BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat dewasa ini berpengaruh disegala dimensi kehidupan, termasuk bidang pendidikan lebih khusus lagi pengajaran matematika. Menurut Paling (1982:1) matematika merupakan salah satu cara untuk menemukan jawaban terhadap masalah yang dihadapi manusia; suatu cara menggunakan informasi, menggunakan pengetahuan tentang bentuk dan ukuran, menggunakan pengetahuan tentang menghitung dan yang paling penting adalah memikirkan dalam diri manusia itu sendiri dalam melihat dan menggunakan hubungan-hubungan.
Bidang studi matematika yang diajarkan di SD mencakup tiga cabang, yaitu aritmetika, aljabar dan geometri. Menurut Dali S. Naga (1980:1), aritmatika atau berhitung adalah cabang matematika yang berkenaan dengan sifat hubungan bilangan-bilangan nyata dengan perhitungan terutama menyangkut penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. Secara singkat aritmetika atau berhitung adalah pengetahuan tentang bilangan.
Kegiatan pembelajaran yang dapat menumbuhkan cara berpikir siswa agar menjadi lebih kritis dan kreatif dapat dikembangkan melalui belajar matematika, karena matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang menduduki peranan penting dalam pendidikan terutama dalam era saat ini. Hal ini karena siswa beranggapan bahwa matematika adalah pelajaran yang sulit dan menakutkan. Siswa seharusnya menyadari bahwa kemampuan berpikir logis, bernalar rasional, cermat, dan efisien menjadi ciri utama matematika.
Ciri utama matematika adalah penalaran deduktif, yaitu kebenaran konsep atau pernyataan diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya sehingga kaitan antara konsep atau pernyataan dalam matematika bersifat konsisten. Namun demikian, pembelajaran dan pemahaman konsep dapat diawali secara induktif melalui pengalaman peristiwa nyata atau intuisi. Menurut Paling (dalam Mulyono Abdurrahman, 2003: 252), ide manusia tentang matematika berbeda-beda, tergantung pada pengalaman dan pengetahuan masing-masing. Ada yang mengatakan bahwa matematika hanya perhitungan yang mencakup tambah, kurang, kali dan bagi, tetapi ada pula yang melibatkan topik-topik seperti aljabar, geometri, dan trigonometri. Banyak pula yang beranggapan bahwa matematika mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan berpikir logis.
Tuntutan zaman mendorong manusia untuk lebih kreatif dalam mengembangkan atau menerapkan matematika sebagai ilmu dasar oleh karena itu Cockroft (dalam Mulyono Abdurrahman, 2003: 253) mengemukakan bahwa matematika perlu diajarkan kepada siswa karena (1) selalu digunakan dalam segala segi kehidupan, (2) semua bidang studi memerlukan ketrampilan matematika yang sesuai, (3) merupakan sarana komunikasi yang kuat, singkat dan jelas, (4) dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam berbagai cara, (5) meningkatkan kemampuan berpikir logis, ketelitian, dan kesadaran keruangan, dan (6) memberikan kepuasan terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang.
Dalam konteks yang aplikatif, proses belajar – mengajar merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru dan siswa pemegang peranan penting. Usman menyatakan bahwa proses belajar – mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian kegiatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Interaksi atau hubungan timbal balik antara guru dan siswa merupakan syarat utama bagi berlangsungnya proses belajar mengajar (2000:4).
Suryosubronto menyatakan bahwa proses belajar-mengajar meliputi kegiatan-kegiatan yang dilakukan guru mulai dari perencanaan, pelaksanaan kegiatan sampai evaluasi dan program tindak lanjut yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu yaitu pengajaran (1997:19). Lebih lanjut S. Bloom dalam Hamalik (1995:19) merintis tujuan pembelajaran mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Dalam hal ini mengarah pada kognitifnya yang mempunyai enam kegiatan yaitu:
1. Knowledge/pengetahuan, contoh tujuan yang terkait dengan kemampuan mengingat, menghafal, menyebut ulang dan meniru.
2. Comprehention/pemahaman, contoh tujuan yang berkait dengan tujuan untuk mengerti, menyatakan kembali bentuk lain dan menginterpretasi.
3. Aplication/penerapan, contoh tujuan yang terkait dengan penerapan teori, prinsip dan informasi.
4. Analize/analisis, contoh tujuan yang terkait dengan analisis masalah.
5. Synthesa/sintesis, contoh tujuan yang terkait dengan penggabungan bagianbagian dalam wadah.
6. Evaluation/evaluasi, contoh tujuan yang terkait dengan menentukan suatu kriteria tertentu pada suatu kegiatan (Hamalik, 1995:19).
Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa proses pembelajaran bertujuan untuk melatih manusia agar menjadi lebih bisa dan menjadi lebih baik, sehingga guru harus dapat sedemikian rupa menciptakan situasi belajar yang menyenangkan sehingga siswa dapat memahami materi pelajaran. Agar guru dapat melaksanakan proses pembelajaran dengan lebih baik, ia harus mempunyai kesiapan baik mental, personal dan sosial.
Gejolak kehidupan dan perkembangan masyarakat, bangsa dan negara serta bahkan kehidupan dunia pada umumnya menjadikan matematika sarat akan materi sehingga diperlukan keterkaitan dengan komponen dalam proses pembelajaran. Sugito menyatakan bahwa dalam proses belajar mengajar terdapat komponen-komponen yang saling terkait yang meliputi tujuan pengajaran, guru dan peserta didik, bahan pelajaran, metode/strategi belajar mengajar, alat/media, sumber pelajaran dan evaluasi (1994:3).
Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa proses belajar-mengajar akan dapat terselenggara secara efektif manakala peran guru berjalan secara baik, sebagai pengajar maupun sebagai pendidik. Dalam hal ini berkaitan dengan pengelolaan kelas, melalui guru yang benar-benar profesional dalam mengelola kelas diharapkan tujuan pembelajaran dapat tercapai secara optimal serta dapat mengkontribusi keluaran yang berkualitas.
Pada umumnya pengajaran matematika di sekolah khususnya di SD N II Isimu Raya sampai saat ini masih konvensional yaitu guru aktif menjelaskan materi pelajaran sedangkan siswa hanya mendengar, mencatat, dan mengerjakan latihan yang diberikan guru. Tentunya pendekatan seperti ini tidak sesuai dengan tuntutan zaman karena dimungkinkan akan berpengaruh pada rendahnya tingkat kemampuan bernalar siswa. Padahal pelajaran matematika dari tahun ke tahun semakin kompleks dan lebih berkembang.
Oleh karena itu diperlukan suatu keahlian atau ketrampilan pengelolaan kelas yang harus dimiliki seorang guru dalam menyampaikan materi pelajaran matematika. Karena setiap siswa memiliki kemampuan dan taraf bernalar yang berbeda-beda, sehingga dengan ketrampilan dan keahlian itu seorang guru matematika dapat memilih metode yang tepat agar siswa mampu memahami materi pelajaran matematika yang disampaikan oleh guru. Metode mengajar matematika merupakan sarana interaksi guru dengan siswa di dalam kegiatan belajar mengajar. Metode mengajar yang dipilih harus sesuai dengan tujuan, jenis dan sifat materi pelajaran matematika yang diajarkan. Kemampuan guru dalam memahami dan melaksanakan metode tersebut sangat berpengaruh terhadap hasil yang dicapai. Ketidaktepatan menggunakan suatu metode dapat menimbulkan kebosanan, kurang dipahami sehingga mengakibatkan sikap yang acuh terhadap pelajaran matematika.
Hal inilah yang kemudian mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang upaya meningkatan prestasi belajar matematika siswa materi luas dan bangun datar kelas V SD N II Isimu Raya melalui penggunaan metode pembelajaran kooperatif tipe group invetigation (GI).
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka identifikasi masalah yang terdapat di SD N II Isimu Raya yang perlu untuk diteliti dan dipecahkan sebagai berikut:
1. Siswa menganggap matematika itu sulit, membosankan, tidak menarik bahkan dianggap mata pelajaran yang menakutkan.
2. Cara guru dalam menyampaikan materi pelajaran matematika dengan metode pembelajaran yang digunakan belum optimal.
3. Kurangnya kualitas pembelajaran matematika tidak hanya bersumber pada kurangnya kemampuan bernalar siswa, bisa jadi disebabkan oleh adanya kelemahan dari metode pembelajaran yang digunakan oleh guru.
C. Pembatasan Masalah
Pada identifikasi masalah di atas agar penelitian ini terarah dan sesuai tujuan maka masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Metode pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode cooperative learning tipe group investigation (GI).
2. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah luas bangun datar sesuai yang tercakup dalam silabus matematika kelas V.
3. Peningkatan prestasi belajar siswa yang dimaksud dalam penelitian ini dibatasi oleh:
* prestasi pada aspek kognitif,
* prestasi pada aspek afektif, dan
* prestasi pada aspek psikomotor.
D. Rumusan Masalah
Dari batasan masalah diatas maka perumusan masalah yang dapat peneliti rumuskan adalah “Apakah dengan penerapan metode pembelajaran kooperatif tipe group investigation (GI) dapat meningkatkan prestasi belajar siswa pada pelajaran matematika materi luas bangun datar?”
E. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Sebagai motivasi bagi guru agar dapat menerapkan metode pembelajaran kooperatif di kelas dan mendorong minat belajar siswa karena menggunakan metode pembelajaran yang menarik.
2. Tujuan khusus
Untuk mengetahui apakah dengan menerapkan metode pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar siswa khusunya pada mata pelajaran matematika.
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara umum, hasil penelitian ini diharapkan seara teoritis dapat memberikan sumbangan kepada pembelajaran matematika, utamanya pada peningkatan prestasi belajar siswa dalam matematika. Mengingat seorang siswa perlu memiliki tiga aspek keterampilan dalam belajar (kognitif, afektif dan psikomotor), maka salah satu teknik penerapan pembelajaran matematika dengan metode cooperative learning.
Secara khusus, penelitian ini memberikan kontribusi kepada strategi pembelajaran berupa pergeseran dari paradigma mengajar menuju ke paradigma belajar yang mementingkan pada proses untuk mencapai hasil.
2. Manfaat Praktis
Pada dataran praktis, penelitian ini memberikan manfaat bagi guru matematika dan siswa. Bagi guru matematika pendekatan cooperative learning dapat digunakan sebagai salah satu alternatif dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) matematika. Bagi siswa, proses pembelajaran ini dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dalam bidang matematika.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Kajian Tentang Pengertian Belajar
Dalam buku karangan Oemar Hamalik. (2007: 20) mengemukakan bahwa Belajar merupakan suatu proses, dan bukan hasil yang hendak dicapai semata. Proses itu sendiri berlangsung melalui serangkaian pengalaman, sehingga terjadi modifikasi pada tingkah laku yang telah dimiliki sebelumnya. Jadi berdasarkan proses (sebagai alat atau means) akan tetapi tujuan (ends), sesuatu yang dikehendaki dalam pendidikan..
Menurut James O. Whittaker, dalam Abu Ahmadi. (2004: 126) belajar dapat didefinisikan sebagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman.
Definisi yang tidak jauh berbeda dengan definisi tersebut dikemukakan oleh Cronbach dalam bukunya yang berjudul education psychology sebagai berikut: learning is shown by change in behaviour as a result of experience. Dengan demikian belajar yang efektif adalah melalui pengalaman. Dalam proses belajar, seseorng berinteraksi langsung dengan objek belajar dengan menggunakan semua alat inderanya.
Sebagian terbesar dari proses perkembangan berlangsung melalui kegiatan belajar. Belajar yang disadari atau tidak, sederhana atau kompleks, belajar sendiri atau denagan bantuan guru, belajar dari buku atau dari media elektronika, belajar di sekolah di rumah, di lingkungan kerja atau di masyarakat.
Belajar selalu berkenaan dengan perubahan-perubahan pada diri orang yang belajar, apakah itu mengarah kepada yang lebih lebih baik atau kurang baik, direncanakan atau tidak. Hal ini yang juga selalu terkait dalam belajar adalah pengalaman, pengalaman yang berbentuk interaksi dengan orang lain atau lingkungannya.
Menurut Witherington (1952: 165) dalam Nana Syaodih Sukmadinata. (2004: 155-156) bahwa belajar merupakan perubahan dalam kepribadian, yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respon yang baru dan terbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan dan kecakapan.
Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya Slameto. (2003: 2).
Sardiman A.M. (2006: 20-29) mengemukakan ada beberap definisi tentang belajar, antara lain:
1. Cronbach memberikan definisi: learning is shown by a change in behavior as result of experience.
2. Horald spers memberikan batasan: learning is to observe, to read, to imitate, to try something themselves, to listen, to folloe direction.
3. Geoch, mengatakan: learning is a change in performance as a result of practice.
Dari ketiga definisi di atas, maka dapat diterangkan bahwa belajar itu merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan, dengan serangkaian kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati, meniru dan lain sebagainya. Belajar itu juga akan lebih baik, kalau si subjek belajar itu mengalami atau melakukannya, jadi tidak bersifat verbalistik.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan kegiatan penting yang harus dilakukan setiap orang secara maksimal untuk dapat menguasai atau memperoleh sesuatu. Belajar adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dalam rangka merubah tingkah laku kearah yang lebih baik sesuai dengan apa yang diharapkan dan dicita-citakan.
B. Kajian Tentang Prestasi Belajar
1. Arti Berprestasi
A. Tabrani Rusyan. (2007: 68) mengemukakan bahwa prestasi merupakan suatu bukti keberhasilan usaha yang dicai seseorang setelah melakukan suatu kegiatan. Demikian pula prestasi yang dicapai oleh kita, merupakan keberhasilan setelah melaksanakan proses belajar sehingga memiliki berbagai ilmu pengetahuan, keterampilan, serta sikap yang mendukung. Dalam melaksanakan proses belajar kebanyakan kita hanya memikirkan masa sekarang dan tidak memikirkan masa masa depan, akan tetapi mereka tidak dibiarkan begiru saja.
Dengan demikian Prestasi belajar merupakan suatu keberhasilan dari usaha yang dicapai seorang siswa setelah melakukan kegiatan belajar, sehingga ia memiliki berbagai ilmu pengetahuan, keterampilan, serta sikap yang mendukung.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar
Untuk memahami tentang prestasi belajar, perlu didalami faktor-faktor yang mempengaruhinya, Mulyasa. (2005: 189-196) mengemukakan beberapa faktor yaitu:
a. Pengaruh faktor eksternal
Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi prestasi belajar peserta didik dapat digolongkan ke dalam faktor sosial dan non-sosial. Faktor sosial menyangkut hubungan antarmanusia yang terjadi dalam berbagai situasi sosial. Kedalam faktor ini termasuk lingkungan keluarga, sekolah, teman dan masyarakat pada umumnya. Sedangkan faktor non-sosial seperti lingkungan alam fisik misalnya: kjeadaan rumah, ruang belajar, fasilitas belajar, buku-buku sumber, dan sebagainya.
b. Pengaruh faktor internal
Brata (1964) mengklasifikasikan faktor internal menyangkut: a) faktor-faktor fisiologis, yang menyangkut keadaan jasmani atau fisik individu, yang dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu keadaan jasmani pada umumnya dan keadaan fungsi jasmani tertentu terutama panca indera, b) faktor-faktor psikologis, yang berasal dari dalam diri seperti inteligensi, minat, sikap, dan motivasi.
Menurut pendapat A. Tabrani Rusyan, (2007: 68) faktor internal yang mempengaruhi prestasi belajar yaitu:
1. Keinginan untuk mencapai apa yang telah dicita-citakan
2. Minat pribadi yang mempengaruhi belajar
3. Pola kepribadian yang mempengaruhi jenis dan kekuatan aspirasi
4. Nilai pribadi yaitu yang menentukan apa saja dari kekuatan aspirasi
5. Jenis kelamin
6. Latar belakang keluarga
Indikator Prestasi Belajar
Kunci pokok untuk memperoleh ukuran dan data hasil belajar siswa adalah dengan mengetahui garis-garis besar indikator (petunjuk adanya prestasi tertentu) dikaitkan dengan jenis prestasi yang hendak diungkapkan atau diukur. Selanjutnya agar pemahaman anda lebih mendalam mengenai kunci pokok tadi dan memudahkan anda dalam menggunakan alat dan kiat evaluasi yang dipandang tepat, reliabel, dan valid, dibawah ini penyusun sajikan sebuah tabel panjang. Tabel ini berasal dari berbagai sumber rujukan (Surya, 1982; Barlou, 1985) dalam Muhibbin Syah. (2000 : 22)
Table. Indikator Prestasi
Ranah/Jenis Prestasi Indikator Cara Evaluasi
C. Kajian Tentang Cooperative Learning Tipe Group Investigation (GI)
1. Pengertian Kooperatif
Ada beberap definisi tentang pembelajaran kooperatif yang dikemukakan
para ahli pendidikan.
Slavin (1995) dalam Nur Asma. (2006: 11) mendefinisikan belajar kooperatif sebagai berikut “cooperative learning methods share the idea that students work together to learn and are responsible for their teammates learning as well as their own”. Definisi ini mengandung pengertian bahwa dalam belajar kooperatif siswa belajar bersama saling menyumbang pemikiran dan bertanggung jawab terhadap pencapaian hasil belajar secara individu maupun kelompok.
Davidson dan Kroll (1991) dalam Nur Asma. (2006: 11) mendefinisikan belajar kooperatif adalah kegiatan yang berlangsung di lingkungan belajar siswa dalam kelompok kecil yang saling berbagi ide-ide dan bekerja secara kolaboratif untuk memecahkan masalah-masalah yang ada dalam tugas mereka.
Roestiyah N.K. (2001: 15) mengemukakan bahwa tehnik ini ialah suatu cara mengajar dimana siswa di dalam kelas dipandang sebagai suatu kelompok atau dibagi menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok teridiri dari lima atau tujuh siswa, mereka bekerja sama dalam memecahkan masalah, atau melaksanankan tugas tertentu, dan berusaha mencapai tujuan pengajaran yang telah ditentukan oleh guru.
Berdasarkan definisi di atas dapat dikatakan bahwa pembelajaran kooperatif ialah siswa belajar dengan cara bekerja sama dalam kelompok untuk memecahkan masalah yang dihadapi dengan penuh tanggung jawab pada aktifitas belajar kelompoknya, sehingga materi yang diajarkan guru mudah dipahami oleh seluruh anggota kelompok.
Pembelajaran kooperatif menekankan kerja sama antar siswa dalam kelompok. Hal ini dilandasi oleh pemikiran bahwa siswa lebih mudah menemukan dan memahami suatu konsep jika mereka saling mendiskusikan masalah tersebut dengan temannya. Banyak anggota suatu kelompok dalam belajar kooperatif, biasanya terdiri dari empat sampai enam orang dimana anggota kelompok yang terbentuk diusahakan heterogen berdasarkan perbedaan kemampuan akademik, jenis kelamin, dan etnis.
Tujuan Pembelajaran Kooperatif
Pengembangan pembelajaran kooperatif bertujuan untuk mencapai hasil belajar, penerimaan terhadap keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial. Masing-masing tujuan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Pencapaian Hasil Belajar
Slavin dan para ahli lain percaya bahwa memusatkan perhatian pada kelompok pembelajaran kooperatif dapat mengubah norma budaya anak muda dan membuat budaya lebih dapat menerima prestasi menonjol dalam berbagai tugas pembelajaraan akademik.
Disamping merubah norma yang berhubungan dengan hasil belajar, pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan pada siswa yang bekerja sama menyelesaikan tugas-tugas akademik, baik kelompok bawah maupun kelompok atas. Siswa kelompok atas akan menjadi tutor bagi siswa kelompok bawah. Dalam proses tutorial ini, siswa kelompok atas akan meningkat kemampuan akademiknya karena memberi pelayanan sebagai tutor kepada teman sebaya yang membutuhkan pemikiran lebih mendalam tentang hubungan ide-ide yang terdapat di dalam materi tertentu.
b. Penerimaan Terhadap Keragaman
Efek penting yang kedua dari model pembelajaran kooperatif ialah penerimaan yang luas terhadap orang yang berbeda menurut ras, budaya, tingkat social, kemampuan, maupun ketidakmampuan. Goldon Allport (1954) mengemukakan telah diketahui bahwa banyak kontak fisik saja diantara orang-orang yang berbeda ras tau kelompok etnik tidak cukup untuk mengurangi kecurigaan dan perbedaan ide. Pembelajaran kooperatif memberi peluang kepada siswa yang latar belakang dan kondisi untuk bekerja saling bergantung satu sama lain atas tugas-tugas bersama, dan melalui penggunaan struktur penghargaan kooperatif, serta belajar untuk menghargai satu sama lain.
c. Pengembangan Keterampilan Sosial
Tujuan penting ketiga ialah untuk mengajarkan kepada siswa keterampilan kerja sama dan kolaborasi. Ketarampilan ini amat penting untuk dimiliki di dalam masyarakat, banyak kerja orang dewasa dilakukan dalam organisasi yang bergantung satu sama lain dalam masyarakat meskipun bergam budayanya.
Sementara itu banyak anak muda dan orang dewasa masih kurang dalam keterampilan sosial. Situasi ini dibuktikan dengan begitu sering terjadi suatu pertikaian kecil antar individu dapat mengakibatkan tidakan kekerasan, atau betapa sering orang menyatakan ketidakpuasan ketika diminta untuk bekerja dalam situasi kooperatif.
Selain unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit, model ini sangat berguna untuk membantu siswa menumbuhkan kemampuan kerja sama.
Ciri-ciri Metode Pembelajaran Kooperatif
Ciri-ciri model pembelajaran kooperatif adalah; (1) belajar bersama dengan teman, (2) selama proses belajar terjadi tatap muka antar teman, (3) saling mendengarkan pendapat di antara anggota kelompok, (4) belajar dari teman sendiri dalam kelompok, (5) belajar dalam kelompok kecil, (6) produktif berbicara atau saling mengemukakan pendapat, (7) keputusan tergantung pada siswa sendiri, (8) siswa aktif (Stahl, 1994).
Pembelajaran Kooperatif Model Group Investigation (GI)
Santyasa mengungkapkan pembelajaran kooperatif tipe GI didasari oleh gagasan John dewey tentang pendidikan, bahwa kelas merupakan cermin masyarakat dan berfungsi sebagai laboratorium untuk belajar tentang kehidupan di dunia nyata yang bertujuan mengkaji masalah-masalah sosial dan antar pribadi. Menurut Winataputra (1992:39) model GI atau investigasi kelompok telah digunakan dalam berbagai situasi dan dalam berbagai bidang studi dan berbagai tingkat usia. Pada dasarnya model ini dirancang untuk membimbing para siswa mendefinisikan masalah, mengeksplorasi berbagai cakrawala mengenai masalah itu, mengumpulkan data yang relevan, mengembangkan dan mengetes hipotesis.
Menurut Depdiknas (2005:18) pada pembelajaran ini guru seyogyanya mengarahkan, membantu para siswa menemukan informasi, dan berperan sebagai salah satu sumber belajar, yang mampu menciptakan lingkungan sosial yang dicirikan oleh lingkungan demokrasi dan proses ilmiah. Menurut Winataputra (1992:63) sifat demokrasi dalam kooperatif tipe GI ditandai oleh keputusan-keputusan yang dikembangkan atau setidaknya diperkuat oleh pengalaman kelompok dalam konteks masalah yang menjadi titik sentral kegiatan belajar. Guru dan murid memiliki status yang sama dihadapan masalah yang dipecahkan dengan peranan yang berbeda. Jadi tanggung jawab utama guru adalah memotivasi siswa untuk bekerja secara kooperatif dan memikirkan masalah sosial yang berlangsung dalam pembelajaran serta membantu siswa mempersiapkan sarana pendukung. Sarana pendukung yang dipergunakan untuk melaksanakan model ini adalah segala sesuatu yang menyentuh kebutuhan para pelajar untuk dapat menggali berbagai informasi yang sesuai dan diperlukan untuk melakukan proses pemecahan masalah kelompok.
Ibrahim, dkk. (2000:23) menyatakan dalam kooperatif tipe GI guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok dengan anggota 5 atau 6 siswa heterogen dengan mempertimbangkan keakraban dan minat yang sama dalam topik tertentu. Siswa memilih sendiri topik yang akan dipelajari, dan kelompok merumuskan penyelidikan dan menyepakati pembagian kerja untuk menangani konsep-konsep penyelidikan yang telah dirumuskan. Dalam diskusi kelas ini diutamakan keterlibatan pertukaran pemikiran para siswa.
Slavin (dalam Asthika, 2005:24) mengemukakan tahapan-tahapan dalam menerapkan pembelajaran kooperatif GI adalah sebagai berikut:
1. a. Tahap Pengelompokan (Grouping)
Yaitu tahap mengidentifikasi topik yang akan diinvestigasi serta mebentuk kelompok investigasi, dengan anggota tiap kelompok 4 sampai 5 orang. Pada tahap ini: 1) siswa mengamati sumber, memilih topik, dan menentukan kategori-kategori topik permasalahan, 2) siswa bergabung pada kelompok-kelompok belajar berdasarkan topik yang mereka pilih atau menarik untuk diselidiki, 3) guru membatasi jumlah anggota masing-masing kelompok antara 4 sampai 5 orang berdasarkan keterampilan dan keheterogenan.
b. Tahap Perencanaan (Planning)
Tahap Planning atau tahap perencanaan tugas-tugas pembelajaran. Pada tahap ini siswa bersama-sama merencanakan tentang: (1) Apa yang mereka pelajari? (2) Bagaimana mereka belajar? (3) Siapa dan melakukan apa? (4) Untuk tujuan apa mereka menyelidiki topik tersebut?
Misalnya pada topik Bangun Datar, pada tahap ini: 1) siswa belajar tentang jenis-jenis bangun datar beserta cara menghitung luasnya 2) siswa belajar dengan menggali informasi, bekerjasama dan berdiskusi, 3) siswa membagi tugas untuk memecahkan masalah topik tersebut, mengumpulkan informasi, menyimpulkan hasil investigasi dan mempresentasikan di kelas, dan (4) siswa belajar untuk mengetahui asal mula dari rumus luas bangun datar tersebut.
c. Tahap Penyelidikan (Investigation)
Tahap Investigation, yaitu tahap pelaksanaan proyek investigasi siswa. Pada tahap ini, siswa melakukan kegiatan sebagai berikut: 1) siswa mengumpulkan informasi, menganalisis data dan membuat simpulkan terkait dengan permasalahan-permasalahan yang diselidiki, 2) masing-masing anggota kelompok memberikan masukan pada setiap kegiatan kelompok, 3) siswa saling bertukar, berdiskusi, mengklarifikasi dan mempersatukan ide dan pendapat. Misalnya: 1) siswa menemukan cara-cara pembuktian rumus luas bangun datar, 2) siswa mecoba cara-cara yang ditemukan dari hasil pengumupulan informasi terkait dengan topik bahasan yang diselidiki, dan 3) siswa berdiskusi, mengklarifikasi tiap cara atau langkah dalam pemecahan masalah tentang topik bahasan yang diselidiki.
d. Tahap Pengorganisasian (Organizing)
Yaitu tahap persiapan laporan akhir. Pada tahap ini kegiatan siswa sebagai berikut: 1) anggota kelompok menentukan pesan-pesan penting dalam proteknya masing-masing, 2) anggota kelompok merencanakan apa yang akan mereka laporkan dan bagaimana mempresentasikannya, 3) wakil dari masing-masing kelompok membentuk panitia diskusi kelas dalam presentasi investigasi.
Misalnya: 1) siswa menemukan bahwa rumus luas bangun datar segitiga adalah ½ alas x tinggi, 2) siswa menemukan bahwa rumus luas bangun datar segitiga adalah ½ alas x tinggi yang dibuktikan melalui rumus bangun datar persegi panjang, 3) siswa membagi tugas sebagai pemimpin, moderator, notulis dalam presentasi investigasi.
e. Tahap Presentasi (Presenting)
Tahap presenting yaitu tahap penyajian laporan akhir. Kegiatan pembelajaran di kelas pada tahap ini adalah sebagai berikut: (1) penyajian kelompok pada keseluruhan kelas dalam berbagai variasi bentuk penyajian, (2) kelompok yang tidak sebagai penyaji terlibat secara aktif sebagai pendengar, (3) pendengar mengevaluasi, mengklarifikasi dan mengajukan pertanyaan atau tanggapan terhadap topik yang disajikan. Misalnya: 1) siswa yang bertugas untuk mewakili kelompok menyajikan hasil atau simpulan dari investigasi yang telah dilaksanakan, 2) siswa yang tidak sebagai penyaji, mengajukan pertanyaan, saran tentang topik yang disajikan, 3) siswa mencatat topik yang disajikan oleh penyaji.
f. Tahap evaluasi (evaluating)
Pada tahap evaluating atau penilaian proses kerja dan hasil proyek siswa. Pada tahap ini, kegiatan guru atau siswa dalam pembelajaran sebagai berikut: 1) siswa menggabungkan masukan-masukan tentang topiknya, pekerjaan yang telah mereka lakukan, dan tentang pengalaman-pengalaman efektifnya, 2) guru dan siswa mengkolaborasi, mengevaluasi tentang pembelajaran yang telah dilaksanakan, 3) penilaian hasil belajar haruslah mengevaluasi tingkat pemahaman siswa. Misalnya: 1) siswa merangkum dan mencatat setiap topik yang disajikan, 2) siswa menggabungkan tiap topik yang diinvestigasi dalam kelompoknya dan kelompok yang lain, 3) guru mengevaluasi dengan memberikan tes uraian pada akhir siklus.
Group Investigationn merupakan salah satu bentuk model pembelajaran kooperatif yang menekankan pada partisipasi dan aktivitas siswa untuk mencari sendiri materi (informasi) pelajaran yang akan dipelajari melalui bahan-bahan yang tersedia, misalnya dari buku pelajaran atau siswa dapat mencari melalui internet. Siswa dilibatkan sejak perencanaan, baik dalam menentukan topik maupun cara untuk mempelajarinya melalui investigasi. Tipe ini menuntut para siswa untuk memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi maupun dalam keterampilan proses kelompok. Model Group Investigation dapat melatih siswa untuk menumbuhkan kemampuan berfikir mandiri. Keterlibatan siswa secara aktif dapat terlihat mulai dari tahap pertama sampai tahap akhir pembelajaran.
Dalam metode Group Investigation terdapat tiga konsep utama, yaitu: penelitian atau enquiri, pengetahuan atau knowledge, dan dinamika kelompok atau the dynamic of the learning group, (Udin S. Winaputra, 2001:75). Penelitian di sini adalah proses dinamika siswa memberikan respon terhadap masalah dan memecahkan masalah tersebut. Pengetahuan adalah pengalaman belajar yang diperoleh siswa baik secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan dinamika kelompok menunjukkan suasana yang menggambarkan sekelompok saling berinteraksi yang melibatkan berbagai ide dan pendapat serta saling bertukar pengalaman melaui proses saling beragumentasi.
Dalam pembelajaran kooperatif model GI ini guru menyediakan sumber dan fasilitator. Guru memutar diantara kelompok-kelompok memperhatikan siswa mengatur pekerjaan dan membantu siswa mengatur pekerjaannya dan membantu jika siswa menemukan kesulitan dalam interaksi kelompok.
Para guru yang menggunakan metode GI umumnya membagi kelas menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan 5 sampai 6 siswa dengan karakteristik yang heterogen, (Trianto, 2007:59). Pembagian kelompok dapat juga didasarkan atas kesenangan berteman atau kesamaan minat terhadap suatu topik tertentu. Selanjutnya siswa memilih topik untuk diselidiki, melakukan penyelidikan yang mendalam atas topik yang telah dipilih, kemudian menyiapkan dan mempresentasikan laporannya di depan kelas.
Tahapan-tahapan kemajuan siswa di dalam pembelajaran yang menggunakan metode Group Investigation untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada table berikut, (Slavin, 1995) dalam Siti Maesaroh (2005:29-30):
Enam Tahapan Kemajuan Siswa di dalam Pembelajaran Kooperatif dengan Metode Group Investigation
Tahap I
Mengidentifikasi topik dan membagi siswa ke dalam kelompok.
Guru memberikan kesempatan bagi siswa untuk memberi kontribusi apa yang akan mereka selidiki. Kelompok dibentuk berdasarkan heterogenitas.
Tahap II
Merencanakan tugas.
Kelompok akan membagi sub topik kepada seluruh anggota. Kemudian membuat perencanaan dari masalah yang akan diteliti, bagaimana proses dan sumber apa yang akan dipakai.
Tahap III
Membuat penyelidikan.
Siswa mengumpulkan, menganalisis dan mengevaluasi informasi, membuat kesimpulan dan mengaplikasikan bagian mereka ke dalam pengetahuan baru dalam mencapai solusi masalah kelompok.
Tahap IV
Mempersiapkan tugas akhir.
Setiap kelompok mempersiapkan tugas akhir yang akan dipresentasikan di depan kelas.
Tahap V
Mempresentasikan tugas akhir.
Siswa mempresentasikan hasil kerjanya. Kelompok lain tetap mengikuti.
Tahap VI
Evaluasi.
Soal ulangan mencakup seluruh topik yang telah diselidiki dan dipresentasikan
D. Kajian Tentang Pembelajaran Matematika
1. Pengertian Matematika Sekolah
Mengajarkan matematika tidaklah mudah, oleh karena itu tidak dibedakan antara matematika dan matematika sekolah. Menurut Reyt.,et al. (1998:4) matematika adalah (1) studi pola dan hubungan (study of patterns and relationships) dengan demikian masing-masing topik itu akan saling berjalinan satu dengan yang lain yang membentuknya, (2). Cara berpikir (way of thinking) yaitu memberikan strategi untuk mengatur, menganalisis dan mensintesa data atau semua yang ditemui dalam masalah sehari-hari, (3). Suatu seni (an art) yaitu ditandai dengan adanya urutan dan konsistensi internal, dan (4) sebagai bahasa (a language) dipergunakan secara hati-hati dan didefinisikan dalam term dan symbol yang akan meningkatkan kemampuan untuk berkomunikasi akan sains, keadaan kehidupan riil, dan matematika itu sendiri, serta (5) sebagai alat (a tool) yang dipergunakan oleh setiap orang dalam menghadapi kehidupan sehari-hari.
Sedangkan mengenai pengertian matematika sekolah Erman Suherman (1993:134) mengemukakan bahwa matematika sekolah merupakan bagian matematika yang diberikan untuk dipelajari oleh siswa sekolah (formal), yaitu SD, SLTP, dan SLTA. Menurut Soedjadi (1995:1) matematika sekolah adalah bagian atau unsur dari matematika yang dipilih antara lain dengan pertimbangan atau berorentasi pada pendidikan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa matematika sekolah adalah matematika yang telah dipilah-pilah dan disesuaikan dengan tahap perkembangan intelektual siswa, serta digunakan sebagai salah satu sarana untuk mengembangkan kemampuan berpikir bagi para siswa.
2. Karakteristik Matematika Sekolah
Agar dalam penyampaian materi matematika dapat mudah diterima dan dipahami oleh siswa, guru harus memahami tentang karakteristik matematika sekolah. Menurut Soedjadi (2000:13) matematika memiliki karakteristik : (1) memiliki obyek kajian abstrak, (2). Bertumpu pada kesepakatan, (3) berpola piker deduktif, 4). Memiliki symbol yang kosong dari arti, (5). Memperhatikan semesta pembicaraan, dan (6). Konsisten dalam sistemnya. Sedang menurut Depdikbud (1993:1) matematika memiliki ciri-ciri, yaitu (1). Memiliki obyek yang abstrak, (2). Memiliki pola piker deduktif dan konsisten, dan (3) tidak dapat dipisahkan dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).
Berdasarkan hal tersebut di atas dalam pembelajaran matematika perlu disesuaikan dengan perkembangan kognitif siswa, dimulai dari yang konkrit menuju abstrak. Namun demikian meskipun obyek pembelajaran matematika adalah abstark, tetapi mengingat kemampuan berpikir siswa Sekolah Dasar yang masih dalam tahap operasional konkrit, maka untuk memahami konsep dan prinsip masih diperlukan pengalaman melalui obyek konkrit (Soedjadi, 1995:1). Suatu konsep diangkat melalui manipulasi dan observasi terhadap obyek konkrit, kemudian dilakukan proses abstraksi dan idealisasi. Jadi dalam proses pembelajaran matematika di SD peranan media/alat peraga sangat penting untuk pemahaman suatu konsep atau prinsip. Heinich., et al. (1996:21) mengemukakan “adaptation of media and specially designed mean can contribute enormously to effective instructional …”.Hal tersebut mengandung maksud bahwa media yang sesuai dan dirancang khusus akan dapat memberikan dukungan yang sangat besar terhadap efektifitas pembelajaran.
Pelaksanaan pembelajaran matematika juga dimulai dari yang sederhana ke kompleks. Menurut Karso (1993:124) matematika mempelajari tentang pola keteraturan, tentang struktur yang terorganisasikan. Konsep-konsep matematika tersusun secara hirarkis, terstruktur, logis, dan sistematis mulai dari konsep yang paling sederhana sampai pada konsep yang paling kompleks.
Skemp (1971:36) menyatakan bahwa dalam belajar matematika meskipun kita telah membuat semua konsep itu menjadi baru dalam pikiran kita sendiri, kita hanya bisa melakukan semua ini dengan menggunakan konsep yang kita capai sebelumnya. Berdasarkan hal tersebut dalam matematika terdapat topic atau konsep prasyarat sebagai dasar untuk memahami topik atau konsep selanjutnya. Dengan demikian dalam mempelajari matematika, konsep sebelumnya harus benar-benar dikuasai agar dapat memahami konsep-konsep selanjutnya. Hal ini tentu saja membawa akibat kepada bagaimana terjadinya proses belajar mengajar atau pembelajaran matematika. Oleh karena itu dalam pembelajaran matematika tidak dapat dilakukan secara melompat-lompat tetapi harus tahap demi tahap, dimulai dengan pemahaman ide dan konsep yang sederhana sampai kejenjang yang lebih kompleks. Seseorang tidak mungkin mempelajari konsep lebih tinggi sebelum ia menguasai atau memahami konsep yang lebih rendah. Berdasarkan hal tersebut mengakibatkan pembelajaran berkembang dari yang mudah ke yang sukar, sehingga dalam memberikan contoh guru juga harus memperhatikan tentang tingkat kesukaran dari materi yang disampaikan, dengan demikian dalam pembelajaran matematika contoh-contoh yang diberikan harus bervariasi dan tidak cukup hanya satu contoh.
Pembelajaran matematika hendaknya menganut kebenaran konsistensi yang didasarkan kepada kebenaran-kebnaran terdahulu yang telah diterima, atau setiap struktur dalam matematika tidak boleh terdapat kontradiksi. Matematika sebagai ilmu yang deduktif aksiomatis, dimana dalil-dalil atau prinsip-prinsip harus dibuktikan secara deduktif. Tetapi mengingat kemampuan berpikir siswa SD, penerapan pola deduktif tidak dilakukan secara ketat. Hal itu sesuai dengan yang dikemukakan oleh Soedjadi (1995:1) bahwa struktur sajian matematika tidak harus menggunakan pola pikir deduktif semata, tetapi dapat juga digunakan pola pikir induktif.
3. Tujuan Pembelajaran Matematika
Di dalam GBPP mata pelajaran matematika SD disebutkan bahwa tujuan yang hendak dicapai dari pembelajaran matematika sekolah adalah:
1. Menumbuhkan dan mengembangkan keterampilan berhitung (menggunakan bilangan) sebagai alat dalam kehidupan sehari-hari.
2. Menumbuhkan kemampuan siswa, yang dapat dialihgunakan, melalui kegiatan matematika.
3. Mengembangkan pengetahuan dasar matematika sebagai bekal lanjut di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP).
4. Membentuk sikap logis, kritis, cermat, kreatif dan disiplin. (Depdikbud, 1993:40)
Sedangkan tujuan mata pelajaran matematika yang tercantum dalam KTSP pada SD/MI adalah sebagai berikut:
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
4. Mengkomunkasikan gagasan dengan simbol, table, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah (Depdiknas, 2006 : 417).
Adapun ruang lingkup materi atau bahan kajian matematika di SD/MI mencakup : a). bilangan, b). geometri dan pengukuran, dan c). Pengolahan data.
E. Kerangka Berpikir
Pada umumnya pengajaran matematika di sekolah sampai saat ini masih konvensional yaitu guru aktif menjelaskan materi pelajaran sedangkan siswa hanya mendengar, mencatat, dan mengerjakan latihan yang diberikan guru. Tentunya pendekatan seperti ini tidak sesuai dengan tuntutan zaman karena dimungkinkan akan berpengaruh pada rendahnya tingkat kemampuan bernalar siswa. Padahal pelajaran matematika dari tahun ke tahun semakin kompleks dan lebih berkembang.
Dengan menggunakan metode pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation (GI) maka prestasi belajar siswa khususnya di bidang mata pelajaran matematika dapat ditingkatkan, karena metode pembelajaran ini merupakan suatu metode pembelajaran yang membantu siswa dalam mengembangkan pemahaman dan sikapnya sesuai dengan kehidupan nyata di masyarakat, sehingga dengan bekerja secara bersama-sama diantara sesama anggota kelompok akan meningkatkan motivasi, produktivitas, dan perolehan belajar dan pembelajaran akan semakin memberikan prestasi belajar yang baik.
Hal di atas dapat ditunjukkan melalu gambar berikut ini.
Pembelajaran Kooperatif
Prestasi Belajar
Berdasarkan kajian teoritik, asumsi-asumsi dan pola pikir logik, maka diduga bahwa penggunaan metode pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation (GI) dapat meningkatkan prestasi belajar matematika siswa kelas V SD N II Isimu Raya.
Artinya: tingginya penggunaan metode pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation (GI) akan diikuti pula dengan peningkatan prestasi belajar matematika siswa kelas V SD N II Isimu Raya.
Sumber: http://meilanikasim.wordpress.com/2010/02/28/penelitian-tindakan-kelas-pembelajaran-kooperatif/
April 19, 2011
Penelitian Tindakan Kelas (Pembelajaran Kooperatif)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Write comments