Pages

May 19, 2012

Konsep Pendidikan Karakter

Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/ dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. 
 
Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).

Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”. 
 
Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.

Pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.

Menurut Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.

Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut.

Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. 
 
Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.

Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.

Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.

Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development) yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut.


Kofigurasi Karakter

Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan moral. Menurut Hersh, et. al. (1980), di antara berbagai teori yang berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan; yaitu: pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku sosial. Berbeda dengan klasifikasi tersebut, Elias (1989) mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku. Klasifikasi didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni: perilaku, kognisi, dan afeksi.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

Pada tahun 2012 ini, ada hal penting yang mestinya mendapat perhatian ekstra para guru. Hal penting itu adalah, keharusan para guru untuk kreatif. Kreatifnya para guru bukan saja memberi manfaat bagi guru yang bersangkutan, tetapi juga murid dan profesi guru serta dunia pendidikan. Artinya, selama ini banyak guru yang belum kreatif dan tidak berkembang. Bahkan tertinggal dalam melaksanakan tugas sebagai seorang pendidik. Hal demikian banyak disebabkan oleh terjebaknya para guru dalam rutinitas kerja yang melulu berpatokan pada kurikulum, tanpa melihat apa yang menjadi kebutuhan diri dan peserta didik serta tantangan dunia pendidikan, terlebih tantangan di masa depan.

Banyak guru yang ternyata tidak mampu memaknai dan menyikapi suatu kurikulum secara benar. Apalagi tidak semua guru bisa memahami dengan baik di samping tidak mau tahu tentang pentingnya kurikulum dikembangkan sesuai tantangan. Di lain sisi, keinginan untuk kreatif dan maju sering terbentur pada tidak terdukungnya diri dari segi finansial, waktu, lokasi maupun organisasi. Kondisi ini sering beriringan dengan besarnya kebutuhan guru yang harus dipenuhi, namun juga tidak mudah untuk memenuhinya.

Yang tidak sabar dan tidak mampu menggunakan akal sehatnya, tentu banyak guru kreatif tetapi kreatif yang semu atau bahkan kreatif dengan unsur tidak layak dilakukan oleh seorang guru. Sebagai contoh adalah, ada oknum guru yang tega menjadi alat penjualan buku secara sesat kepada anak didik. Maunya guru menjual buku seperti itu bukanlah tanpa sebab lain. Buktinya, banyak guru yang ikut menjual buku produk penerbit tertentu lantaran ada imbauan, instruksi dan bahkan paksaan dari atasan. Minimal ada rasa rikuh pakewuh untuk menolak.

Adapula yang main tipu-tipu, dari membuat laporan palsu, sampai berdagang ilmu dengan cara yang saru alias tidak jujur dalam memberi nilai pada anak didik yang ikut les padanya. Fatalnya, saat diberi amanat, banyak pula guru yang tidak amanah, suka mbathi (ambil untung dengan cara sesat). Saat ujian pun, ada yang berusaha mencarikan bocoran atau membantu berbuat curang.

Kondisi seperti itu yang kemudian memunculkan fakta, kalau ada guru yang kesannya kreatif, tetapi kreatif yang tidak positif dan bermoral. Tidak banyak guru yang kreatif sejati, yaitu kreatif yang positif, bermoral dan memberi manfaat bagi banyak pihak. Keadaan yang tidak menguntungkan seperti itu jelas membuat banyak guru terjebak ke dalam ketidakmampuan memerankan diri sebagai guru yang kreatif yang positif serta bermoral. Kita sangat membutuhkan guru kreatif yang dapat memberi warna positif dalam proses pencerdasan kehidupan bangsa.

Untuk itu setidaknya dapat dimulai dari, bahwa guru harus memahami tugas pokok, fungsi dan tantangannya. Dalam hal ini, guru jangan sekadar melaksanakan tugas rutinitas tanpa berkreasi yang positif terkait dengan profesinya. Guru, harus aktif mencari informasi terkait dengan pengembangan potensi diri. Bila memungkinkan, guru juga harus dapat menguasai lebih dari satu disiplin ilmu disertai dengan pengembangan dan penerapan pengetahuan maupun keterampilan yang baik.

Di sisi lain, pemerintah tak boleh diskriminatif terhadap guru. Guru di negeri, swasta, di kota atau di desa harus mendapat kesempatan yang sama untuk dapat lebih kreatif. Oleh karena itu, perlu didukung piranti lunak yang mendukung guru untuk dapat lebih kreatif. Kurikulum yang ada harus selalu ditegaskan sebagai patokan dasar yang mesti dihormati namun mutlak dikritisi dan dikembangkan oleh setiap guru sesuai kebutuhan serta tantangan. Semua ini, juga perlu ada dukungan dari atasan dan lembaga terkait, sehingga membantu pengembangan kreativitas guru. Termasuk pula, dukungan dana yang memadai tanpa harus ada potongan yang tidak sesuai aturan.

Namun, supaya beda tolok ukurnya, kreativitas guru harus ada evaluasi berkesinambungan yang fair, ada penghargaan dan sanksi. Demikian halnya bagi pimpinan dan lembaga tempat guru berkiprah. Perhatian dan dukungan dari berbagai pihak itu, dimaksudkan untuk memberi spirit guru agar lebih kreatif. Jangan sampai guru diajak bertindak apalagi melawan hukum atau kecurangan dalam berbagai macam bentuknya.


Dikutip dari Buku Tips Menjadi Guru Berkarakter karya Lina Nuryani, Ita Ratnasari, & Vera Ernianingtyas, Mahasiswa PBSID FKIP UMS (Belum Diterbitkan)

No comments:
Write comments