Dalam dunia pendidikan kita kenal teori bahwa setiap anak itu unik. Mereka mempunyai dunianya sendiri-sendiri. Setiap anak mempunyai keinginan dan cita-cita yang berbeda-beda. Tak bisa bila kita menginginkan semua anak di bumi ini menjadi dokter semua, atau menjadi pengacara semua, atau pejabat semua.
Setiap anak adalah unik, berbeda satu dengan lainnya. Begitu pula impian dan cita-cita anak banyak yang berbeda. Untuk mengungkapkan khayalan anak, maka kita katakan dunia ini tidaklah cukup.
Setiap anak adalah unik, berbeda satu dengan lainnya. Begitu pula impian dan cita-cita anak banyak yang berbeda. Untuk mengungkapkan khayalan anak, maka kita katakan dunia ini tidaklah cukup.
Khayalan anak mampu menembus dasar bumi terdalam di antara batu-batuan dan magma pijar. Juga mampu melayang terbang di angkasa berkejaran dengan bintang dan berlomba adu cepat dengan komet berekor merah. Ya, khayalan anak tak dapat kita bayangkan dan tak dapat kita tampung dalam buku-buku pelajaran yang dijejalkan ke dalam otak mereka setiap hari. Tidak dapat pula diukur dengan nilai yang tertera dalam raport atau banyaknya piala yang didapatkan dari kompetisi.
Khayalan yang merupakan cikal bakal impian anak dan nantinya menjadi cita-cita bagi mereka, tidaklah bisa kita pasung, dan kita memang tidak berhak untuk memasung, membatasi, atau menyetirnya.
Anak yang sudah menginjak usia remaja dan duduk di sekolah menengah, juga masih mempunyai hak untuk merasa berbeda dengan sekitarnya, merasa unik. Siswa dalam satu kelas tidak bisa kita pandang dengan kacamata yang sama. Tidak bisa juga kita mengukur ‘nilai diri’ mereka dengan satu tolok ukur tertentu.
Paradigma masyarakat memandang bahwa anak yang mendapat nilai bagus untuk pelajaran Matematika adalah anak yang pandai. Begitu juga sebaliknya, anak yang mendapat nilai jelek untuk pelajaran ini akan dikatakan sebagai anak yang bodoh. Kita tahu bahwa setiap siswa mempunyai kelebihan masing-masing. Maka, tugas pendidik adalah mendidik, membimbing, memdorong siswa untuk mengeksplorasi potensinya masing-masing secara maksimal.
Khayalan yang merupakan cikal bakal impian anak dan nantinya menjadi cita-cita bagi mereka, tidaklah bisa kita pasung, dan kita memang tidak berhak untuk memasung, membatasi, atau menyetirnya.
Anak yang sudah menginjak usia remaja dan duduk di sekolah menengah, juga masih mempunyai hak untuk merasa berbeda dengan sekitarnya, merasa unik. Siswa dalam satu kelas tidak bisa kita pandang dengan kacamata yang sama. Tidak bisa juga kita mengukur ‘nilai diri’ mereka dengan satu tolok ukur tertentu.
Paradigma masyarakat memandang bahwa anak yang mendapat nilai bagus untuk pelajaran Matematika adalah anak yang pandai. Begitu juga sebaliknya, anak yang mendapat nilai jelek untuk pelajaran ini akan dikatakan sebagai anak yang bodoh. Kita tahu bahwa setiap siswa mempunyai kelebihan masing-masing. Maka, tugas pendidik adalah mendidik, membimbing, memdorong siswa untuk mengeksplorasi potensinya masing-masing secara maksimal.
Siswa yang senang pelajaran Seni Lukis tidak bisa kita paksa untuk menekuni pelajaran Fisika atau Sejarah yang ia tidak suka. Siswa yang gemar menggambar tidak bisa kita paksa untuk menghafalkan rumus-rumus Matematika yang tidak ia inginkan. Siswa yang terampil bermain basket tidak bisa kita suruh untuk menekuni pelajaran yang tidak ia inginkan. Tugas pendidik adalah mengenali potensi siswa untuk kemudian membimbing mereka dalam rangka mencapai cita-cita mereka. Ingat, mencapai cita-cita mereka. Bukan cita-cita kita, cita-cita guru, bukan pula cita-cita orang tuanya.
Siswa bukanlah robot yang bisa dengan seenaknya di-install program tertentu kemudian menjadi seperti yang kita inginkan. Mereka ingin menjadi diri mereka sendiri. Selama ini tanpa sadar kita –masyarakat pendidik dan bahkan pemerintah– menciptakan lingkaran-lingkaran ketakutan bagi anak.
Siswa bukanlah robot yang bisa dengan seenaknya di-install program tertentu kemudian menjadi seperti yang kita inginkan. Mereka ingin menjadi diri mereka sendiri. Selama ini tanpa sadar kita –masyarakat pendidik dan bahkan pemerintah– menciptakan lingkaran-lingkaran ketakutan bagi anak.
“Kamu harus belajar terus agar dapat lulus Ujian Nasional”, “Sangat memalukan bila sampai tidak lulus”, “Kamu anak bodoh karena tidak bisa mengerjakan soal semudah ini”, “Dasar siswa pemalas”. Ungkapan-ungkapan negatif semacam itu selama ini sudah menjadi menu makanan bagi siswa. Meskipun rasanya tidak enak, tetapi lama-lama siswa akan terbiasa. Akibatnya mereka menjadi ‘terarahkan’ menuju ‘kesuksesan’. Terarahkan dalam artian mereka dipaksa dengan doktrin-doktrin negatif seperti itu, dan harapan yang diiming-imingkan adalah pencapaian yang kita sebut sebuah ‘kesuksesan’, tetapi sejatinya kesuksesan itu tidak untuk mereka.
Bila kita memandang dari sisi batin siswa, kita akan melihat bahwa sebuah lembaga pendidikan –sekolah formal– merupakan sebuah pabrik. Pabrik yang memproduksi dokter, pengacara, guru, teknisi. Dan bahan bakunya adalah siswa. Siswa dianggap tanah lempung yang kemudian dimasukkan dalam pabrik lalu dibentuklah sesuai keinginan pemilik pabrik.
Setiap orang mempunyai hak untuk menentukan tujuan mereka. Setiap orang berhak untuk mengekspresikan kegemaran mereka. Setiap siswa berhak mendapatkan pendidikan yang benar-benar mendidik mereka bukan mengarahkan mereka dengan paksa. Sekarang, sudah saatnya sebagai seorang pendidik –ingat, bahwa sejatinya kita semua adalah seorang pendidik– untuk tidak memaksakan kehendak kita kepada mereka. Mereka, siswa sekolah mempunyai hak untuk menentukan cita-cita dan menggapainya. Mereka tidak ingin terkungkung dalam lingkaran paradigma pendidikan yang sesat jalan. Mereka ingin bebas. Sebagaimana burung elang yang senantiasa ingin bebas mengarungi rimba raya kehidupan.
Sukrisno
Sukoharjo, 12 Mei 2011
Bila kita memandang dari sisi batin siswa, kita akan melihat bahwa sebuah lembaga pendidikan –sekolah formal– merupakan sebuah pabrik. Pabrik yang memproduksi dokter, pengacara, guru, teknisi. Dan bahan bakunya adalah siswa. Siswa dianggap tanah lempung yang kemudian dimasukkan dalam pabrik lalu dibentuklah sesuai keinginan pemilik pabrik.
Setiap orang mempunyai hak untuk menentukan tujuan mereka. Setiap orang berhak untuk mengekspresikan kegemaran mereka. Setiap siswa berhak mendapatkan pendidikan yang benar-benar mendidik mereka bukan mengarahkan mereka dengan paksa. Sekarang, sudah saatnya sebagai seorang pendidik –ingat, bahwa sejatinya kita semua adalah seorang pendidik– untuk tidak memaksakan kehendak kita kepada mereka. Mereka, siswa sekolah mempunyai hak untuk menentukan cita-cita dan menggapainya. Mereka tidak ingin terkungkung dalam lingkaran paradigma pendidikan yang sesat jalan. Mereka ingin bebas. Sebagaimana burung elang yang senantiasa ingin bebas mengarungi rimba raya kehidupan.
Sukrisno
Sukoharjo, 12 Mei 2011
No comments:
Write comments