Pages

May 19, 2012

Tips Menjadi Guru Berkarakter

Pertanyaan klasik:
“Benarkah kesejahteraan guru akan meningkatkan kualitas para pendidik sekaligus kualitas pendidikan kita?”

Selama ini persoalan kualitas guru yang memburuk, baik secara penguasaan pengetahuan maupun degradasi moral sesungguhnya merupakan warisan sejarah dan situasi sosial secara umum dalam kurun sejarah perkembangan ekonomi-politik kita. 
 
Indonesia yang di jaman Soekarno ‘mengekspor’ guru-guru ke negeri Malaysia kini tinggal cerita setelah kualitas guru dan pendidikan kita kini tertinggal jauh bukan hanya dengan Malaysia, tetapi juga dengan India dan (bahkan) Vietnam.

Konon pada era 1950-an, guru begitu dihormati karena memiliki standar kehidupan yang mapan. Tapi, perlu dicatat, khususnya oleh para guru, apakah penghormatan terhadap seseorang semata-mata dari sisi material? Pada era 1950-an, guru-guru selain menguasai ilmu yang diajarkan, juga memiliki penguasaan bahasa asing seperti Inggris dan Belanda. Belum lagi, sikap dan ketulusan pengabdian mereka dapat menjadi teladan.

Banyak kritik yang telah dialamatkan pada pemerintah akan kondisi ini. Keberadaan guru yang tidak bergairah dalam mengajar, posisi mereka yang kemudian jadi calo buku ajar yang membuat buku pelajaran harus berganti-ganti tiap tahun ajaran baru, serta keberadaan mereka sebagai pendukung kekuasaan Orde Baru melalui kebijakan monoloyalitas ke pada Golkar dan pemerintah adalah kasus-kasus yang sangat sulit disembunyikan pada era itu.

Upaya meningkatkan kesejahteraan sebenarnya telah diupayakan sejak pemerintah Orde Baru runtuh. Kenaikan gaji yang dimulai di jaman pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan pemberian gaji ketiga belas yang hingga sekarang masih dilakukan ternyata juga belum menunjukkan kualitas guru dan perbaikan mereka sebagai ujung tombak dalam pendidikan generasi bangsa. Berarti tesis yang menganggap bahwa mutu guru dan pendidikan kita akan meningkat dengan dinaikkannya gaji ternyata tidak cukup valid. Persoalan yang masih dominan adalah bahwa guru masih belum memiliki kebebasan. Kesejahteraan yang diberikan juga masih terbatas dan tertinggal di banding negara-negara lain.

Tentu saja peningkatan kesejahteraan, tak akan cukup mampu merubah kualitas guru dan pendidikan kita jika tidak dibarengi dengan perubahan budaya mendidik dan semangat pendidikan. Katakanlah dengan adanya ketidaksejahteraan atau kekurangan gaji para guru tak akan fokus untuk mendidik karena mereka harus menghabiskan waktu untuk berpikir dan melakukan aktivitas lainnya di luar mengajar agar mereka dapat memenuhi kekurangan pedapatannya. Maka, setelah gaji mereka cukup dan tak lagi pusing untuk ‘ngobjek’ di luar, maka kini sudah saatnya mereka mulai mengabdikan dirinya secara penuh dalam bidang pendidikan, mengajar anak-anak dengan tingkat semangat yang lebih besar dan kompetensi mengajar yang lebih kuat.

Guru-guru sekarang harus mewarisi semangat “Umar Bakrie” yang semangat meskipun kesejahteraannya terbatas atau guru era Ki Hajar Dewantoro yang mendalami makna pendidikan dengan merelakan diri sebagai pendidik yang mirip martir atau relawan. Ki Hajar Dewantoro adalah tipe pendidik yang tak keranjingan gaji besar, bahkan hartanya direlakan agar anak-anak bumi putra tidak lagi bodoh. 
 
Tujuannya adalah semata-mata penyadaran dan upaya menciptakan kebangkitan rakyat, dan bukannya menjadi guru karena butuh pekerjaan dan gaji. Menjadi guru adalah tugas kemanusiaan. Dan bukankah dengan gaji yang cukup, justru harus lebih bersemangat lagi dibanding ‘Umar Bakrie’ maupun Ki Hajar?

Mengajar dengan ketulusan adalah kata kunci pendidikan untuk pengabdian dan sebagai proyek kemanusiaan—bukan proyek meningkatkan gaji. Terkait pengabdian guru, kita dapat menarik pelajaran dari film Laskar Pelangi yang diputar di stasiun TV dan bioskop beberapa waktu ini. Film yang diadopsi dari novel Andrea Hirata itu menceritakan seorang guru bernama Ibu Muslimah yang tetap bersemangat menunaikan tugasnya meski gajinya harus dihutang dua bulan. Gaji diutang dua bulan saja tetap bersemangat. Bukankah itu tantangan bagi para guru yang gajinya justru akan dinaikkan menjadi minimal Rp 2 juta/bulan?

Meskipun demikian, tetap harus kita perhatikan bahwa peningkatan gaji bukanlah satu-satunya faktor bagi kemajuan pendidikan kita. Faktor lainnya adalah faktor struktural. Para guru selama tiga dekade Orde Baru dijadikan ”bemper” politik bagi kekuatan Partai Golkar. Guru dijadikan agen politik pembangunanisme dan juga agen pemenangan program politik Golkar. 
 
Melalui organisasi Korpri dan PGRI, mereka dijadikan proyek korporatisme negara. Akibatnya para guru tidak memiliki jiwa pembaruan dan inisiatif dalam menggali khazanah ilmu pengetahuan serta keberanian mengembangkan inovasi pembelajaran yang terlepas dari politik pendidikan. Dalam konteks itu jiwa dan mental demokrasi guru juga ditumpulkan.

Kemudian juga masih kuatnya politik pendidikan yang mengontrol arah dan sistem pendidikan selama tiga dekade membuat para guru seperti ”robot” yang dipenjara melalui tugas-tugas kedinasan yang stagnan. Mudah-mudahan dengan cukupnya gaji, guru-guru kita akan lebih independent, berkarakter, dan tak hanya tunduk pada politik pendidikan yang menghambat kemajuan bangsa.


Tujuh Prinsip Menjadi Guru yang Berkarakter
Ketujuh prinsip itu adalah:
  1. Mampu menunjuk ke dalam diri (Responsible) 
  2. Melakukan Perubahan (Action) 
  3. Membuat jarak sependek mungkin 
  4. Melakukan hal yang penting 
  5. Mengedepankan Pengaruh 
  6. Mengubah Paradigma 
  7. Role model

Seorang guru berkarakter memahami lima level pemimpin, yaitu:
  1. Kekuatan (power/force) 
  2. Ancaman (tread) 
  3. Pemberian hadiah/iming-iming (libery) 
  4. Memakai alasan/menjelaskan (reasonry) 
  5. Hanya dengan permintaaan (pengaruh) atau simple Request

Seorang guru adalah seorang yang telah menyerahkan dirinya dalam organisasi sekolah, dia tidak bisa melakukan tindakan dan berperilaku sesuai keinginan sendiri, tetapi harus dapat menyesuaikan diri dengan peran dan tugasnya sesuai peran dan tuntutan tugas serta aturan organisasi yang menjadi kewajiban bagi seorang guru. 
 
Oleh karena itu, GURU HARUS TAHU ATURAN, BERSEDIA DIATUR, dan BISA MENGATUR. Tahu aturan bermakna memahami bagaimana mekanisme kerja organisasi, dengan pemahaman itu maka seorang guru harus mau dan bisa diatur sesuai dengan mekanisme yang berlaku, serta harus bisa mengatur dalam arti mengelola secara optimal apa yang menjadi peran dan tugasnya dalam organisasi sekolah.

Siswa adalah manusia utuh, maka terimalah dia apa adanya. Siswa adalah individu yang utuh dengan keseluruhan sikap, prilaku, kepribadian serta latar belakang sosial budayanya. Kita tidak bergaul, berinteraksi dengan salah satu aspeknya saja tetapi dengan keseluruhannya. Kesadaran dan kerelaan menerima kenyataan bahwa interaksi dengan siswa sebagai suatu keseluruhan akan menumbuhkan perhatian (concern), rasa peduli (caring), rasa berbagi (sharing), dan kebaikan yang tulus (kindness).

Pendidikan karakter sejatinya bukan hanya sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Lebih dari itu, pendidikan karakter adalah usaha menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik (habituation) sehingga peserta didik mampu bersikap dan bertindak berdasarkan nilai-nilai yang telah menjadi kepribadiannya. Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan pengetahuan yang baik (moral knowing), perasaan yang baik atau loving good (moral feeling) dan perilaku yang baik (moral action) sehingga terbentuk perwujudan kesatuan perilaku dan sikap hidup peserta didik.


Nilai-nilai Karakter (sumber: Pusat Kurikulum) yang perlu diinternalisasikan antara lain:
  1. Religius 
  2. Jujur 
  3. Toleran 
  4. Disiplin 
  5. Kerja keras 
  6. Kreatif 
  7. Mandiri 
  8. Demokratis 
  9. Rasa ingin tahu 
  10. Semangat kebangsaan 
  11. Cinta tanah air 
  12. Menghargai prestasi 
  13. Bersahabat/komunikatif 
  14. Cinta damai 
  15. Senang membaca 
  16. Peduli sosial 
  17. Peduli lingkungan 
  18. Tanggung jawab


PERAN GURU Di sekolah, guru adalah teladan, guru adalah contoh. Penanaman pendidikan karakter kepada siswa tidak akan sukses jika guru tidak mampu menunjukkan contoh karakter yang baik pula. Akan percuma jika guru hanya mampu menyusun perangkat pembelajaran (Silabus dan RPP) dengan integrasi nilai-nilai karakter di dalamnya, tetapi tidak mampu memberi contoh karakter yang baik kepada peserta didik.

Peserta didik tergantung pada guru. Jika guru baik, maka mereka akan baik dan istiqomah dalam hal ilmu maupun amal. Namun jika guru berkarakter buruk, maka InsyaAllah itu adalah musibah besar. Guru harus turun dan bergaul dengan peserta didik. Generasi muda kita tidak kurang dalam hal intelegensi dan intelektualitas. Mereka hanya butuh orang yang bisa membakar motivasi dan menumbuhkan kecintaan mereka akan ilmu. Dan orang itu adalah guru.


Dikutip dari Buku Tips Menjadi Guru Berkarakter karya Lina Nuryani, Ita Ratnasari, & Vera Ernianingtyas, Mahasiswa PBSID FKIP UMS (Belum Diterbitkan)

No comments:
Write comments