbangan dan tuntutan zaman. 


Misalnya pada tahun 1998/1999 dikembangkan suatu suplemen kurikulum untuk SD sampai dengan SLTA yang memungkinkan berbagai lembaga pendidikan mempunyai kekhususan masing-masing. 

Tetapi dalam pelaksanaannya menimbulkan berbagai paradox, misalnya tentang tuntutan mutu yang tinggi sementara di pihak lain tuntutan untuk universalitas pendidikan, relevansi pendidikan dengan mutu pendidikan dan sebagainya.

Penyusunan kurikulum yang tambal sulam dan sentralistis tentu saja tidak bisa lagi dipertahankan, mengingat perubahan lingkingan pendidikan (baik internal maupun eksternal) yang begitu pesat, sementara hasil pendidikan tidak segera kelihatan atau dinikmati hasilnya, ibarat menanam tanaman, tanaman keras yang ditanam. Penyusunan kurikulum suat lembaga pendidikan harus berdasarkan pada visi dan misi lembaga untuk menyelesaikan masalah harus menggunakan pendekatan “hit the target” bukan “hit the miss”. (TIM FKIP UMS, 2004: 17)

Perbaikan kualitas pendidikan di Indonesia, sampai saat ini tidak pernah berhenti. Usaha tersebut dilakukan untuk penyesuaian dan mengimbangi perkermbangan tuntutan dunia industri dan perkembangan iptek yang akselerasinya sangat cepat. Tanpa ada peningkatan kualitas dan penyeimbangan, dalam dunia pendidikan akan terjebak pada situasi blunder yaitu munculnya keadaan dimana pendidikan jusru menjadi beban masyarakat dan negara akibat munculnya pengangguran dari pendidikan yang tidak produktif dan drilling. Oleh karena itu, Upaya yang bersifat reflektif dan transformatif mutlak dilaksanakan dalam dunia pendidikan Indonesia. (Supriyanto, 2004: 09)

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan ajar pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman dan penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964,1968,1975,1984,1994, dan 2004, serta yang terbaru adalah kurikulum 2006. 
Perubahan tersebut tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial, budaya, ekonomi, dan Iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu pancasila dan UUD 1945, perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikan.

1.2 Rumusan Masalah

  1. Bagaimana perjalanan dan perkembangan kurikulum pada tahun 1945 – 1999? 
  2. Bagaimana perjalanan dan perkembangan kurikulum 1999 – sekarang?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kurun Waktu 1945-1968

Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memekai istilah dalam bahasa belanda leer plan artinya rencana pelajaran. Lebih populer ketimban rencana curiculum (bahasa inggris). Perubahan rah pendidikan lebih bersifat politis, dari orientasi pendidikan belanda ke kepentingan nasional. Sedangkan asa pendidikan di tetapkan pancasila. Kurikulum yang berjalan saat iru di kenal dengan sebutan rencana pelaran 1947, yang baru di laksanakan pada tahun 1950. Sejumlah kalangan menyebut sejarah perkembangan kurikulum di awali dari kurikulum 1950. Bentuknya memuat 2 hal pokok :
1. Daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya,
2. Garis-garis besar pengajaran.



Orientasi Rencana Pembelajaran 11947 tidak menekankan pada pendidikan pikiran. Yang diutamakan adalah : pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat.

Rencana Pelajaran Teruarai 1952
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pembelajaran Terurai 1952.”Silabus mata pelajarannya jelas sekali.seorang guru mengajar satu mata pelajaran,”(Djauzak Ahmad,Dirpendas periode 1991- 1995).Dipenghujung era presiden soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya pada pengenbangan daya cipta, rasa, karsa, karya dan moral (Panca wardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.

2.2 Kurun waktu tahun 1968 sampai tahun 1999
2.2.1 Kurikulum 1968
Kelahiran kurikulum 1968 bersifat politis, mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde lama. Dengan suatu pertimbangan untuk tujuan pada pembentukan manusia Pancasila sejati.kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus.mata pelajaran dikelompokan menjadi 9 pokok. 
Djauzak menyebut kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. “Hanya memuat pokok mata pelajaran saja,” .muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tidak mengaitkan dengan permasalahan faktual dilapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan kepada siswa disetiap jenjang pendidikan.

2.2.2 Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efektif dan efisien. Menurut Drs Mudjito; Ak; Msi (Direktur pemb. TK dan SD Depdiknas). Yang melatar belakangi lahirnya kurikulum ini adalah pengaruh konsep di bidang manajemen, yaitu MBO (management by objective) yang dikenal saat itu,”

Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam prosedur Pengembangan Sistem Intruksional (PPSI), yang dikenal dengan istilah “satuan pembelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan.setiap satuan pelajaran dirinci menjadi : tujuan intruksional umum (TIU), tujuan intruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru dibikin sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.

2.2.3 Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, menggelompokan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). 
Tokoh penting dibalik lahirnya kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan, kepala pusat kurikulum Depdiknas periode 1980- 1986. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolah- sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional. 
Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, disana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model ceramah. Akhiran penolakan CBSA bermuculan.

2.2.4 Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999
Kurikulum 1994 merupakan hasil upaya untuk memadukan kurikulum- kurikulum sebelumnya, terutama kurikulum 19975 dan 1984. Sayang, perpaduan antara tujuan dan proses belum berhasil. Sehingga banyak kritik berdatangan, disebabkan oleh beban belajar siswa dinilai terlalu berat, dari muatan nasioanal sampai muatan lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing- masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain- lain. 
Berbagai kepentingan kelompok- kelompok masyarakat juga mendesak agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Akhirnya, kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Kejatuhan rezim soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen kurikulum 1999. Tapi perubahannya lebih pada menambal sejumlah materi.

2.3 Kurun waktu 1999 sampai sekarang
2.3.1 Kurikulum 2004

Sebagai pengganti kurikulum 1994 adalah kurikulum 2004, yang disebut dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Suatu program pendidikan berbasis kompentensi harus mengandung tiga unsur pokok, yaitu: pemilihan kompetensi yang sesuai;spesifikasi indikator-indikator evaluasi untuk menentukan keberhasilan pencapaian kompetensi; dan pengembangan pembelajaran. 
KBK memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal, berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman. Kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi, sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.

Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi. Struktur kompetensi dasar KBK ini dirinci dalam komponen aspek, kelas dan semester. Pernyataan hasil belajar diterapkan untuk setiap aspek rumpun pelajaran pada setiap level. Perumusan hasil belajar adalah untuk menjawab pertanyaan, “Apa yang harus siswa ketahui dan mampu lakukan sebagai hasil belajar mereka pada level ini?”. 
Hasil belajar mencerminkan keluasan, kedalaman dan kompleksitas kurikulum dinyatakan dengan kata kerja yang dapat diukur dengan berbagai teknik penilaian. Setiap hasil belajar memiliki seperangkat indikator. Perumusan indikator adalah untuk menjawab pertanyaan, “Bagaimana kita mengetahui bahwa siswa telah mencapai hasil belajar yang diharapkan?”.

2.3.2 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Pelaksanaan KBK masih dalam uji terbatas, namun pada awal tahun 2006, uji terbatas tersebut dihentikan. Dan selanjutnya dengan terbitnya permen nomer 24 tahun 2006 yang mengatur pelaksanaan permen nomer 22 tahun 2006 tentang standar isi kurikulum dan permen nomer 23 tahun 2006 tentang standar kelulusan, lahirlah kurikulum 2006 yang pada dasarnya sama dengan kurikulum 2004. 
Perbedaan yang menonjol terletak pada kewenangan dalam penyusunannya, yaitu mengacu jiwanya desntralisasi sistem pendidikan. Pada kurikulum 2006, pemerintah pusat menetapkan standar kompetensi dan kompetensi dasar, sedangkan sekolah dalam hal ini guru dituntut untuk mampu mengembangkan dalam bentuk silabus dan penilaiannya sesuai dengan kondisi sekolah dan daerahnya. Hasil pengembangan dari semua mata pelajaran dihimpun menjadi sebuah perangkat yang dinamakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).


BAB III
PENUTUP

Simpulan

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan ajar pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman dan penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964,1968,1975,1984,1994, dan 2004, serta yang terbaru adalah kurikulum 2006.

Perjalanan dan perkembangan kurikulum di Indonesia mengalami kemajuan walaupun semua kurikulum ada kekurangan maupun kelebinan, semoga dengan kurikulum KTSP yang diterapkan di Indonesia ini dapat memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

Hartini, Sri, dkk. 2008. Psikologi Pendidikan. Surakarta: BP – FKIP UMS
Supriyanto, Eko. 2004. Inovasi Pendidikan. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
TIM FKIP. 2004. Menejemen Pendidikan. Surakarta : Muhammadiyah University Press.

Kepemimpinan Pendidikan



A. Pengertian Kepemimpinan
Menurut M. Hanafi kepemimpinan adalah proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas-aktivitas tugas dari oang-orang dalam kelompok. Definisi kepemimpinan tersebut menyiratkan bahwa: pertama, kepemimpinan berhubungan dengan penggunaan pengaruh. 
 
Kedua, kepemimpinan berhubungan dengan pentingnya agen perubahan yang mampu mempengaruhi perilaku dan kinerja pengikutnya. Dan ketiga, kepemimpinan berhubungan dengan pencapaian tujuan.

Pemimpin mempunyai power yang lebih besar daripada yang dipimpin. Power menurut John French and Bertram Raven didapat dari beberapa sumber, yaitu legitimate, reward, coercive, expert, dan referent.
  • Legitimate power adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain karena kedudukannya. 
  • Reward power yaitu seseorang memperoleh kekuasaan dari kemampuannya memberikan imbalan kepada orang lain karena kepatuhannya.
  • Coercive power merupakan kekuasaan yang diperoleh karena kemampuan untuk menghukum.
  • Expert power merupakan kekuasaan yang didapat karena seseorang mempunyai keahlian tertentu.
  • Referent power yaitu kekuasaan yang diperoleh karena kharisma kepribadian seseorang.

B. Teori Kepemimpinan
1. Teori Sifat
Teori sifat adalah suatu teori kepemimpinan yang berusaha mengidentifikasikan karakteristik khas (fisik, mental kepribadian) yang diasosiasikan dengan keberhasilan kepemimpinan. Teori ini mengasumsikan bahwa pemimpin mempunyai sifat/karakteristik tertentu yang dibawa sejak lahir. Jadi dengan kata lain teori ini berpendapat bahwa pemimpin itu dilahirkan bukan dipelajari atau diajarkan.

2. Teori Perilaku
Teori perilaku kepemimpinan memfokuskan pada perilaku apa yang dilakukan oleh pemimpin yang membedakan dengan yang tidak memimpin.
Penelitian penting yang berhubungan dengan teori perilaku adalah yang dilakkukan University of Michigan dan Ohio State University.
 
1) Penelitian University of Michigan mengidentifikasikan dua gaya kepemimpinan :
  • Job-centered, yaitu pemimpin yang menerapkan pengawasan secara ketat sehingga bawahan melakukan pekerjaan atau tugas berdasarkan prosedur yang telah ditentukan. 
  • Employee-centered, yaitu pemimpin yang percaya kepada karyawan dengan mendelegasikan pengambilan keputusan dan membantu pengikutnya dalam memuaskan kebutuhannya dengan cara membangun lingkungan kerja yang suportif.
2) Penelitian Ohio State University menunjukkan bahwa kepemimpinan yang mempunyai perhatian yang tinggi, yang berarti memperhatikan karyawan, menghasilkan tingkat kepuasan karyawan yang paling tinggi sehingga merupakan kepemimpinan yang efektif.

3. Teori Situasi
Teori ini menyatakan bahwa pemimpin memahami perilakunya, sifat bawahannya, dan situasi sebelum menggunakan gaya kepemimpinan tertentu.
3.1 Teori Rangkaian Kesatuan dari Tannembaum dan Schmidt
Tannembaum dan Schmidt mengemukakan bahwa pemimpin harus mempertimbangkan tiga kekuatan sebelum melakukan pemilihan gaya kepemimpinan, yaitu :
  • Kekuatan dalam diri pemimpin : sistem nilai, kepercayaan terhadap bawahan, kecenderungan kepemimpinannya, dan perasaan aman dan tidak aman. 
  • Kekuatan dalam diri bawahan : kebutuhan akan kebebasan, kebutuhan peningkatan tanggung jawab, ketertarikan dalam menangani masalah, dan harapan dalam keterlibatan membuat keputusan.
  • Kekuatan dari situasi : tipe organisasi, efektifitas kelompok, desakan waktu, dan sifat masalah

3.2 Teori “Contingency” Fiedler
Teori ini mengemukakan bahwa efektifitas suatu kelompok atau organisasi tergantung pada interaksi antara kepribadian pemimpin dan situasi. Teori kepemimpinan menurut Fiedler :
  • Kekuasaan posisi: kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin membuat bawahan mengikuti kemauan pemimpin. 
  • Struktur pekerjaan: sejauh mana pekerjaan dapat dirinci dan membuat bawahan bertanggung jawab untuk melaksanakan pekerjaan tersebut.
  • Hubungan antara pemimpin dan bawahan: berkaitan dengan apakah bawahan percaya dan menyukai pemimpinnya dan bersedia mengikuti pemimpinnya.
Situasi yang baik digambarkan sebagai situasi kerja di mana kekuasaan jelas, struktur kerja jelas, dan hubungan antara pemimpin-bawahan baik.

3.3 Teori Model Kepemimpinan Hersey dan Blanchard
Model ini menekankan bahwa efektifitas kepemimpinan tergantung dari kesiapan bawahan. Kesiapan tersebut mencakup kemauan untuk mencapai prestasi, menerima tanggung jawab, kemampuan mengerjakan tugas, dan pengalaman bawahan.

Pada awal perjalanan organisasi pemimpin perlu memberikan instruksi yang lebih rinci mengenai peraturan dan prosedur organisasi sehingga memperjelas situasi kerja pegawai. Setelah organisasi berjalan beberapa waktu, instruksi kerja masih dibutuhkan tetapi pemimpin perlu membina hubungan manusiawi dengan memberi dukungan. Pada tahap pegawai sudah berpengalaman atau dapat mengarahkan diri sendiri, maka gaya kepemimpinan yang longgar dapat dilakukan.

C. Kepala Sekolah
1. Syarat dan Pemilihan Kepala Sekolah
Kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan merupakan orang yang paling bertanggung jawab terhadap keberhasilan pendidikan di sekolahnya. Sampai saat ini penunjukkan kepala sekolah masih dilakukan oleh atasan (Dinas Pendidikan Nasional) dengan memperhatikan syarat-syarat yang telah ditentukan, misalnya senioritas, ujian kepala sekolah, dan sebagainya.

Syarat minimal yang harus dipenuhi seseorang yang akan dipilih atau diangkat menjadi kepala sekolah harus mempunyai kemampuan dalam menjalankan tugas dan mempunyai kemampuan dalam membina hubungan baik dengan semua personal sekolah. Adapun syarat-syarat terperinci dapat dirumuskan sesuai dengan kebutuhan sekolah.

2. Tugas dan Tanggung Jawab Kepala Sekolah
Kepala sekolah dan pemimpin sekolah lainnya mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam bidang :
  • kurikulum, 
  • personalia,
  • kesiswaan,
  • keuangan,
  • sarana pendidikan,
  • sistem informasi sekolah, dan
  • supervisi pendidikan.
Dalam lingkungan pendidikan yang kompleks dan turbulen fokus perhatian kepala sekolah harus ditujukan kepada kepuasan stake holder. Apabila semua sekolah memfokuskan pada kepuasan stake holder akan terjadi inovasi-inovasi yang dilakukan sekolah.


DAFTAR PUSTAKA
Tim FKIP - UMS. 2004. Manajemen Pendidikan: Pedoman bagi Kepala Sekolah dan Guru. Surakarta: MUP - UMS


Independent Learning



Pendidikan adalah hal penting dan paling mempengaruhi perkembangan, kemajuan setiap bangsa. Seluruh komponen dalam dunia pendidikan haruslah didukung dan digerakkan demi kemajuan tingkat intelektualitas, dan moral siswa. 
 
Setiap mata pelajaran yang diberikan harus mendukung dua hal tersebut, karena kemajuan intelektual dan kedewasaan moral lah yang akan mempengaruhi masa depan bangsa. Rumpun ilmu sosial memberikan sebuah wawasan kemasyarakatan dan pemahaman tentang kehidupan bermasyarakat.

Istilah pengajaran (instruksional) dan pembelajaran (learning) berbeda konsep. Pengajaran lebih mengarah pada pemberian pengetahuan dari guru kepada siswa, seadngkan pembelajaran lebih mengarah pada upaya membelajarkan siswa.

Pembelajaran dalam suatu definisi dipandang sebagai upaya mempengaruhi siswa agar belajar. Hasil dari pembelajaran adalah siswa akan belajar sesuatu yang mereka tidak akan pelajari tanpa adanya tindakan pembelajar dan siswa akan mempelajari sesuatu dengan cara yang lebih efisien. Dalam mencapai tujuan pembelajaran diperlukan sebuah strategi pembelajaran. Strategi pembelajaran adalah cara dan seni untuk menggunakan semua sumber belajar dalam upaya membelajarkan siswa. Sebuah strategi (model) pembelajaran efektif untuk sebuah kondisi tetapi belum tentu efektif untuk kondisi yang lain.


A. Pengertian dan Karakteristik Independent Learning
Ada beberapa istilah yang mengacu pada pengertian yang sama tentang independent learning (belajar mandiri), yaitu sel-directed learning dan autonomous learning. Berikut beberapa pengertian independent learning (http://sn2dg.blogspot.com):
  • Wedemeyer (1973) menjelaskan bahwa independent learning (belajar mandiri) adalah cara belajar yang memberikan derajat kebebasan, tanggung jawab dan kewenangan yang lebih besar kepada pembelajar dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan belajarnya. Pembelajar mendapatkan bantuan bimbingan dari guru atau orang lain tapi bukan bearti harus bergantung kepada mereka. 
  • Dodds (1983) menjelaskan bahwa belajar mandiri adalah sistem yang memungkinkan siswa belajar secara mandiri dari bahan cetak, siaran ataupun bahan pra-rekam yang telah terlebih dahulu disiapkan; istilah mandiri menegaskan bahwa kendali belajar serta keluwesan waktu maupun tempat belajar terletak pada siswa yang belajar.
  • Rowntree (1992) menjelaskan bahwa ciri utama pendidikan terbuka yang menerapkan sistem belajar mandiri adalah adanya komitmen untuk membantu pembelajar memperoleh kemandirian dalam menentukan keputusan sendiri tentang 1) tujuan atau hasil belajar yang ingin dicapainya; 2) mata ajar, tema, topic atau issu yang akan ia pelajari; 3) sumber-sumber belajar dan metode yang akan digunakan; dan 4) kapan, bagaimana serta dalam hal apa keberhasilan belajarnya akan diuji (dinilai).

Dalam independent learning, guru/tutor berperan sebagai fasilitator yang memungkinkan pembelajar dapat secara mandiri:
  1. mendiagnosa kebutuhan belajarnya sendiri;
  2. merumuskan/menentukan tujuan belajarnya sendiri;
  3. mengidentifikasi dan memilih sumber-sumber belajarnya sendiri (baik sumber belajar manusia atau non-manusia);
  4. menentukan dan melaksanakan strategi belajarnya; dan
  5. mengevaluasi hasil belajarnya sendiri.

Dari beberapa pendapat ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam pendidikan dengan sistem belajar mandiri pembelajar diberikan kemandirian (baik secara individu atau kelompok) dalam menentukan 1) tujuan belajarnya (apa yang harus dicapai); 2) apa saja yang harus dipelajari dan dari mana sumber belajarnya (materi dan sumber belajar); 3) bagaimana mencapainya (strategi belajar); dan 4) kapan serta bagaimana keberhasilan belajarnya diukur (evaluasi).

Pembelajaran dengan sistem belajar mandiri mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda dengan pendidikan dengan sistem lain. Knowles (1975) menyatakan bahwa sistem belajar mandiri bukan cara belajar yang tertutup, dimana pembelajar belajar secara sendiri tanpa bantuan orang lain. Tetapi, belajar mandiri terjadi dengan bantuan orang lain seperti guru, tutor, mentor, narasumber, dan teman sebaya. 
 
Knowles membedakan sistem belajar mandiri dengan sistem belajar tradisional dengan istilah pedagogi dan andragogi. Konsep pedagogi memandang pembelajar sebagai obyek, dalam hal ini pembelajar diajarkan (being taught) tentang sesuatu. Sedangkan konsep andragogi memandang pembelajar sebagai subyek, peran guru adalah membantu belajar.

Sistem belajar mandiri memberikan peluang kepada pembelajar untuk menyesuaikan diri dengan tujuan, sumber belajar dan kegiatan-kegiatan belajar yang sesuai dengan kebutuhannya. Sedangkan pada belajar individual, kesempatan untuk hal ini tidak ada. Semuanya telah ditentukan oleh guru atau pembuat program secara “top-down”, baik dari segi tujuan, sumber belajar dan kegiatan-kegiatan belajarnya. 
 
Karakteristik utama pendidikan dengan sistem belajar mandiri adalah tanggung jawab dalam mengendalikan dan mengarahkan belajarnya sendiri berada ditangan pembelajar. Karakteristik umum lainya, menurut Institut for Distance Education of Maryland University, pendidikan dengan sistem belajar mandiri memiliki karakteristik:
  1. membebaskan pembelajar untuk tidak harus berada pada satu tempat dalam satu waktu tertentu;
  2. disediakannya berbagai bahan (materials) termasuk panduan belajar dan silabus yang rinci serta akses ke semua anggota fakultas (penyelenggara pendidikan) yang memberikan layanan bimbingan, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pembelajar, dan mengevaluasi karya-karya para pembelajar;
  3. komunikasi antara pembelajar dengan instruktur atau tutor dicapai melalui satu atau kombinasi dari beberapa teknologi komunikasi seperti telepon, voice-mail, konferensi melalui komputer, surat elektronik, dan surat-menyurat secara reguler.

Namun demikian, ketiadaan atau keterpisahan jarak (kelas), antara pembelajar dengan fakultas (tutor) dan pembelajar lainnya, bukan merupakan karakteristik utama dari pendidikan dengan sistem belajar mandiri. Pernyataan ini menjelaskan bahwa sistem belajar mandiri tidak hanya terjadi dalam pendidikan jarak jauh dimana antara pembelajar dan guru terpisah oleh jarak dan waktu. Dalam pendidikan konvensional sekalipun, apabila pembelajar diposisikan sebagai subyek dimana mereka diberi tanggung jawab untuk mengendalikan dan mengarahkan belajarnya sendiri, maka dapat dikatakan bahwa pendidikan tersebut menggunakan sistem belajar mandiri.

Wedemeyer (1968, dalam http://sn2dg.blogspot.com) menyebutkan sepuluh karakteristik sistem belajar mandiri. Kesepuluh karakteristik tersebut meliputi:
  1. sistem harus dapat dilakukan disemua tempat dimana terdapat pembelajar, walaupun hanya satu orang pembelajar, baik dengan atau tanpa kehadiran guru pada saat dan tempat yang sama; 
  2. sistem harus memberikan tanggung jawab untuk belajar yang lebih besar kepada pembelajar;
  3. sistem harus membebaskan anggota fakultas dari tipe tugas lain yang tidak relevan, sehingga lebih banyak waktu digunakan sepenuhnya untuk tugas-tugas pendidikan;
  4. sistem harus menawarkan kepada pembelajar pilihan yang lebih luas (lebih banyak peluang) baik dari segi mata kuliah, bentuk, maupun metodologi;
  5. Sistem harus memanfaatkan, segala bentuk media dan metode pembelajaran yang telah terbukti efektif;
  6. sistem harus mencampur dan mengkombinasikan media dan metode sehingga setiap topik atau unit dalam suatu mata kuliah diajarkan dengan cara yang terbaik;
  7. sistem harus mempertimbangkan desain dan pengembangan mata ajar yang sesuai dengan program media yang sudah ditetapkan;
  8. sistem harus memelihara dan meningkatkan peluang untuk dapat beradaptasi dengan perbedaan-perbedaan individu;
  9. sistem harus mengevaluasi keberhasilan belajar secara sederhana, dengan tidak harus menjadikan hambatan berkaitan dengan tempat dimana pembelajar belajar, kecepatan belajar mereka, metode yang mereka gunakan atau urutan belajar yang mereka lakukan; dan
  10. sistem harus memungkinkan pembelajar untuk memulai, berhenti dan belajar sesuai dengan kecepatanya.

B. Metode Pembelajaran dalam Independent Learning
Beberapa metode pembelajaran dalam independent learning antara lain:
  1. Tugas Individu. Tugas individual adalah diberikan pada waktu-waktu tertentu dalam bentuk pembuatan kliping dan majalah.
  2. Tugas Kelompok. Tugas kelompok digunakan untuk menilai kompetensi kerja kelompok.
  3. Demonstrasi. Merupakan metode pembelajaran yang sangat efektif dalam menolong siswa untuk mencari jawaban dari pertanyaan “bagaimana cara membuatnya, terdiri dari bahan apa, cara mana yang paling tepat, bagaimana dapat diketahui kebenarannya”.
  4. Metode Diskusi. Suatu cara mengajar yang dicirikan oleh suatu keterikatan pada suatu topik atau pokok pernyataan atau problem dimana para peserta diskusi dengan jujur berusaha untuk mencapai atau memperoleh suatu keputusan atau pendapat yang disepakati bersama.

C. Kelebihan dan Kelemahan Independent Learning
1. Kelebihan
Kelebihan independent learning antara lain (Wena, 2009: 214):
  • Program mandiri sengaja dirancang dengan cermat sehingga dapat memanfaatkan lebih banyak asas belajar. Pola ini juga disebutkan dapat memberikan kesempatan, baik kepada siswa yang lamban maupun yang cepat untuk menyelesaikan pelajaran sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing. 
  • Dapat menyebabkan perhatian tercurah lebih banyak kepada siswa perseorangan dan memberi kesempatan yang lebih luas untuk melangsungkan interaksi antar siswa.
  • Menjangkau peserta didik dalam cakupan yang luas.
  • Memungkinkan terjadinya interaksi pembelajaran dari mana dan kapan saja.
  • Dimungkinkan berkembangnya fleksibilitas belajar siswa yang optimal

2. Kelemahan
Kelemahan independent learning antara lain:
  • Memungkinkan kurang terjadinya interaksi antara pengajar dengan siswa dan antara sesama siswa. Apabila dipakai jalur dengan langkah tetap, kemungkinan belajar mandiri akan membosankan dan tidak menarik. 
  • Menuntut kerjasama dan perencanaan tim yang rinci diantara staf pengajar yang terlibat.
  • Frekuensi kontak secara langsung antarsesama siswa maupun antarsiswa dengan narasumber sangat minim.
  • Peluang siswa untuk bersosialisasi dengan siswa lain sangat terbatas. Guna mengatasi kelemahan tersebut, dapat dipecahkan dengan membentuk lingkungan pembelajaran yang dapat menciptakan dan mengembangkan “rasa bermasyarakat” di kalangan siswa sekalipun mereka terpisahkan secara geografis. Demikian pula guru dapat menugaskan para siswa untuk bekerja dalam beberapa kelompok untuk mengembangkan dan mempresentasikan tugas yang diberikan.

 
SIMPULAN
Independent learning (belajar mandiri) adalah cara belajar yang memberikan derajat kebebasan, tanggung jawab dan kewenangan yang lebih besar kepada pembelajar dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan belajarnya. Beberapa metode pembelajaran dalam independent learning antara lain: (1) tugas individu, (2) tugas kelompok, (3) demonstrasi, dan (4) metode diskusi.

Kelebihan dari independent learning adalah program mandiri sengaja dirancang dengan cermat sehingga dapat memanfaatkan lebih banyak asas belajar. Pola ini juga disebutkan dapat memberikan kesempatan, baik kepada siswa yang lamban maupun yang cepat untuk menyelesaikan pelajaran sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing. Sedangkan kelemahan independent learning adalah memungkinkan kurang terjadinya interaksi antara pengajar dengan siswa dan antara sesama siswa. Apabila dipakai jalur dengan langkah tetap, kemungkinan belajar mandiri akan membosankan dan tidak menarik.


DAFTAR PUSTAKA
Khadifa, Sella. 2008. “Sistem Belajar mandiri”(http://sn2dg.blogspot.com, diakses pada tanggal 3 Mei 2010)

Sandra, Yunia. 2008. “Karakteristik Independent Learning” (http://sn2dg.blogspot.com, diakses pada tanggal 3 Mei 2010)

Wena, Made. 2009. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Jakarta: Bumi Aksara