Pages

March 20, 2012

Plagiarisme: Ada yang Salah dengan Sistem Pendidikan di Perguruan Tinggi

Dalam tayangan sebuah acara di televisi dikisahkan seorang mahasiswa di Jakarta yang menggunakan jasa pembuatan skripsi. Mahasiswa tersebut menyusun skripsi dengan sepenuhnya dibantu (dibuatkan) oleh orang lain. Biaya yang dikeluarkan untuk membuat satu buah skripsi berkisar antara dua sampai lima juta rupiah. Dan jasa pembuatan skripsi tersebut bertempat tidak jauh dari kampusnya. Dengan berkedok sebagai rental komputer dan fotokopi, berjalanlah usaha jasa pembuatan skripsi tersebut.

Jika ada mahasiswa yang terbukti melakukan plagiarisme, maka siapa yang patut disalahkan?

Pertama-tama orang akan mencap mahasiswa tersebut sebagai mahasiswa yang tidak bertanggung jawab, mahasiswa pemalas, atau cap negatif lainnya. Begitupun dosen pembimbing atau pihak universitas akan memberi hukuman bagi mahasiswa yang terbukti melakukan plagiarisme. Salah satu hukuman itu berupa pembatalan hasil tugas akhir atau mahasiswa tersebut dikenakan sanksi akademik lainnnya. 
Plagiarisme seakan-akan meruapakan mutlak kesalahan mahasiswa. Maka, untuk mengatasi kejahatan akademik ini, pelaku pendidikan hanya bertindak pada mahasiswa. Akibatnya, sumber-sumber terjadinya plagiarisme yang lain tidak tersentuh dan plagiarisme semakin subur di kalangan akademisi.

Kejahatan plagiarisme di kalangan mahasiswa sebenarnya bukan mutlak kesalahan mahasiswa. Plagiarisme tidak dapat dilakukan begitu saja oleh mahasiswa tanpa ada sebab yang melatarbelakanginya. Mahasiswa yang melakukan plagiarisme, bagi mereka menyusun sebuah tugas akhir adalah tugas yang berat yang mereka anggap tidak akan dapat mereka selesaikan. 
Lalu, apa yang dipelajari oleh mahasiswa selama tiga atau empat tahun masa perkuliahannya? Apakah waktu selama itu tidak cukup untuk mempelajari ilmu pengetahuan bidang tertentu yang akan digunakan dalam penyusunan tugas akhir? Maka, kegagalan mahasiswa dalam penyusunan tugas akhir haruslah kita lihat sebagai sebuah permasalahan dalam rantai pendidikan.

Plagiarisme tidaklah berdiri sendiri. Ibaratnya, plagiarisme adalah suatu penyakit. Bukan sumber penyakitnya, melainkan gejela dari penyakit tersebut. Pelaku pendidikan sebagai “dokter” mestilah mendiagnosis sumber penyakit tersebut dan mengobatinya. Jika sumber penyakitnya ditemukan dan diatasi maka gejala penyakit itu berupa tindakan plagiarisme dengan sendirinya akan hilang.

Ada banyak faktor yang melatarbelakangi adanya kejahatan plagiarisme. Beberapa di antaranya yaitu sulitnya prosedur penyusunan skripsi, terbatasnya waktu, dan kurangnya pemahaman terhadap permasalahan yang diteliti. Ada mahasiswa yang mengeluhkan sulitnya menemui dosen pembimbing untuk konsultasi. Ada juga dosen pembimbing yang perfeksionis yang terlalu menuntut mahasiswa untuk meyusun tugas akhir yang sempurna. Sedangkan bagi mahasiswa tuntutan tersebut terlalu berat. Akibatnya, untuk menghasilkan tugas akhir yang “berbobot” mahasiswa pun melakukan plagiarisme, baik sedikit maupun banyak, atau bahkan seluruh isi tugas akhirnya adalah tiruan atau buatan orang lain.

Meminimalisasi kejahatan plagiarisme tidaklah bisa dilakukan hanya dengan menindak dan menghukum mahasiswa yang melakukan kejahatan tersebut. Tindakan mahasiswa yang melakukan kejahatan intelektual tersebut merupakan salah satu gejala dari sumber penyakit dalam sistem pendidikan di perguruan tinggi. Sumber penyakit tersebut yang harus diobati. Sistem pendidikan yang harus diperbaiki dan dikembangkan. Saya kira, jika sistem pendidikannya baik, maka waktu selama tiga tahun merupakan waktu yang cukup bagi mahasiswa untuk belajar dan akhirnya mereka mampu menyusun tugas akhir dengan baik.

Perbaikan sistem pendidikan ini memang upaya yang tidak mudah. Dibutuhkan biaya, waktu, dan tenaga yang tidak sedikit. Lalu, apa saja yang perlu diperbaiki? Permasalahan tersebut tentunya pihak pelaku pendidikan yang lebih mengetahuinya. Jadi, jangan hanya menyalahkan mahasiswa ketika mereka melakukan kejahatan plagiarisme. Seorang dokter tidak akan menyalahkan pasien atas penyakit yang dideritanya. Seorang dokter akan mendiagnosis penyakitnya dan mengobati si pasien.


Sukrisno
Sukoharjo, 30 Januari 2012 08.00 WIB

No comments:
Write comments