Awan berarak menaungi langit SMPIT Mutiara Insan Sukoharjo. Waktu
menunjukkan pukul dua siang. Namun, sepertinya matahari enggan
memunculkan dirinya. Beberapa siswa laki-laki terlihat asyik
bermain-main dengan bola di halaman sekolah.
Beberapa saat
kemudian turunlah butiran-butiran air. Hanya rintik-rintik. Gerimis
kecil di siang hari. Karena sepatuku berada di halaman, aku pun berniat
mengambilnya agar tidak basah terkena air hujan. Namun, belum sempat aku
meraih sepatu itu, seorang siswa yang tadi bermain bola, terlihat
berlari-lari kecil menuju ke arahku. Kemudian, hal yang dilakukan siswa
tersebut membuatku agak kaget. Ia mengambilkan sepatuku dan
meletakkannya di tempat yang tidak terkena air hujan.
Aku merasa
kaget karena siswa tersebut melakukannya tanpa diminta. Ia pun
melakukannya dengan senang hati. Lalu terlintas dalam pikirannku,
pendidikan macam apakah yang mampu membangun akhlak yang baik seperti
itu. Apakah kurikulum yang mampu membangun karakter tersebut? Apakah
buku bacaan? Ataukah fasilitas sekolah?
Dari berbagai unsur yang
terkait dengan pendidikan, faktor humanity-lah yang berperan penting
dalam membentuk karakter siswa. Guru sebagai instrumen pendidikan
mempunyai peranan penting bagi siswa dalam pembentukan karakter. Guru
sebagai eorang pendidik, bersentuhan langsung dengan siswa.
Guru
menjadi “pasukan terdepan” dalam perjuangan pencapaian tujuan
pendidikan. Karena posisinya tersebut, tak urung terkadang guru menjadi
“martir” dalam pelaksanaan kebijakan-kebijakan dalam bidang pendidikan.
Seringkali guru dipersalahkan jika kualitas pendidikan menurun. Tak
heran, saat wacana pergantian kurikulum digulirkan, sebagian guru
melakukan protes. Mereka adalah “prajurit lapangan” yang bersentuhan
langsung dengan peserta didik, orang tua/wali, dan masyarakat. Mereka
memahami permasalahan-permasalahan yang akan timbul dengan adanya
pergantian kurikulum.
Membandingkan kesejahteraan guru saat ini
dengan masa lalu tentu jauh berbeda. Profesi guru masa lalu benar-benar
panggilan nurani. Berapakah yang bisa diharapkan dari gaji seorang guru.
Tentu pikiran kita lekat dengan lagu “Oemar Bakri” yang dilantunkan
dengan suara fals itu. Lagu yang menunjukkan bagaimana perjuangan guru
yang benar-benar “Pahlawan tanpa tanda jasa”.
Kini, banyak orang
berlomba-lomba menjadi guru. Tentu saja, siapa yang tidak ingin
mendapatkan gaji yang besar ditambah tunjangan sertifikasi dan jaminan
uang pensiun. Setiap tahun banyak orang berbondong-bondong mengikuti tes
CPNS. Profesi guru menjadi “naik kelas”.
Peningkatan martabat
dan kesejahteraan guru menerbitkan harapan akan majunya pendidikan di
Indonesia. Saat ini banyak guru yang sudah menikmati kehidupan
sejahtera. Namun, saat ini pun masih banyak “Oemar Bakri - Oemar Bakri”
yang lain. Di Sekolah Dasar di daerah pinggiran kota Solo ada guru-guru
yang benar-benar berjuang untuk pendidikan. Di sekolah yang jumlah
siswanya sedikit ini, mereka berjuang mendidik siswa-siswanya yang
sebagaian besar berasal dari golongan pengemis dan pemulung. Bukan gaji
yang besar yang akan didapatkan oleh para guru tersebut. Bahkan, gaji
mereka sangat kecil yang hanya cukup untuk biaya transportasi
pulang-pergi ke sekolah.
Beberapa guru di sebuah madrasah di
Klaten rela tidak mendapatkan gaji selama lima bulan. Dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) yang akan digunakan untuk biaya operasional
dan gaji guru tidak kunjung cair. Sekolah yang tidak memungut biaya dari
orang tua siswa tersebut memang diperuntukkan bagi masyarakat menengah
ke bawah. Salah satu guru sekolah tersebut mengungkapkan, “Honor tidak
menjadi masalah. Semangat mengajar kami tidak berkurang, namun justru
tertantang.” (Solopos, 10 Mei 2013)
Di
tengah-tengah semaraknya seremoni pendidikan di Indonesia –dengan
meningkatnya gaji guru, seringnya pergantian kurikulum, serta program
RSBI yang berujung semrawut itu– masih ada para pendidik yang
benar-benar berjuang dan menjadi ujung tombak pendidikan. Berbagai
kisruh dalam dunia pendidikan seakan tidak terdengar bagi mereka. Mereka
bekerja dengan hati melaksanakan misi yang orang lain enggan
melakukannya. Mereka mendidik dengan tulus karena tugas guru adalah
mendidik. Itu saja.
--------------------------------------------------------------------------------
*) Artikel ini dimuat dalam majalah Figur edisi
Mei 2013 yang diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Figur,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah
Surakarta